Debat Terbuka Ahlussunnah vs Salafy Wahabi: Apakah Allah berada di Langit?


Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

Buku Pintar Berdebat dengan WahabiPada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”

Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:

وَقالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ

الصافات : ٩٩

“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99). 

Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”

Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.

Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.

Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).

Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:

وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَان

“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:

وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ

“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”

Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.

Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ

رواه البخاري

“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:

عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.

“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).

Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ

“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Dikutip dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.

Semoga Bermanfaat.

211 thoughts on “Debat Terbuka Ahlussunnah vs Salafy Wahabi: Apakah Allah berada di Langit?

    • mas lihat al-asma al-husna….sifat ad-dzahir dan al-batin. dilihat dari sifat-sifat allah. allah bersifat dzhoir. disisi lain dilihat dari zat nya allah bersifat batin. jadi hanya allah yang maha tahu tentang keberadaannya. dia bersifat absolut,maha agung,maha suci.maha takterjangkau…..jadi maksud ayat Qs.al-hadid; 4.kebesertaan hanya mungkin bagiNYA,tetapi mustahil bagi kita. karena ketunggalan dan keesaan hanya milik allah…..

  1. Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) istiwa’ di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)

    Rasulullah pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak perempuan milik Mua’wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu’awiyah. “Beliau (shollallahu ‘alaihi wa sallam) bertanya kepadanya: “Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan : “Di atas langit. Beliau bertanya (lagi): “Siapakah Aku ?”. Jawab budak itu: “Engkau adalah Rasulullah”. Beliau bersabda: “Merdekakan ia ! Karena sesungguhnya ia mu’minah (seorang perempuan yang beriman)”. (Adz-Dzahabi berkata dalam kitabnya Al-Uluw lil ‘Aliyyin Adzim 1/249: Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan imam-imam lainnya dalam kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa ta’wil dan tahrif)

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit.” (HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064)

    Imam Syafi’i berkata: “Aqidah yang saya yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya yakni di atas langit-Nya. (Adab Syafi’i wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)

    Ibnu Khuzaimah berkata: “Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya…”. (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Hakim di kitabnya Ma’rifah “Ulumul Hadits” hal : 84).

    Ad-Darimi berkata dalam kitabnya: “Dalam hadits ini (hadits Mu’awiyah-pen) terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi “Di mana Allah “ terdapat bantahan ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat, tidak disifati dengan “di mana”, sebab sesuatu yang ada di mana-mana tidak mungkin disifati “dimana”. Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya…”. (Ar-Raddu ‘alal Jahmiyyah hal. 46-47)

    Tirmidzi berkata: “Telah berkata ahli ilmu : Dan Ia (Allah) di atas ‘Arsy sebagaimana Ia telah sifatkan diri-Nya”. (Al-Uluw oleh Imam Dzahabi yang diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di hal : 137, 140, 179, 188, 189 dan 218)

    “Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang di atas langit, bahwa Ia akan menenggelamkan ke dalam bumi, maka tiba-tiba ia (bumi) bergoncang ?”
    “Ataukah kamu (memang) merasa aman terhadap Dzat yang di atas langit bahwa Ia akan mengirim kepada kamu angin yang mengandung batu kerikil ? Maka kamu akan mengetahui bagaimana ancaman-Ku”. (QS. Al-Mulk : 16-17).

    Ibnu Khuzaimah berkata setelah membawakan dua ayat Al Qur’an Surat Al Mulk ayat 16 dan 17 dalam kitabnya “At-Tauhid” hal : 115 :”Bukankah Ia telah memberitahukan kepada kita -wahai orang yang berakal- yaitu : apa yang ada di antara keduanya (QS. Al Mulk ayat 16 dan 17-pen) sesungguhnya Ia di atas langit”.

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidakkah kamu merasa aman kepadaku padahal aku orang kepercayaan Dzat yang di atas langit, datang kepadaku berita (wahyu) dari langit di waktu pagi dan petang”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim 3/111 dan Ahmad 3/4 dari jalan Abu Sa’id Al-Khudry).

    Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits Mu’awiyah, di kitabnya “Al-Uluw” (hal : 81 diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Artinya : “Dan demikian ra’yu kami (setuju dengan hadits) setiap orang yang ditanya : “Di mana Allah ? “Dia segera dengan fitrahnya menjawab : Di atas langit !. Di dalam hadits ini ada dua masalah : pertama : Disyariatkan pertanyaan seorang muslim : Dimana Allah?. Kedua : Jawaban orang yang ditanya : (Allah) di atas langit! Maka barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini berarti ia telah mengingkari Al-Musthafa (Nabi) shollallahu ‘alaihi wa sallam”.

    Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 69-76: “Dan kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a, mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya ke arah arsy. Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha suci Allah dari ucapan mereka.”

    Abdul Qadir Jailani berkata: “Tidak boleh mensifatkan-Nya bahwa Ia berada di atas tiap-tiap tempat, bahkan (wajib) mengatakan : Sesungguhnya Ia di atas langit (yakni) di atas ‘Arsy sebagaimana Ia telah berfirman :”Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa (Thaha : 5). Dan patutlah memuthlakkan sifat istiwaa tanpa ta’wil sesungguhnya Ia istiwaa dengan Dzat-Nya di atas ‘Arsy. Dan keadaan-Nya di atas ‘Arsy telah tersebut pada tiap-tiap kitab yang. Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa (bertanya):”Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy-Nya ?” (Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 87).

    Firman Allah “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” (QS. Al Hadid: 4) menurut Ibnu Katsir ialah ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di langit. (Tafsir Qur’anil Azhim: 4/317)

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang-orang yang pengasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah (makhluk) yang di atas bumi, niscaya Yang di atas langit akan mengasihi kalian.” (Shahih. HR. Abu Daud (4941), Tirmidzi (1/350), Ahmad (2/160), Al-Humaidi (591), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (8/526), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/159). Dan dishahihkan Al-Hakim, Ad-Dzahabi, Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar dan lain sebagainya. Lihat As-Shahihah 3/594-595/922 oleh Al-Albani)
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit.” (HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064)
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayang oleh Allah Tabaaraka wa Ta’ala (Yang Maha berkat dan Maha Tinggi). oleh karena itu sayangilah orang-orang yang di muka bumi, niscaya Dzat yang di atas langit akan menyayangi kamu”. (Shahih. Diriwayatkan oleh Imam-imam : Abu Dawud No. 4941. Ahmad 2/160. Hakim 4/159. dari jalan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Hadits ini telah dishahihkan oleh Imam Hakim dan telah pula disetujui oleh Imam Dzahabi. Demikian juga Al-Albani telah menyatakan hadits ini shahih di kitabnya “Silsilah Shahihah No. 925”.
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang tidak menyayangi orang yang di muka bumi, niscaya tidak akan disayang oleh Dzat yang di atas langit”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Thabrani di kitabnya “Mu’jam Kabir No. 2497 dari jalan Jarir bin Abdullah. Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal : 83 diringkas oleh Al-Albani, mengatakan : Rawi-rawinya tsiqaat/kepercayaan).
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidakkah kamu merasa aman kepadaku padahal aku orang kepercayaan Dzat yang di atas langit, datang kepadaku berita (wahyu) dari langit di waktu pagi dan petang”. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim 3/111 dan Ahmad 3/4 dari jalan Abu Sa’id Al-Khudry).

    Ibnu Mas’ud berkata: “Arsy itu di atas air dan Allah ‘Azza wa Jalla di atas ‘Arsy, Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”. (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Thabrani di kitabnya “Al-Mu’jam Kabir” no. 8987 dan lain-lain Imam. Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” hal. 103 berkata : sanadnya shahih)

    Ibnu Abil Izzi al-Hanafi (murid Ibnu Katsir) mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat dalil tentang ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang mencermatinya”.(Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277)

    Berkata Mujahid (seorang Tabi’in besar murid Ibnu Abbas). Artinya : “Ia istawaa (bersemayam) di atas “Arsy” maknanya : “Ia berada tinggi di atas “Arsy”
    (Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175)

    • Sabda Sebaik-baik salaf sholih, baginda Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam:

      انت الظاهر فليس فوقك شيئ وانت الباطن فليس دونك شيئ
      رواه المسلم

      “Engkaulah adz-Dzohir yang tidak ada sesuatu-pun di atas-Mu, dan Engkaulah al-Baathin, yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu” (HR. Muslim)
      Jadi, kalau tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya, maka itu artinya Allah Ta’aala tidak membutuhkan tempat dan arah.

      Telah berkata pula salaf sholih dari kalangan Sahabat Nabi, Sayyidina ‘Ali Radhiyallaah ‘anhu:

      ان الله خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته
      رواه ابو منصور البغدادي فى الفرق بين الفرق

      “Sesungguhnya Allah Ta’aala menciptakan ‘Arsy bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya sebagai tempat bagi dzat-Nya”
      (Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq)

      Al-Hafizh Ibn al-Jawzi Rahimahullaah telah berkata di dalam kitabnya Daf’u Syibh at-Tasybih:

      أن من وصف الله بالمكان والجهة فهو مشبه مجسم لله لا يعرف ما يجب للخالق

      “Sesungguhnya orang-orang yang menyifatkan Allah dengan tempat dan arah, maka sesungguhnya dia termasuk Musyabbih dan Mujassim yang tidak mengerti sifat Allah”

      al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata di dalam Fath al-Bari:

      ان المشبهة المجسمة لله تعالى هم الذين وصفوا الله بالمكان والله منزه عنه

      “Sesungguhnya kaum Musyabbihah mujassimah itu adalah mereka yang menyifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.”

      Pendapat abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah di dalam kitabnya al-Ibanah ‘an ushul ad-diyanah:

      “Dan sesungguhnya Allah istiwa’ atas ‘arsy sebagaimana yang Dia firmankan, dan dengan makna yang Dia inginkan. Istiwa yang bersih dari arti menyentuh, menetap, bertempat, diam dan pindah. ‘Arsy tidak membawa-Nya, melainkan ‘arsy (yang dibawa). ‘Arsy dibawa maksudnya tercakup dalam kelembutan kuasa-Nya, serta tunduk dalam genggaman-Nya. Dia di atas (tidak menyentuh ‘arsy), bahkan di atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata surya sekalipun. “Di atas” yang tidak membuat-Nya tambah dekat ke arsy dan langit, melainkan Dia sangat tinggi derajat-Nya dari ‘arsy sebagaimana Dia sangat tinggi derajat-Nya dari tata surya, dan Dia dengan itu dekat dari segala yang ada. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya dan menyaksikan segala sesuatu”

      Dari kalimat-kalimat beliau rahimahullaah dapat disimpulkan beliau tidak mengitsbatkan arah atas dalam makna zohir, akan tetapi beliau rahimahullaah mena’wilkannya kepada “tinggi derajat-Nya”.

      قال الإمام ابو الحسن الأشعري: ان الله لا مكان له
      رواه البيهقي فى الأسماء والصفات

      Al Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam al-Asmaa’ wa ash-shifat)

      Syech Abdul Qadir al-jailani Qaddsallaah sirrahu berkata di dalam kitabnya Sirr al-asrar di pasal “al Fashl ar-rabi’ fi bayaani ‘adad al-‘ilm” :

      Beliau menyatakan bahwasanya “Tafsir itu diperuntukkan bagi kalangan ‘awwaam, sedangkan ta’wil diperuntukkan bagi kalangan khowwash”

      Jadi, tidak benar kalau Syech Abdul Qadir al-Jailani qaddasallah sirrahu menolak adanya ta’wil.

      • bukankah al-imam abu alhasan al-asy’ari telah bertobat dengan pendapatnya itu,dan mengikuti pendapat AHLU SUNNAH WALJAMAAH,yaitu seperti pemahaman imam 4

      • ANTUM JUNDU MUHAMMAD menakwil yang tidak berdasar dan dasar anda sebenarnya apa yg tidak di pahami oleh para ulama, kami bantah sebenarnya saudara punya hujjah bagai sarang laba-laba , perhatikan barangsiapa yg Allah beri hidayah tidak bisa di sesatkan dan barangsiapa yg Allah sesatkan tidak ada yg dapat memberi hidayah,…. segala puji bagi ALLAH bukan antum yang di puji……
        BANTAHAN :
        Perkataan para shahabat / ijma’ salaf (ulama ahlussunnah wal jama’ah) Tentang sifat ‘Uluw bagi Allah

        Perkataan :
        Kalangan shahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam

        1. Abu bakr ash-Shiddiq, radhiyallahu anhu,
        Diriwayatkan dari Ibnu Umar ,ra tentang wafat Nabi Muhammad SAW, abu bakar berkata : “Sesungguhnya Allah di langit Maha Hidup tidak akan mati.”
        (periksa : Itsbat Shifatil ‘Uluw karya : Imam Ibnu Qudamah : 148, dan kitab Ijtihad ma’al-Juyusy al-Islamiyyah karya : Imam Ibnu Qayyim :118.

        2. Umar bin Khoththob, radhiyallahu anhu, baca riwayat ini jelas menunjukan Allah berada di atas langit ke 7 , (periksa : Itsbat Shifatil ‘Uluw karya : Imam Ibnu Qudamah : 149, dan kitab Ijtihad ma’al-Juyusy al-Islamiyyah karya : Imam Ibnu Qayyim :120.

        3. Utsman bin ‘Affan radhiyallahu anhu berkata : “Segala puji bagi Allah yg dekat dalam kemaha tinggian-Nya dan jauh (tinggi) dalam kedekatan –Nya. Tiada satu pun yg sampai kepada tempat –Nya. Dan tiada satupun yg mampu menghalangi terhadap sesuatu yg diinginkan-Nya. (periksa : ar-Roddu ‘ala Jahmiyyah karya. Sunan ad-Darimi : 58)

        4. Abdullah bin Abbas, radhiyallahu anhu, Bahwasanya Ibnu abbas datang menjengguk Aisyah radhyallahu anhum – saat ini Aisyah dalam keadaan mendekati ajalnya – maka Ibnu abbas berkata kepada Aisyah .” Engkau adalah wanita yg paling di cintai Rasulullah SAW, ia tidak mencintai kecuali yang baik. Dan Allah menurunkan tentang kesucianmu “Dari atas langit yang tujuh”. Dalam riwayat yg lain …. Ibnu abbas berkata , “Iblis tidak mampu mengatakan dari atas mereka, karena ia tahu bahwa Allah berada di atas mereka.” (periksa : kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi :75, Itsbat Shifatil ‘Uluw karya : Imam Ibnu Qudamah : 106, kitab Ijtihad ma’al-Juyusy al-Islamiyyah karya : Imam Ibnu Qayyim :124.

        5. Abdullah bin Mas’ud, radhiyallahu anhu, ia berkata : “Allah berada di atas ‘Arasy, tidak ada yang tersembunyi atas-Nya sedikitpun dari perbuatan-perbuatan kalian.” (periksa : kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 75.)

        6. ‘Aisyah ,radhiyallahu anhum, (Istri Rasulullah saw)ia berkata : “Maha suci Allah yang Maha mendengar segala suara, tersembunyi atasku sebagian perkataan wanita yang bertanya ( kepada Nabi shallallahu alaihi wassalam ), namun Allah mendengarnya dan Dia (Allah) di atas langit yang tujuh.” (periksa : kitab Tauhid karya : Ibnu Khuzaimah : 1/107 dan al-Hujjah karya : Imam al-Ashfahani : 1/198.

        7. Zainab radhiyallahu anhum, (Istri Rasulullah saw), ia berkata : “Berkata Anas, ra “Zainab binti Jahsy berbangga di atas para istri Nabi shallallahu alaihi wassalam yang lain, ia berkata, ‘sesungguhnya Allah menikahkanku (dengan Nabi saw) dari langit.” (periksa : Shohih al-Bukhari : 6/2700.)

        8. Anas bin Malik, radhiyallahu anhu, ia berkata : Abdullah bin Nafi’ berkata, Anas bin Malik ra, “Allah di langit dan ilmu-Nya di setiap tempat, tidak satupun yang luput dari ilmu-Nya. (periksa : kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 75.)

        9. Abu Dzar, radhiyallahu anhu, : Dari Ibnu Abbas tatkala sampai kepada Abu Dzar berita tentang diutusnya Nabi shllallahu alaihi wassalam , ia berkata kepada saudaranya, “tolong kamu beritahu aku tentang ilmu laki-laki yang mengaku bahwa ia mendapat berita dari langit. “ (Maksud Abu Dzar ,ra berita dari langit adalah wahyu yang datang dari Allah yang berada di langit.” (periksa : Shohih al-Bukhari : 6/2701.)

        Perkataan :
        Kalangan tabi’in dan tabi’in tabi’in :

        1. al-Imam Masruq, bila Masruuq meriwayatkan hadits dari Aisyah ra, ia berkata , “telah menceritakan kepada ku wanita terjujur, anak laki-laki terjujur, kekasih dari kekasih Allah, yang di sucikan dari atas langit yang tujuh.” (periksa : Itsbat Shifatil ‘Uluw karya : Imam Ibnu Qudamah : 110, Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 121-122.)

        2. al-Imam Abu Qotadah, berkata : “Orang-orang Bani Israil berkata, ‘ya Allah Engkau di langit,…..” dst. (periksa : ar-Roddu ‘ala Jahmiyah karya : ad-Darimi :59 , kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 75.)

        3. al-Imam adh-Dhohhak, dari Imam adh-Dhohhak : Allah berfirman, “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang , melainkan Dialah keenamnya.” (QS. Al-Mujadillah : 7) , imam adh Dhohhak berkata, “Dia adalah Allah di atas Arasy dan ilmu-Nya bersama mereka.” (periksa : al-Asma ‘wash Shifat karya : Imam al-Baihaqi :2/447).

        4. al-Imam Muqotil bin Hayyan, ia berkata : “Dia (Allah) berada di atas Arasy dan ilmu-Nya bersama mereka. “(periska : kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 75.)

        5. al-Imam al-Auzai, ia berkata : “Sesungguhnya Allah Yang Maha tinggi berada di atas Arasy, kami beriman dengan sifat2 Allah Jalla wa ‘Ala yang terdapat dalam sunnah.” (periksa : al-Asma ‘wash Shifat karya : Imam al-Baihaqi :2/408).

        6. al-Imam Abdullah bin Mubarak, ia berkata : “Kita mengenal Rabb kita dengan bahwa sesungguhnya Dia (Allah) di atas langit yang tujuh di atas Arasy, terpisah dari makhluk-Nya. Kita tidak berpendapat sebagaimana pendapat orang-orang Jahmiyyah.” (periksa : ar-Roddu ‘ala Jahmiyyah karya. Sunan ad-Darimi : 47, dan al-Asma ‘wash Shifat karya : Imam al-Baihaqi :2/440).

        7. al-Imam Sulaiman at-Taimi, berkata Shodaqoh: “Aku mendengar Sulaiman at-Taimi berkata : “Seandainya aku di Tanya dimana Allah, ku katakana di langit. “(periska : kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 75.).

        8. al-Imam Abu Hatim ar-Rozi dan al-Imam Abu Zur’ah ar-Rozi , dalam perkataan dengan singkat : ia berkata, Kami mendapati para ulama di seluruh negeri ; Hijaz, Iraq, Mesir, Syam, dan Yaman. Maka di antara madzhab mereka adalah (meyakini) bahwa Allah di atas Arasy, terpisah dari makhluk-Nya. Sebagaimana Allah menyifati diri-Nya, tanpa mempertanyakan tentang bentuk (hakekat sifat tersebut).” “(periska : kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 75.).

        9. Begitu juga Imam Ishaq bin Rohuwiyah ia berkata : “bahwa Allah berfirman : “Tuhan yg Maha pemurah . Yang beristiwa di atas Arasy.’ Para ulama telah sepakat bahwa sesungguhnya Allah itu beristiwa ‘ di atas Arasy. Dan Dia (Allah) mengetahui segala sesuatu dibawah lapis bumi yang ke tujuh.” “(periska : kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 75.).

        Perkataan :
        Kalangan para Ulama madzhab Fiqih yang empat :

        1. al-Imam Abu Hanifah ( madzhab Hanafiyyah ) : ia berkata “ Sesungguhnya Allah di langit bukan di bumi. Barangsiapa yang berkata , aku tidak tahu tentang Tuhanku apakah Dia di langit atau di bumi , maka sesungguhnya ia telah kafir… dst “(periska : kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 134, dan al-Asma ‘wash Shifat karya : Imam al-Baihaqi :2/442 dan kitab : al-Fiqhul Akbar karya : al-Imam Abu Hanifah :135).

        2. al-Imam Malik, ia berkata : “Allah di langit dan ilmu-Nya di setiap tempat, tiada satu tempatpun yang luput dari ilmu-Nya.” (periksa : asy-Syari’ah karya : Imam al-Jurri no.651,652, dan syarh Ushul I’tiqod karya : imam al-Lalakai no.516).

        3. al-Imam asy-Syafi’ie, ia berkata : “Dan bahwa sesungguhnya Allah di atas Arasy di atas langit. Dia mendekati hamba-Nya sesuai cara yang Dia kehendaki dan Dia turun ke langit Dunia sesuai cara yang Dia kehendaki.” (periksa : Itsbat Shifatil ‘Uluw karya : Imam Ibnu Qudamah : 124, Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 165.).
        lengkapnya adalah sbb :
        عن الشافعي أنه قال: القول في السنة التي أنا عليها، ورأيت أصحابنا عليها، أهل الحديث الذين رأيتهم، وأخذت عنهم مثل سفيان، ومالك، وغيرهما: الإقرار بشهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمداً رسول الله، وأن اللهَ تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء، وأن الله تعالى ينزل إلى سماء الدنيا كيف شاء.
        Imam Syafi’i mengatakan: Perkataan dalam sunnah yang aku berjalan di atasnya, dan aku lihat para sahabat kami juga berjalan di atasnya, -yakni para ahlul hadits yang ku temui dan ku ambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Malik, yang lainnya-, adalah: Berikrar dengan persaksian bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Alloh, sesungguhnya Muhammad itu Rosululloh, sesungguhnya Alloh itu diatas arsy-Nya, di atas langit-Nya, Dia mendekat kepada makhluknya bagaiamanapun Dia kehendaki, dan Alloh juga turun ke langit dunia sesuai kehendaknya. (Ijtima’ul juyusyil islamiyah libnil qoyyim, hal: 165. Itsbatu Shifatil Uluw, hal:124. Majmu’ul Fatawa 4/181-183. Al-Uluw lidz Dzahabi, hal: 120. Mukhtashorul Uluw lil Albani, hal: 176)

        4. al-Imam Ahmad bin Hambal, ia berkata : “ Allah di atas langit yang ketujuh di atas Arasy-Nya, terpisah dari mahkluk-Nya. Qudrat dan ilmu-Nya di setiap tempat ? jawab al- imam Ahmad, ya … Allah di atas Arasy, dan ilmu-Nya tidak satupun tempat yang tersembunyi darinya.” “(periska : kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 75, dan syarh Ushul I’tiqod karya : imam al-Lalakai no.517).

        Perkataan :
        Imam Abul Hasan al-Asy’ari :

        Kami kemukakan yg terakhir dari Abul Hasan asy’ari sebagai hujjah atas orang2 Asy’ariyah yang mengaku mengikuti imam tersebut : bahwa imam tersebut mengatakan berulang-ulang bahwa “Allah beristiwa di Arasy di atas langit yang ketujuh,”. Berbeda dengan orang2 yg menisbatkan dirinya kepada Asy-ariyah mereka meyakini bahwa Allah berada di mana-mana .” dengan berarti orang tersebut berdusta atas nisbatnya kepada imam tsb.
        ( periksa kitabnya : Risalah ila Ahli Tsaghor dan kitabnya Maqolat Islamiyyah “(periska : kitab Mukhtashor al-‘Uluw karya. Imam adz-Dzahabi: 75, dan syarh Ushul I’tiqod karya : imam al-Lalakai no.517).

        Rasulullah bersabda tentang orang yang sombong :

        “Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. “ (HR. Muslim no.275)

      • perkatan jundu muhammad banyak dustanya hati2 dengan orang ini, : lihat baca dan perhatikan :
        A. TEKS HADITS
        عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ رضي الله عنه قَالَ: …وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ, فَإِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا, وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ, آسَفُ كَمَا يَأْسَفُوْنَ, لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً, فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عليه و سلم فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ, قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَفَلاَ أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِيْ بِهَا, فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِيْ السَّمَاءِ, قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ, قَالَ: فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.
        Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.
        a. Takhrij Hadits
        Seluruh jalan hadits ini melewati dua jalur berikut:
        1. Jalur Imam Malik bin Anas – Hilal bin Ali bin Abu Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.
        2. Jalur Yahya bin Abi Katsir – Hilal bin Ali bin Abi Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.
        Adapun perinciaan takhrij hadits ini sebagai berikut:
        1. Jalur Imam Malik
        Hal ini sebagaimana riwayat beliau sendiri dalam Al-Muwatha (2/772/no.8), Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah (no. 242 -Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir-), Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427) oleh Al-Mizzi, Utsman bin Said Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no. 62), Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid (hal. 132 -Tahqiq Syaikh Khalil Haras-), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (10/98/no. 19984), Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (9/246/no. 2365), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (9/69-70) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/102/no. 57).
        (Faedah)
        Dalam sanad imam Malik tertulis “Umar bin Hakam” sebagai ganti dari “Mu’awiyah bin Hakam”. Para ulama’ menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan imam Malik. Imam pembela sunnah, As-Syafi’i berkata -setelah meriwayatkan hadits ini dari imam Malik- : “Yang benar adalah Mua’wiyah bin Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal namanya”.[5]
        Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Demikianlah perkataan Malik dalam hadits ini dari Hilal dari Atha’ dari Umar bin Hakam. Para perawi darinya (Malik) tidak berselisih dalam hal itu. Tetapi hal ini termasuk kesalahan beliau (Malik) menurut seluruh ahli hadits karena tidak ada sahabat yang bernama Umar bin Hakam, yang ada adalah Mu’awiyah (bin Hakam). Demikianlah riwayat seluruh orang yang meriwayatkan hadits ini dari Hilal. Mua’wiyah bin Hakam termasuk dari kalangan sahabat yang terkenal dan hadits ini juga masyhur darinya. Diantara ulama’ yang menegaskan bahwa Malik keliru dalam hal itu adalah Al-Bazzar, At-Thahawi dan selainnya”.[6]
        2. Jalur Yahya bin Abi Katsir
        Sepanjang penelitian saya, ada empat orang yang meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir. Berikut perinciannya:
        Hajjaj bin Abu Utsman Ash-Shawwaf
        • Diriwayatkan imam Ahmad dalam Musnadnya (5/448), Al-Bukhari dalam Juz’ul Qira’ah (hal. 70), Abu Daud (no. 931 dan 3282), Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hal. 132), Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3/237-239/no. 726) dan At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no. 938) dari Yahya bin Sa’id Al-Qhoththon dari Hajjaj dengannya.
        • Dan diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (6/162/no.30333) dan al-Iman (84), Muslim dalam Shahihnya (no. 537), Ahmad (5/447), Abu Daud (no. 931), Ibnu Hibban (165), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no.61), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (490) dan Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (no.212 -Ghautsul Makdud oleh Al-Huwaini-) dari Ismail bin Ibrahim (bin ‘Ulayyah) dari Hajjaj dengannya.
        (Faedah)
        Dalam kitab “Juz’ul Qira’ah” hal. 20 oleh imam Bukhari cet. Darul Kutub ‘Ilmiyyah tertulis begini Yahya bin Hilal ( حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ هِلاَلٍ). Ini adalah keliru yang benar adalah Yahya ‘an (dari) Hilal (حَدَّثَنَا يَحْيَ عَنْ هِلاَلٍ). Yahya namanya adalah Yahya bin Abi Katsir dan Hilal namanya adalah Hilal bin Ali bin Abi Maimunah. Wallahu A’lam.
        .
        Al-Auza’i
        • Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (537), Abu Awanah dalam al-Mustkhraj (2/141), Nasa’i dalam Sunan Sughra (3/14-18/no.1216), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hal.121), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no.937), Al-Baihaqi dalam As-Sunan Kubra (10/98/19984) dan Al-Asma’ wa Sifat (2/326/890-891), ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Atsar (13/367), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (9/71) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/100/no. 69).
        .
        Aban bin Yazid Al-Aththar
        • Diriwayatkan Abu Awanah dalam Al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim (2/1141), At-Thoyyalisi dalam Musnadnya (1105), Ahmad dalam Musnadnya (5/448), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (489), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no. 60) dan Naqdh Alal Marisy (122), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (939), Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Sifat (2/326/890-891) dan Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah (3/434-435/no. 652).
        .
        Hammam bin Yahya
        • Diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya (5/448).
        Hadits ini juga memiliki syawahid (penguat) dari sahabat Abu Hurairah, Abu Juhaifah, Ibnu Abbas, Ukkasyah Al-Ghanawi dan Abdur Rahman bin Hathib secara mursal.[7]
        .
        b. Komentar Para Ulama’ Ahli Hadits BUDAK JARIYAH
        Hadits ini disepakati keabsahannya oleh seluruh ulama’ kaum muslimin. Berikut sebagian komentar mereka:
        1. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata: “Hadits ini disepakati keabsahannya oleh para ulama muslimin semenjak dahulu hingga sekarang dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar seperti Malik, Syafi’i, Ahmad dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu Awanah, Ibnu Jarud, Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para pakar dan sebagian mereka adalah para pentakwil seperti Al-Baihaqi, Al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) Al-Asqalani dan lainnya. Lantas bagaimana pendapat seorang muslim yang berakal terhadap orang jahil dan sombong yang menyelishi para imam dan pakar tersebut, bahkan mencela lafadz Nabi n yang telah dishahihkan oleh para ulama tersebut?!!..”.[8]
        2. Imam Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim”.[9]
        3. Imam Al-Baghawi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj”.[10]
        4. Imam Al-Ashbahani berkata: “Dan sungguh telah shahih dari Nabi n bahwasanya beliau bertanya kepada seorang budak wanita yang akan dibebaskan oleh tuannya: Dimana Allah? Jawab budak tersebut: Di atas langit….”.[11]
        5. Imam Ibnu Qudamah berkata: “Hadits ini shahih”.[12]
        6. Imam Adh-Dzahabi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan imam-imam lainnya dalam kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa ta’wil dan tahrif”.[13]
        7. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits shahih, diriwayatkan Muslim”.[14]
        8. Al-Wazir al-Yamani berkata: “Hadits ini tsabit (shahih), diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya”.[15]
        9. Imam Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata
        وَهَذَا الْحَدِيْثُ صَحِيْحٌ بِلاَ رَيْبٍ لاَ يَشُكُّ فِيْ ذَلِكَ إِلاَّ جَاهِلٌ أَوْ مُغْرِضٌ مِنْ ذَوِيْ الأَهْوَاءِ الَّذِيْنَ كُلَّمَا جَاءَهُمْ نَصٌّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ يُخَالِفُ مَاهُمْ عَلَيْهِ مِنَ الضَّلاَلِ حَاوَلُوا الْخَلاَصَ مِنْهُ بِتَأْوِيْلِهِ بَلْ تَعْطِيْلِهِ, فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُمْ ذَلِكَ حَاوَلُوْا الطَّعْنَ فِيْ ثُبُوْتِهِ كَهَذَا الْحَدِيْثِ فَإِنَّهُ مَعَ صِحَّةِ إِسْنَادِهِ وَتَصْحِيْحِ أَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ إِيَّاهُ دُوْنَ خِلاَفٍ بَيْنَهُمْ فِيْمَا أَعْلَمُهُ
        “Hadits ini shahih dengan tiada keraguan. Tidak ada yang meragukan hal itu kecuali orang jahil atau pengekor hawa nafsu yang setiapkali datang pada mereka dalil dari Rasulullah n yang menyelisihi keyakinan sesat mereka, maka mereka langsung berusaha membebaskan diri darinya dengan mentakwil, bahkan meniadakannya. Dan apabila mereka tidak mampu, maka mereka berupaya untuk mementahkan keabsahannya seperti hadits ini yang shahih sanadnya serta dishahihkan oleh seluruh ulama’ ahli hadits tanpa ada perselisihan pendapat di kalangan mereka sepanjang pengetahuan saya”.[16]
        • Setelah takhrij dan komentar para ulama ahli hadits diatas[17], kita dapat mengetahui bagaimana kadar ilmu DR. Quraish Syihab!! -semoga Allah memberinya hidayah- tentang ilmu hadits. Ataukah memang dia sengaja berusaha untuk menyebarkan racun pemikirannya kepada orang-orang awam?!. Tidak..Tidak …Demi Allah, pasti akan ada pejuang kebenaran yang akan menepis kerancuan fahamnya.
        لاَ تَزَالُ طاَئِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُاللهِ
        Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tegak diatas Al-Haq, orang yang melecehkan mereka tidak akan membahayakan mereka sehingga datang hari kiamat[18].
        (Faedah)
        Lafadz fi (فِيْ) dalam hadits bermakna ‘ala (عَلَى) yakni diatas, bukan bermakna zharaf (di dalam) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama seperti Ibnu Abdil Barr[19] dan Al-Baihaqi[20]. Hal ini semakna dengan firman Allah:
        ءَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
        Apakah kamu merasa aman terhadap Yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?. (QS. Al-Mulk: 16).
        قُلْ سِيرُوا فِي اْلأَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
        Katakanlah: “Berjalanlah di atas muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. (QS. Al-An’aam: 11).
        Demikian juga semakna dengan hadits:
        الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ تَبَارَكَ وَتعَالَى, ارْحَمُوْا مَنْ فِيْ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِيْ السَّمَاءِ
        Orang-orang yang pengasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah (makhluk) yang di atas bumi, niscaya Yang di atas langit akan mengasihi kalian[21].
        Demikianlah penafsiran Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang beriman dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits mutawatir yang menetapkan Allah di atas langit. Tidak ada penafsiran yang benar selain ini.[22]
        .
        B. FIKIH HADITS
        Hadits ini memiliki beberapa faedah yang sangat banyak sekali, namun agar tidak terlalu panjang, maka kita cukupkan dua faedah saja yaitu:
        b.1. Disyariatkannya pertanyaan: Di mana Allah?
        • Imam Ad-Dzahabi berkata:
        فَفِيْ الْخَبَرِ مَسْأَلَتَانِ:
        إِحْدَاهُمَا: مَشْرُوْعِيَّةُ قَوْلِ الْمُسْلِمِ أَيْنَ اللهُ؟
        وَثَانِيْهَا: قَوْلُ الْمَسْؤُوْلِ: فِيْ السَّمَاءِ. فَمَنْ أَنْكَرَ هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَإِنَّمَا يُنْكِرُ عَلَى الْمُصْطَفَى n
        Dalam hadits ini terdapat dua masalah:
        Pertama: Disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim; Dimana Allah?
        Kedua: Jawaban orang yang ditanya: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi”[23].
        Syariat pertanyaan “Dimana Allah?” ini dikuatkan oleh hadits dan atsar sebagai berikut:
        • a. Hadits
        عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ؟ قَالَ :كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَمَا ثَمَّ خَلْقٌ, عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
        Dari Abu Razin berkata: Saya pernah bertanya: Ya Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan makhlukNya? Nabi menjawab: Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya maupun di atasnya, tidak makhluk di sana, dan ArsNya di atas air”. [24]
        • b. Atsar
        Dari Zaid bin Aslam bercerita: “Ibnu Umar pernah melewati seorang pengembala kambing lalu berkata: Hai pengembala kambing, adakah kambing yang layak untuk disembelih? Jawab si pengembala tersebut: “Tuan saya tidak ada di sini”. Ibnu Umar mengatakan: “Bilang saja sama tuanmu bahwa kambingnya dimakan oleh serigala! Pengembala itu lalu mengangkat kepalanya ke langit seraya mengatakan: “Lalu dimana Allah?”! Ibnu Umar berkata: Demi Allah, sebenarnya saya yang lebih berhak mengatakan: Dimana Allah? Kemudian beliau membeli pengembala serta kambingnya, membebaskannya dan memberinya kambing[25].
        • Abdul Ghoni al-Maqdisi berkata mengomentari hadits ini: “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya di mana Allah setalah ketegasan pembuat syari’at dengan perkataannya dimana Allah?!”.[26]
        • Imam Ibnu Qoyyim juga berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya: “Di mana Allah?” Lalu dijawab oleh yang ditanya bahwa Allah berada di atas langit. Nabi n pun kemudian ridha akan jawabannya dan mengetahui bahwa itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau juga tidak mengingkari pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka menganggap bahwa pertanyaan “Dimana Allah?” seperti halnya pertanyaan: Apa warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya dari pertanyaan yang mustahil dan batil!”.[27]
        • Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan: “Pendapat yang benar menurut ahli sunnah adalah mensifati Allah dengan sifat uluw (tinggi) yaitu diatas arsy berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits dan boleh juga menurut ahlu sunnah bertanya: “Dimana Allah” sebagaimana dalam Shahih Muslim Nabi shallallahu a’laihi wa sallam bertanya kepada budak perempuan: “Dimana Allah?” Jawabnya: “Di atas langit”.[28]
        • Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nasiruddin Al-Albani juga berkata: “Hadits ini merupakan cemeti dahsyat bagi orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah, karena hampir saja engkau tidak bertanya kepada seorang diantara mereka dengan pertanyaan di mana Allah? Kecuali mereka langsung mengingkarimu! Si miskin (jahil) ini tidak tahu bahwa sebenarnya dia telah mengingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah melindungi kita semua dari ilmu kalam (filsafat)”.[29]
        • Abu Ubaidah -semoga Allah menambahkan ilmu baginya- berkata: “Perhatikanlah perkataan para ulama’ di atas lalu bandingkan dengan ucapan mayoritas para tokoh agama zaman sekarang yang jauh lebih jahil daripada budak wanita diatas, dimana mereka mengatakan: “Allah ada dimana-dimana” bahkan mengatakan: Pertanyaan “Dimana Allah” itu adalah bid’ah. Ironisnya, aqidah sesat bin menyesatkan ini ditanamkan kepada anak-anak dan murid-murid yang lugu, tak mengerti apa-apa. Saya masih teringat pada bulan Ramadhan 1423H, saya pernah diundang untuk sebagai pemateri di sebuah sekolah Islam. Ketika saya lontarkan sebuah pertanyaan sederhana “Dimana Allah?” ini kepada mereka, ternyata tak seorang siswa maupun siswi-pun yang dapat menjawab secara benar bahkan seorang diantara mereka mengatakan: “Kata pak guru, bertanya seperti itu enggak boleh!!!”. Wallahul Musta’an.
        b.2. Allah berada di atas langit
        • Imam Utsman ad-Darimi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi “Di mana Allah “ terdapat bantahan ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat, tidak disifati dengan “di mana”, sebab sesuatu yang ada di mana-mana tidak mungkin disifati “dimana”. Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya…”.[30]
        • Memang sederhana soalnya, tapi sungguh aneh bin ajaib jawabannya. Bagaimana tidak? Seandainya Anda mau berkeliling Indonesia mengajukan satu pertanyaan sederhana ini, niscaya Anda akan mendengarkan berbagai macam jawaban yang beraneka ragam; Alloh ada di mana-mana… Alloh tidak di atas tidak di bawah… Alloh tidak di kanan tidak di kiri… Alloh ada di hatiku… dan sederet jawaban lainnya. Ironisnya, mayoritas dari para penjawab yang konyol itu adalah orang-orang yang notabene intelektual, ulama, kyai, atau kaum terpelajar. Bagaimanakah sebenarnya masalah ini? Mari kita ikuti ulasan berikut ini.
        .
        C. Dalil-Dalil Bahwa Allah di Atas Arsy
        Sungguh tidak syak (ragu) lagi terutama bagi orang yang mau membaca ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi n/ serta kitab-kitab ulama kita bahwa Alloh berada di atas ‘arsy (singgasana)-Nya di atas langit. Berikut ini dalil-dalilnya.
        c.1. Dalil dari al-Qur’an
        Banyak sekali dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukkan ketinggian Alloh dengan beberapa versi:
        a. Kadang dengan lafazh ‘ali (tinggi) dan istiwa’ (bersemayam) di atas ‘arsy. Seperti firman Alloh:
        وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ
        Dan Alloh Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. al-Baqarah: 255)
        الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
        Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)
        b. Kadang juga dengan naiknya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Alloh:
        إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
        Kepada-Nyalah naik perkataan yang baik, dan amal shalih dinaikkan-Nya. (QS. Fathir: 10)
        تَعْرُجُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ إِلَيْهِ
        Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada-Nya. (QS. al-Ma’arij: 4)
        c. Kadang lagi dengan turunnya sesuatu dari-Nya. Seperti firman Alloh:
        قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ
        Katakanlah Ruh Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an dari Rabbmu dengan benar. (QS. an-Nahl: 102)
        .
        c.2. Dalil dari as-Sunnah
        Ketinggian Alloh di atas langit juga ditegaskan dalam banyak sekali hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan). Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
        إِنَّ اللهَ لَمَّا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ إِنَّ رَحْمَتِيْ سَبَقَتْ غَضَبِيْ
        Sesungguhnya Alloh tatkala menetapkan penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘arsy: “Rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” [31]
        Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
        أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فيِ السَّمَاءِ
        Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit. [32]
        Dan telah tetap pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya ke atas langit pada saat khutbah di Arafah ketika mereka mengatakan, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan serta menasehati.” Di saat itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya Alloh saksikanlah.”[33]
        .
        c.3. Ijma’ (Kesepakatan) Para Ulama
        Para sahabat, para tabi’in, serta para imam-imam kaum muslimin telah bersepakat akan ketinggian Alloh di atas langit-Nya, bersemayam di atas ‘arsy-Nya. Perkataan mereka sangatlah banyak dan masyhur, Di antaranya:
        1. Imam al-Auza’i berkata, “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat mengatakan, Alloh berada di atas ‘arsy-Nya. Dan kami semua mengimani sifat-sifat yang dijelaskan dalam as-Sunnah.”[34]
        2. Imam Abdullah Ibnu Mubarak berkata, “Kami mengetahui Rabb kami, Dia bersemayam di atas ‘arsy berpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan sebagaimana kaum Jahmiyah yang mengatakan bahwa Alloh ada di sini (beliau menunjuk ke bumi).” [35]
        3. I’tiqad salafiyah ini merupakan syi’ar salafiyun, ahlus sunnah wal jama’ah sejak dahulu hingga sekarang, bahkan di antaranya adalah Imam Syafi’i, Abul Hasan al-Asy’ari, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan lain-lain. Tidak ada seorang pun dari ulama terdahulu yang mengatakan bahwa Alloh ada di mana-mana, tidak di atas tidak di bawah, dan tidak seorang pun menganggap tabu pertanyaan “Di mana Alloh”!!
        1. Imam Syafi’i berkata:
        الْقَوْلُ فِيْ السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ مِثْلُ سُفْيَانَ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ …
        Aqidah yang saya yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidaka ada sesembahan yang berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya yakni di atas langitnya. (Adab Syafi’I wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)
        2. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 17 menceritakan aqidahnya:
        وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى )
        Dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya sebagaimana firman-Nya: “Ar-Rahman tinggi di atas arsy”.
        Pada hal. 69-76, beliau memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas arsy. Di antara perkataan beliau:
        وَرَأَيْنَا الْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا يَرْفَعُوْنَ أَيْدِيَهُمْ -إِذَا دَعَوْا- نَحْوَ السَّمَاءِ لِأَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ الَّذِيْ هُوَ فَوْقَ السَّمَاوَاتِ, فَلَوْلاَ أَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ لَمْ يَرْفَعُوْا أَيْدِيَهُمْ نَحْوَ الْعَرْشِ
        Dan kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a, mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya ke arah arsy.
        وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ, فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ, وَهَذَا خِلاَفُ الدِّيْنِ, تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ
        Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha suci Allah dari ucapan mereka.
        Oleh karenanya, saya tidak mengerti, sebenarnya saudara-saudara kita yang berfaham Allah dimana-dimana, siapa sebenarnya yang mereka ikuti?! Nabi, para ulama salaf, ataukah…?!! Fikirkanlah!
        .
        c.4. Dalil Akal
        Setiap akal manusia yang masih sehat, tentu akan mengakui ketinggian Alloh di atas makhluk-Nya. Hal tersebut dapat ditinjau dari dua segi:
        Pertama: Ketinggian Alloh merupakan sifat yang mulia bagi Alloh.
        Kedua: Kebalikan tinggi adalah rendah, sedang rendah merupakan sifat yang kurang bagi Alloh, Maha Suci Alloh dari sifat-sifat yang rendah.
        .
        c.5. Dalil Fithrah
        • Sesungguhnya Alloh telah memfithrahkan kepada seluruh makhluk-Nya, baik Arab maupun non-Arab dengan ketinggian Alloh. Marilah kita berpikir bersama di saat kita memanjatkan do’a kepada Alloh, ke manakah hati kita berjalan? Ke bawah atau ke atas? Manusia yang belum rusak fithrahnya tentu akan menjawab ke atas.
        • Pernah dikisahkan bahwa suatu hari Imam Abdul Malik al-Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Alloh tidak di mana-mana, sekarang ia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far al-Hamdani seraya berkata, “Wahai ustadz! Kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Alloh yang sudah mengakar di hati kami, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al-Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al-Hamdani telah membuat diriku bingung, al-Hamdani telah membuat diriku bingung.”[36] Akhirnya Imam Juwaini pun mendapat hidayah Alloh dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau.
        • Sebenarnya masih sangat banyak lagi dalil-dalil dalam masalah ini, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Bahkan di antara mereka ada yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri seperi Imam Dzahabi dalam bukunya al-‘Uluw lil Aliyyil Azhim.
        • Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang telah mengatakan –setelah menyebutkan 18 segi dalil–, “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil[37]. Oleh karena itu, kepada para penentang masalah ini, hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Tapi sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.” [38]

        rujukan / referensi :

        [1] Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyahhal. 96
        [2] Penerbit Mizan, Bandung ini banyak menerbitkan buku-buku berbahaya, sesat dan menyesatkan kaum muslimin. Waspadalah!!
        [3] Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam Ahkam Ahli Dzimmah 1/205: “Mengucapkan selamat kepada orang kafir hukumnya haram menurut kesepakatan ulama seperti ucapan selamat hari raya dan sebagainya. Kalau bukan kekufuran, maka minimal adalah haram, sebab hal tersebut sama halnya dengan memberi selamat atas sujud mereka terhadap salib”. (Lihat pula Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin 8/75)
        [4] Ringkasan shalawat seperti ini tidak dibenarkan, hendaknya ditulis secara sempurna.
        [5] Ar-Risalah (hal. 76),
        [6] At-Tamhid (9/67-68) Lihat pula Syarh Az-Zurqani (4/84) dan Tanwir Hawalik (3/5) oleh as-Suyuthi.
        [7] Lihat As-Sunnah Ibnu Abi Ashim (hal. 226-227 -Dhilalul Jannah Al-Albani-) atau (1/344 -Tahqiq Dr. Basim Al-Jawabirah-) dan Silsilah Ahadits As-Shahihah no. 3161 oleh Syaikh Al-Albani.
        [8] Silsilah Ahadits As-Shahihah (1/11)
        [9] Al-Asma’ wa Sifat (hal. 532-533 cet. Dar Kutub ‘ilmiyyah)
        [10] Syarh Sunnah (3/239) dan (9/247
        [11] Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/118)
        [12] Itsbat Sifatil Uluw hal. 47
        [13] Al-Uluw lil ‘Aliyyin Adzim 1/249, tahqiq Abdullah bin Shalih al-Barrok
        [14] Fathul Bari (13/359)
        [15] Al-Qowashim wal ‘Awashim 1/379-380
        [16] Mukhtashar Al-Uluw hal. 82
        [17] Setelah itu, penulis mendapatkan dua kitab khusus tentang pembelaan hadits ini, yaitu buku Aina Allah? Difa’ ‘an Hadits Jariyah Riwayah wa Dirayah oleh Syaikh Salim al-Hilali dan risalah Takhilul Ain bi Jawaz Sual ‘anillah bi Ain oleh DR. Shadiq bin Salim bin Shadiq. Bagi yang ingin memperluas lagi pembhasan hadits ini, kami persilahkan membaca dua risalah ini. Dan sebagai amanat juga, kita harus mengingatkan pembaca dari para ahli bid’ah yang berusaha untuk mementehkan hadits ini seperti al-Kautsari, al Ghumari, as-Saqqof dan lain sebagainya, bahkan as-Saqqof memiiki buku berjudul “Menyuntik Pe-mahaman Dangkal Tentang Peniadaan Lafazh Dimana Allah dalam Hadits Jariyah (budak wanita)” sebagaimana dalam Kutub Hadzdzara minha Ulama I/300, Syaikh Masyhur Hasan Salman.
        [18] Mutawatir. Sebagaimana ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’ Shirath Mustaqim 1/34, as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah hal. 216, al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 93, az-Zabidi dalam Samtul Aali hal. 68-71, al-Albani dalam Shalatul I’dain hal. 39-40. (Lihat Bashair Dzawi Syaraf hal. 87-98 oleh Salim al-Hilali).
        [19] At-Tamhid (7/129, 130, 134)
        [20] Al-Asma’ wa Sifat (377)
        [21] Shahih. HR. Abu Daud (4941), Tirmidzi (1/350), Ahmad (2/160), Al-Humaidi (591), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (8/526), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/159). Dan dishahihkan Al-Hakim, Ad-Dzahabi, Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar dan lain sebagainya. Lihat As-Shahihah 3/594-595/922 oleh Al-Albani).
        [22] Lihat Silsilah Ahadits As-Shahihah 6/474-475 oleh Al-Albani.
        [23] Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Adzim (hal. 81 -Mukhtasar Al-Albani-)
        [24] HR. Tirmidzi (2108), Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid), Ibnu Abi Ashim (1/271/612), Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/137). Lihat As-Shahihah 6/469).
        [25] Shahih. Riwayat At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (12/263/13054) dan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Albani dalam As-Shahihah 6/470 dan Muhktasar Al-Uluw hal. 127.
        [26] al-Iqtishod fil I’tiqod hal. 89
        [27] I’lamul Muwaqqi’in (3/521)
        [28] Ta’liq Fathul Bari (1/188)
        [29] dalam Irwaul Ghalil (1/113)
        [30] Ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 46-47
        [31] HR. Bukhari 7422 dan Muslim 2751
        [32] HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064
        [33] HR. Muslim 1218
        [34] Shahih. Diriwayatkan Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat 408, adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw hal. 102 dan dishahihkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan al-Albani.
        [35] Shahih. Dikeluarkan ash-Shabuni dalam Aqidah Salaf 28 dan ad-Darimi dalam ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 47.
        [36] Lihat kisah lengkapnya dalam Siyar A’lam Nubala 18/475, al-‘Uluw hal. 276-277 oleh adz-Dzahabi
        [37] Sebagian pembesar sahabat Syafi’I berkata: “Dalam Al-Qur’an terlebih seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas para hambaNya”. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 5/121)
        [38] Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 386.
        [39] Muqaddimah Mukhtasar Al-‘Uluw hal. 70-71 oleh Al-Albani.
        [40] Lihat pula Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 76-80 oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
        [41] Lihat At-Tadmuriyyah hal. 41 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
        [42] Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277
        [43] Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi 4/390.
        [44] Syarh Ushul I’tiqad al-Lalikai (937), Syarh Aqidah At-Thahawiyyah 1/85 oleh Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi.
        [45] Minhajus Sunnah (2/75)
        [46] Lihat “Al-Jama’at Al-Islamiyyah” hal. 230 oleh Salim Al-Hilali.

        .

    • Tanggapan anda BENAR, bagi saya pembual seperti di atas itu tidak perlu dilayani, sebeb apapun jawaban kita akan menjadika dia dapat inspirasi untuk kebohongannnya.dan dilihat dari dialog yang dia karang di atas tampak sekali kebodohannya. Saya yang asli Blitar dan sedikit banyak belajar dan mengenal ustad Salafy di Blitar tidak pernah saya jumpai ustad Salafy yang berinisial AH, dasar pembohong….. cari sensasi saja beresiko sangat Tinggi, dia tidak tahu tidaklah suatu ucapan itu keluar kecuali ada 2 malaikat yang mencatatnya, naudzubillahi min dzalik.

      • betul Harianto, saya akan mengutip ayat buat jundu muhammad semoga taubat dari dusta yang bodoh itu —
        “Sesungguhnya orang-orang yg ingin agar berita perbuatan yg amat keji itu tersiar di kalangan orang2 beriman, bagi mereka azab yg pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS.An-Nur:19)
        banyak yang mencantumkan cerita ini dan mengaku2 yang menulis belok ini adalah banyak yang menulis kadang ust. idrus ramli versinya sama, kadang ust jundu muhammad versi sama,…. jadi koh ceritanya sama sih….???? banyak ke anehan yg di buat2 loh…. bahaya sekali ini ….makanya kita harus tetap ingat firman Allah ta’ala :
        Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat : 6 )

    • wahabi kan anti takwil. mengapa saudara susanto sependapat dengan ibn Katsir dalam ayat “Dia bersamamu dimanapun kamu berada” ditakwil ialah ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu. mengapa kau gunakan takwil pada ayat tsb tapai pada ayat Ar Rahman bersemayam diatas arasy diartikan apa adanya.

      • dikhyah , anda salah kalau hujjah telah jelas terang buat apa di takwil, toh para shahabat, ulama 4 madzhab tidak pernah menta’wil keberadaan ALLAH MEMANG anda siapa…. ????????

        • Nisa Bon Sa .soal jelas dan tidak jelas dari ayat ayat itu apakah kalian para wahabi yang berhak menentukannnya ? memamng lu siapa ?

  2. Buku Pintar di atas itu bisa dibelli dimana? Kami butuh betul. Kampung kami mulai dijangkiti anak-anak muda yang mengagung-agungkan grupnya dan ajarannya yang angkuh itu. Baru ngaji alquran terjemahan saja, gayanya kayak yang baru pulang dari al-Azhar.

    • Malahan ada yang ngengkel waktu baca terjemahan Depag yang lama, “Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu” dan menganggapnya benar tenanan.
      bahkan ketika kami katakan bahwa disitu ndak ada kata “jadikanlah”, yang ada adalah kata perintah meminta tolonglah.. eh malah menertawai.. dan menganggap saya “memalsukan” arti Qur’an. Selanjutnya mereka juga mengatakan kalau yang menyusun terjemahan al-Qur’an itu bukan orang-orang bodoh.Njengkelke tenan.

      • sory aku hanya cp.
        soalnya jawab sama wahabi klo serius percuma juga
        apalagi nuggu jawabannya para salafy ( wahabi) di blognya abu salafy aksi manipusai ilmiyah /judul aslinya ibnu taimiyyah membungkam wahabi tdk bisa terjawab samapai kini……. d tambah binbaz mendhoifkan 1250 hadis shihnya bukhori….waaaaah nambah ngeri eeeeeh ditanya lagi sama kang abu salafy tentang difinisi bid’ah n syirik GAK NGERTIIIIIII………….LHA KOK NGAKU SALAFY MENGEMBALIKAN ISLAM YG MURNI. INI BAHAYA BAGI YG GAK KENAL N MEMAHAMI NYANYIAN WAHABI……………………….KARENA SEMUA HANYA AKAL2AN NYA WAHABI UNTUK NGAPUSI.ORANG2 YG G NGERTI ………. JURUS MUTAKIRNYA BIASANYA MENUDUH MEFITNAH DAN MENGADU DOMBA UMAT MUSLIM.
        mas njac saran saya sama wahabi jangan sampai jengkel itu yg di harapkan dia

        • Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, sesungguhnya aku mendengar beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
          “Ya Alloh, barangsiapa mengurusi suatu urusan dari umatku, kemudian dia berbuat lembut kepada mereka, maka berbuat lembutlah kepadanya. Dan barangsiapa berbuat keras menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia.” (Disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam Siyar (3/38), HR. Muslim (1828))

  3. Ustadz, bagaimana menjelaskan jika ada anak kecil misal balita bertanya “Allah itu di mana ?”. Sebab fikirannya kan belum nyambung tentang hal di atas.

    • bilang saja ada di atas, namun tetap harus dibimbing. Karena memang anak seusia tersebut tidak bakalan faham apabila dijelaskan tentang aqidah Allah itu ada tanpa membutuhkan tempat dan arah dan pertanyaan yang muncul tersebut hanya sekedar ingin tahu saja dan tentunya anak seusia tersebut belum berfikir yang mengarah ke i’tiqad. Namun apabila anak tersebut sudah mumayyiz, maka mulailah dididik tentang aqidah Allah itu ada tanpa membutuhkan tempat dan arah dengan cara melazimkan membaca mandzumah aqidatul ‘awwam.
      Wallaahu a’lam.

  4. pasti jundu muhammad klo minta doa tangannya tidak menghadap ke atas…krn berkeyakinan tuhan tidak di atas….. tapi menghadap kemana-mana kayak dewa wisnu yang lagi bertapa……itu..tu dewa hindu yg tangannya banyak menghadap ke segala penjuru, mending dewa wisnu tangannya banyak nah si jundu ini tangannya cuman dua.. repot dong ganti-ganti posisi tangannya klo berdoa….ntar dikain orang, lagi latihan seni bela diri jurus seribuu tangan…kwkwkwkwkwkwkwkwk…..

    • apa anda sudah melihat langsung bagaimana saya berdoa? kalau anda belum pernah melihat dengan mata anda sendiri, dan kemudian anda mengklaim saya berdoa dengan cara yang anda sebutkan itu, maka itu artinya anda melakukan fitnah.

    • agak aneh kalo mengatakan menadahkan tangan adalah isyaroh bahwa Allah secara dhahir ada di atas, karena ketika kita meminta kepada seseorang yg ada didepan kita pun umumnya kita menadahkan tangan keatas juga, ketia kita bersujud menghadap kakbah kenapa tidak mengatakan Allah ada dalam kakbah???
      jelas2 nabi muhammad s.a.w mengatakan Allah tidak diatas dan tidak pula di bawah.. kenapa wahabi “pura pura” tidak membacanya??? at

    • Mengangkat tangan, menghadapkan telapak tangan ke atas itu adalah adap meminta dari makhluk yang kecil terhadap kholik yg maha besar, ini “adap’ yg mengisyaratkan bahwa Allah maha besar, jadi untuk para “wahabi” yang sekarang berganti nama “salafy”, anda ini pikirannya hanya banyak menyalahkan di banding dengan menenangkan amalan yang sudah diamalkan, apa anda pikir amalan yang sudah diamalkan tidak di ilmuni. jurtru anda ini seharusnya, lebih banyak beramal dan jangan banyal ngomel, biar hidupmu selamat dunia akhirat.

      • betul itu saya pernah shalat trus di imami oleh seseorang yang lebih tua dari kita, ketika selesai shalat saya sebagai ma’mum dan imam sedang berzikir bersama terus berdoa , eh malah yang salafi tersebut selesai shalat bersama dengan kita setelah salam langsung tidur-tiduran …..ngga berzikir atau berdoa….padahal ada perintah untuk perbanyak berdzikir dan berdoa selalu kepada Allah dan waktu yang sangat tepat untuk berdoa adalah di waktu ketika sujud terakhir dan di waktu selesai shalat , dan dzikir yang sangat tepat adalah di waktu menunggu datngnya shalat berjamaah dan selesai shalat berjamaah ….

  5. makanya mas, klo ayat dan hadits sudah menerangkan seperti itu, nggak usah lagi deh ditafsir macam-macam….sami’na wa atha’na aja kan aman….masa kalah sama anak keci, anak kecil aja tau mas…. klo tuhan itu di atas langit……

    • apakah antum tidak pernah mendengar cerita dari imam malik:

      Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata: Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimankah Istawa Allah? Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata: “al-Istiwa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istiwa Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya. Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).

    • kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyyah di atas seringkali memutarbalikan perkataan dua Imam di atas. Mereka sering mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”. Perkataan semacam ini sama sekali bukan riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya. Tujuan kaum Musyabbihah mengucapkan kata tesebut tidak lain adalah untuk menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu mereka mengatakan Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. Karena itu mereka seringkali mengatakan: “Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui”. Atau terkadang mereka juga berkata: “Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui”. jadi, Perkataan kaum Musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” tidak lain hanyalah untuk mengelabui orang-orang awam bahwa semacam itulah yang telah dikatakan dan yang dimaksud oleh Al-Imam Malik. A’udzu Billah.

      • bisa di pegang g kta2 nya nh mas? apa antum ad bantahan untuk perkataan imam malik ini? atau antum melemahkan riwayat imam malik ini,bisa di tunjukan argumennya?

      • mereka memang anak kecil, kerjaannya ngrasa sudah pintar, merasa benar, maunya menang sendiri, rewel pula, dikasih tau yang benar pasti ngajaknya rame,

    • syariat, hakikat, tharikat, dan makrifat

      Tahapan akal ( kanak-kanak )
      Allah berada di Arasy
      Allah tidak dapat dilihat kerana Allah berada nun jauh diatas langit ke 7.
      Dalilnya :
      Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan ( Yunus ayat 3 ).

      Tahapan hukum akal (peraturan Ilmu Kalam )
      Allah tidak bertempat
      Allah tidak dapat dilihat kerana keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia yang tidak mampu melihat zatNya.
      Dalilnya :
      Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui ( Al-An’am ayat 103 )

      Tahapan pengamalan musyahadah terhadap ilmu Hakikat
      Allah berada dimana-mana
      Allah bisa dilihat, yaitu semua yang dapat dilihat oleh mata kita.
      Dalilnya :
      Dimana saja kamu menghadap, disitulah wajah Allah ( Al-Baqarah ayat 115 ) dan
      Dialah yang awal, yang akhir, yang zahir dan yang batin ( Al-Hadiid ayat 3 ).

      Tahapan khawasul khawas ( ilmu Ma’rifat )
      Tidak ada yang tahu dimana Allah melainkan Allah
      – Allah berada dimana Dia berada sekarang
      – Sekarang Allah berada dimana Dia berada dahulu
      – Dahulu dan sekarang Dia berada ditempat yang hanya Dia saja yang tahu
      – Tempat itu didalam pengetahuan ilmu Allah.
      NB : Jangan mengenal Allah dengan akal sebaliknya mengenal Allah dengan Allah.
      Tidak ada siapapun yang dapat melihat Allah melainkan diriNya sendiri.
      Dalilnya :
      Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan amalan soleh dan janganlah dia mempersekutukan Tuhannya dalam beribadat kepadanya ( Al-Kahfi ayat 110 )

      Keutamanya bertemu berbanding kenal :
      Adakah anda mengenal sifat-sifat Rasulullah..?
      Ya, saya kenal akan sifat-sifat Rasulullah..!
      Lantas apa keinginan anda terhadap Rasulullah..?
      Semestinyalah saya mau dan rindu untuk menemuinya kerana baginda adalah kekasih Allah.
      Nah begitulah orang yang sempurna pengenalannya terhadap sesuatu pasti terbit rasa ingin bertemu dengan sesuatu yang telah dikenalinya itu dan bukannya hanya sekadar berputar-putar didaerah mengenal semata-mata

      …..udah….ga usah debat ini itu, semua nya sama2 benar kok…
      Ayat Al qur’an dgn ayat al qur’an di debatkan,
      Hadits dgn hadits di debatkan
      _ga akan ada ujung nya_
      Semua nya BENAR..menurut porsi nya masing2.

  6. mas….coba tanya deh orang arab….. apa tuh artinya istiwa’,…orang arab yg jahil sekalipun pasti ngerti deh apa artinya…..jadi nggak usah di takwil macam-macam deh nih ayat….adapun bantahan anda lewat ayat (QS:al-Hadid:4)…justru bisa jadi menghinakan Allah….coba pikirin mas…klo kamu masuk WC, masa’ kamu di WC bersama Allah, atau di tempat-tempat kotor lainnya…kan nggak mungkin..Maha Suci Allah berada ditempat-tempat kotor seperti itu…..yg benarnya……dimanapun kamu berada Allah senantiasa mengetahui dan mengawasi keberadaan kamu….

    • antum berlebihan dengan menanyakan bahasa arab ke orang arab jawaban aswaja berdasar dalil yang ada coba lihat ini dalam tafsir Ibn Katsir juga menjelaskan makna istawa yang membatalkan pemahaman ala wahabi, ikuti link ini

      Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah (lengkap dengan dalil-dalil)

      seandainya antum memabntah terhadap penjelasan blog diatas bantah dengan dalil yang selaras, alias cocok dengan topoiknya, jangan sampai asal dalil terus dicocokkan. bagi ana ini bukan masalah khilafiah tapi sudah mengenai masalah aqidah. awas aqidahmu sejengkal demi sejengkal akan terberenggus oleh nafsu syaiton, naudzubillah.

      • Ijmak para ulama tentang keberadaan Allah di atas langit Keberadaan Allah di atas langit merupakan konsensus para ulama Islam. Bahkan telah dinukilkan ijmak mereka oleh banyak para ulama Islam. Diantara mereka: Pertama : Al-Imam Al-Auzaa’i rahimahullah (wafat 157 H) Al-Auzaa’i berkata : “Ketika kami dahulu –dan para tabi’in masih banyak-kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsyNya, dan kita beriman dengan sifat-sifatNya yang datang dalam sunnah” (Al-Asmaa’ was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-‘Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407) Kedua : Qutaibah bin Sa’iid (150-240 H) Beliau berkata : هذا قول الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كما قال جل جلاله:الرحمن على العرش استوى “Ini perkataan para imam di Islam, Sunnah, dan Jama’ah ; kami mengetahui Robb kami di langit yang ketujuh di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman : Ar-Rahmaan di atas ‘arsy beristiwa” (Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-‘Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103 no 434) Adz-Dzahabi berkata, “Dan Qutaibah -yang merupakan seorang imam dan jujur- telah menukilkan ijmak tentang permasalahan ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik, Al-Laits, Hammaad bin Zaid, dan para ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan umurnya dan para hafidz ramai di depan pintunya” (Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-‘Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103) Ketiga : Ibnu Qutaibah (213 H- 276 H) Beliau berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) : “Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran” (Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395) Keempat : Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimi (wafat 280 H) Beliau berkata dalam kitab beliau Ar-Rod ‘alal Marriisi “Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah” (Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid alaa Bisyr Al-Mariisi Al-‘Aniid Hal 25) Kelima : Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H) Beliau berkata : القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”. “Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami –dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai- bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya” (Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-‘Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482) Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashroh dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-‘Uluw li Al-‘Aliy Al-‘Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qoyyim hal 185) Keenam : Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H) Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254 “Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit: Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah” Ketujuh : Al-Imam Ibnu Baththoh (304 H-387 H) Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqoh An-Naajiyah : “باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه” أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو منه مكان”. انتهى “Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya” Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136) Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththoh termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-‘uluw li Adz-Dzahabi 2/1284) Kedelapan: Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H) Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul ” أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء” وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”. “Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya” Beliau juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz” (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-‘Uluw 2/1315) Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki termasuk pembesar para Huffazh dan para imam dari para qurroo` di Andalusia” (Al-‘Uluw 2/1315) Kesembilan: Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H) Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)…. Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44) Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-‘Uluw 2/1317) Kesepuluh : Imam Abu Nashr As-Sijzi (meninggal pada tahun 444 H) Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656) : Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya” Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-‘Uluw 2/1321 Kesebelas : Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H) Beliau berkata di kitabnya al I’tiqod, “Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang qodiimah… dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-‘Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau mukhtashor Al-‘Uluw 261) Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-‘Uluw 2/1306) Kedua belas: Imam Abu Zur’ah Ar Raazi (meninggal tahun 264H) dan Imam Abu Hatim (meninggal tahun 277H) Berkata Ibnu Abi Hatim : “Aku bertanya pada bapakku (Abu Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab ahlussunnah pada perkara ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang beliau jumpai serta apa yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau berdua mengatakan, “Kami dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz, irak, syam maupun yaman berkeyakinan bahwa: Iman itu berupa perkataan dan amalan, bertambah dan berkurang… Allah ‘azza wa jalla di atas ‘arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana Dia telah mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan bagaimananya, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”(Syarh Ushuul I’tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah karya Al-Laalikaai 1/198) Ibnu Abi Haatim juga berkata berkata, “Aku mendengar bapakku berkata, ciri ahli bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan ciri orang zindiq adalah mereka menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan maksud untuk membatalkan atsar, ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan musyabbihah, dan ciri rafidhoh adalah mereka menamai ahlussunnah dengan naasibah.” (selesai) Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201 Ketiga belas : Imam Ibnu Abdil Bar (meninggal tahun 463H) Beliau berkata dikitabnya at Tamhiid setelah menyebutkan hadits nuzul (turunnya Allah ke langit dunia, pent), “Pada hadits tersebut terdapat dalil bahwa Allah berada di atas yaitu di atas ‘arsy-Nya, di atas langit yang tujuh, hal ini sebagaimana dikatakan oleh para jama’ah. Hal ini merupakan hujjah bagi mereka terhadap mu’tazilah dan jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada dimana-mana bukan di atas ‘arsy” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/8) Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil terhadap hal ini, di antaranya, beliau berkata : “Diantara dalil bahwa Allah di atas langit yang tujuh adalah bahwasanya para ahli tauhid seluruhnya baik orang arab maupun selain arab jika mereka ditimpa kesusahan atau kesempitan mereka mendongakkan wajah mereka ke atas, mereka meminta pertolongan Rabb mereka tabaaraka wa ta’ala…”” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/12) Beliau juga berkata : “Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47) Para pembaca yang budiman, demikianlah jelas bagi kita ijmak salaf yang disampaikan oleh para ulama mutaqodimin, sepuluh lebih ulama mutqoddimin yang menyebutkan ijmak para salaf Perkataan salaf dan para ulama mutaqoddimin yang menunjukan bahwa Allah berada di atas langit Adapun perkataan para ulama yang menunjukan bahwasanya Allah berada di atas langit maka sangatlah banyak. Perkataan mereka telah dikumpulkan oleh Al-Imam Al-Muhaddits Ad-Dzahabi As-Syafii dalam kitabnya Al-‘Uluw li Al-‘Aliyyi Al-‘Adziim (bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2414 dan http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2413 dua cetakan dengan dua pentahqiq yang berbeda) demikian juga kitab Al-Ijtimaa’ al-Juyuusy Al-islaamiyyah karya Ibnul Qoyyim (bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2835). Sungguh dua kitab ini telah mengumpulkan banyak sekali perkataan sahabat, para salaf, dan para ulama dari abad yang berbeda-beda dan dari madzhab yang berbeda-beda. Oleh karenanya tidak ada seorang ulama salafpun –apalagi para sahabat- yang perkataannya menunjukan bahwasanya Allah tidak berada di atas. Perkataan para ulama Asyaa’iroh yang mengakui Allah di atas langit Ternyata kita dapati bahwasanya sebagian pembesar madzhab Asyaa’iroh juga mengakui keberadaan Allah di atas langit. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Asmaa’ wa As-Sifaat (2/308) Beliau berkata, “Dan atsar dari salaf seperti hal ini (yaitu bahwasanya Allah berisitwa di atas ‘arsy -pent) banyak. Dan madzhab As-Syafii radhiallahu ‘anhu menunjukan di atas jalan ini, dan ini madzhab Ahmad bin Hanbal…Dan Abu Hasan Ali bin Ismaa’iil Al-‘Asy’ari berpendapat bahwasanya Allah melakukan suatu fi’il (perbuatan) di ‘arsy yang Allah namakan istiwaa’… Dan Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Mahdi At-Thobari dan juga para ahli nadzor bahwasanya Allah ta’aalaa di langit di atas segala sesuatu, ber-istiwa di atas ‘arsynya, yaitu maknanya Allah di atas ‘arsy. Dan makna istiwaa’ adalah tinggi di atas sebagaimana jika dikatakan “aku beristiwa’ di atas hewan”, “aku beristiwa di atas atap”, maknanya yaitu aku tinggi di atasnya, “Matahari beristiwa di atas kepalaku” Dari penjelasan Al-Imam Al-Baihaqi di atas nampak ; – Banyaknya atsar dari salaf tentang Allah di atas. – Ini merupakan madzhab As-Syafi’i dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal – Ini merupakan madzhab sebagian pembesar Asyaa’iroh seperti Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abul Hasan At-Thobari. Pertama : Imam Abul Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah Merupakan perkara yang mengherankan bahwasanya diantara para ulama yang menyebutkan konsensus salaf tersebut adalah Imam besar kaum Asyaa’iroh yaitu Imam Abul Hasan Al-‘Asy’ari yang hidup di abad ke empat Hijriah. Dialah nenek moyang mereka, guru pertama mereka, sehingga merekapun berintisab (berafiliasi) kepada nama beliau menjadi firqoh Asyaa’iroh. Berkata Imam Abul Hasan Al-‘Asy’ari rahimahullah dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr: Ijmak kesembilan : Dan mereka (para salaf) berkonsensus (ijmak) … bahwasanya Allah ta’aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16). Dan Allah berfirman إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10). Dan Allah berfirman الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏ “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5) Dan bukanlah istiwaa’nya di atas arsy maknanya istiilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh qodariah (Mu’tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ Dia bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4) Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta’wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka berada” (Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234) Ini merupakan hikayat kumpulan perkataan Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah …. Dan bahwasanya Allah –subhaanahu- diatas arsyNya, sebagaimana Allah berfirman الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏ “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5) Dan Allah memiliki dua tangan tanpa ditanyakan bagaimananya… dan Allah memiliki wajah… (Maqoolaatul Islaamiyiin 1/345) Kedua : Abu Bakr Al-Baaqillaani (wafat 403 H) Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah “Jika dikatakan : Apakah kalian mengatakan bahwa Alla berada dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung kepada Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman di atas ‘arsy beristiwaa”, dan Allah berfirman “Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang baik”, dan Allah berfirman “Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di atas?” Beliau berkata, “Kalau seandainya Allah di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di mulutnya, … (Sebagaimana dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-‘Uluw 2/1298 (Mukhtsor Al-‘Uluw 258)) Ketiga : Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H) Beliau berkata dalam kitabnyaAl-I’tiqood wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rosyaad, tahqiq : Abul ‘Ainain, Daar Al-Fadhiilah, cetakan pertama bab Al-Qoul fi Al-Istiwaaa’ (hal 116) “Dan maksud Allah adalah Allah di atas langit, sebagaimana firmanNya, “Dan sungguh aku akan menyalib kalian di pangkal korma”, yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman “Berjalanlah kalian di bumi”, maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas maka dia adalah samaa’. Dan ‘Arsy adalah yang tertinggi dari benda-benda yang di atas. Maka makna ayat –wallahu a’lam- adalah “Apakah kalian merasa aman dari Dzat yang berada di atas ‘arsy?” Oleh karenanya ana meminta Abu Abu Salafy Al-Majhuul dan pemilik bloig salafytobat untuk mendatangkan satu riwayat saja dari para sahabat atau para salaf dengan sanad yang shohih bahwasanya mereka mengingkari Allah berada di atas langit. Kalau mereka berdua tidak mampu mendatangkan satu riwayatpun maka ketahuilah bahwasanya aqidah yang mereka bawa hanyalah aqidah karangan mereka berdua sendiri dan merupakan wahyu dari syaitan. Tipu muslihat Abu Salafy Dari sini kita akan membongkar kedustaan Abu salafy yang berusaha menggambarkan kepada masa bahwasanya aqidah batilnya tersebut juga diyakini oleh para sahabat. Abu Salafi berkata : (http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/11/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-8/) ” Pegenasan Imam Ali as. Tidak seorang pun meragukan kedalaman dan kelurusan akidah dan pemahaman Imam Ali ibn Abi Thalib (karramalahu wajhahu/semoga Alllah senantiasa memuliakan wajag beliau), sehingga beliau digelari Nabi sebagai pintu kota ilmu kebanian dan kerasulan, dan kerenanya para sahabat mempercayakannya untuk menjelaskan berbagai masalah rumit tentang akidah ketuhanan. Imam Ali ra. berkata: كان ولا مكان، وهو الان على كان. ”Adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang tetap seperti semula.” Beliau ra. juga berkata: إن الله تعالى خلق العرش إظهارًا لقدرته لا مكانا لذاته. ”Sesungguhnya Allah – Maha Tinggi- menciptakan Arsy untuk emnampakkan kekuasaan-Nya bukan sebagai tempat untuk Dzat-Nya.”[ Al Farqu baina al Firaq:333] Beliau juga berkata: من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود. ”Barang siapaa menganggap bahwa Tuhan kita terbatas/mahdûd[2] maka ia telah jahil/tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.”[ Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73, ketika menyebut sejarah Ali ibn Abi Thalib ra.] )) -demikian perkataan Abu Salafy-. Ini merupakan kedustaan Abu Salafy terhadap Ali Bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Hal ini akan jelas dari beberapa sisi: Pertama : Sesungguhnya atsar ini dibawakan oleh orang-orang Syi’ah Rofidoh dalam buku-buku mereka tanpa ada sanad sama sekali. Diantaranya dalam kitab mereka Al-Kaafi (karya Al-Kulaini). Al-Kulaini berkata: وَ رُوِيَ أَنَّهُ سُئِلَ ( عليه السلام ) أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ سَمَاءً وَ أَرْضاً فَقَالَ ( عليه السلام ) أَيْنَ سُؤَالٌ عَنْ مَكَانٍ وَ كَانَ اللَّهُ وَ لَا مَكَانَ Dan diriwayatkan bahwasanya Ali bin Abi Tholib ‘alaihis salam ditanya : Dimanakah Robb kami sebelum menciptakan langit dan bumi?, maka Ali bin Abi Tholib ‘alaihis salaam berkata, “Mana pertanyaan tentang tempat?! padahal Allah dahulu tanpa ada tempat (Al-Kaafi 1/90 dalam بَابُ الْكَوْنِ وَ الْمَكَانِ) Ternyata memang aqidah orang-orang Asyaa’iroh semisal Abu salafy dan pemilik blog salafytobat cocok dengan aqidah orang-orang Syi’ah Rofidhoh dalam masalah dimana Allah. Karena memang orang-orang Rofidhoh beraqidah mu’tazilah, dan Asya’iroh dalam masalah dimana Allah sepakat dengan Mu’tazilah (padahal Mu’tazilah adalah musuh bebuyutan Asya’iroh, sebagaimana nanti akan datang penjelasannya). Atsar ini dibawakan oleh Al-Kulaini dengan tanpa sanad, bahkan dengan sighoh “Diriwayatkan” yang menunjukan lemahnya riwayat ini. Kedua : Demikian juga yang dinukil oleh Abu Salafy dari kitab Al-Farqu bainal Firoq karya Abdul Qohir Al-Baghdadi adalah riwayat tanpa sanad sama sekali. Abdul Qohir Al-Baghdadi berkata : “Mereka telah bersepakat bahwasanya Allah tidak diliputi tempat dan tidak berlaku waktu baginya, berbeda dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahwasanya Allah menyetuh ‘Arsy-Nya dari kalangan Hasyimiyyah dan Karroomiyyah. Amiirul Mukminin Ali –radhiollahu ‘anhu- berkata : Sesungguhnya Allah telah menciptakan Al-‘Arsy untuk menunjukan kekuasaanNya dan bukan untuk sebagai tempat yang meliputi dzatNya. Beliau berkata juga : Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat, dan Allah sekarang sebagaimana Dia dulu” (Al-Farqu baynal Firoq hal 33) Para pembaca yang budiman, ternyata riwayat-riwayat dari Ali bin Abi Tholib yang dibawakan oleh Abdul Qohir Al-baghdadi tanpa ada sanad sama sekali. Dan hal ini tentunya diketahui oleh Abu Salafy cs, akan tetapi mereka tetap saja menampilkan riwayat-riwayat dusta dan tanpa sanad ini demi untuk mendukung aqidah mereka yang bathil Ketiga : Selain riwayat-riwayat tersebut tanpa sanad ternyata Abdul Qohir Al-Baghdadi sama sekali tidak dikenal sebagai seorang Muhaddits, namun demikianlah Abu Salafy cs tetap aja nekat mengambil riwayat dari orang yang tidak dikenal sebagai Muhaddits Keempat : Abdul Qohir Al-Baghadadi tentunya lebih rendah kedudukannya daripada kedudukan super gurunya yaitu Abul Hasan Al-‘Asy’ari Kelima : Kalau seandainya riwayat-riwayat di atas shahih maka tidak menunjukan bahwasanya Ali bin Abi Tholib mengingkari adanya Allah di atas langit. Paling banter dalam riwayat-riwayat di atas beliau –radhialllahu ‘anhu- hanyalah mengingkari bahwasanya Allah diliputi oleh tempat, dan pernyataan tersebut adalah pernyataan yang benar. Ahlus sunnah tidak mengatakan bahwa Allah berada di suatu tempat yang meliputi Allah, akan tetapi mereka mengatakan bahwasanya Allah berada di atas, yaitu di arah atas. Jangan disamakan antara tempat dan arah Adapun penjelasan maksud dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya Allah berada di atas, maka melalui point-point berikut ini: 1- Ketinggian itu ada dua, ada ketinggian relatif dan ada ketinggian mutlaq. Adapun ketinggan relatif maka sebagaimana bila kita katakana bahwasanya lantai empat lebih tinggi daripada lantai satu, akan tetapi hal ini relatif, karena ternyata lantai empat lebih rendah daripada lantai enam. 2- Adapun ketinggian mutlak adalah ketinggian kearah atas. Semua manusia di atas muka bumi ini bersepakat bahwasanya semakin sesuatu ke arah atas maka semakin tinggilah sesuatu tersebut. Maka jadilah poros bumi sebagai titik nol pusat kerendahan, dan semakin ke arah atas (yaitu ke arah langit) maka berarti semakin kearah yang tinggi. Oleh karenanya sering juga kita mendengar perkataan para fisikawan “Tinggi gunung ini dari permukaan tanah…. atau dari permukaan air laut..”. Oleh karenanya kita harus paham bahwasanya langit senantiasa letaknya di atas. Taruhlah jika kita sedang berada di bagian bumi bagian selatan, maka langit pada bagian bumi selatan adalah di atas kita, demikian juga langit pada bagian bumi utara juga berada di atas kita, demikian juga langit pada bagian bumi barat dan langit pada bagian bumi timur. 3- Apa yang ada dalam alam wujud ini hanyalah ada dua, Kholiq (yiatu Allah) dan alam semesta (yaitu seluruh makhluk). Dan bagian alam yang paling tinggi adalah langit yang ke tujuh, dan Allah berada di atas langit yang ketujuh, yaitu Allah berada di luar alam. Janganlah di bayangkan bahwa setelah langit yang ke tujuh ada ruang hampa tempat Allah berada, karena ruang hampa juga merupakan alam. Intinya kalau dianggap ada yang lebih tinggi dari langit ketujuh dan merupakan penghujung alam semesta dan yang tertinggi maka Allah berada di balik (di luar) hal itu, dan lebih tinggi dari hal itu. Sehingga tidak ada suatu tempat (yang tempat merupakan makhluk Allah) yang meliputi Allah, karena Allah di luar alam semesta. 4- Dari penjelasan di atas, maka jika Ahlus Sunnah mengatakan bahwa Allah di jihah (di arah) atas maka bukanlah maksudnya Allah berada di suatu tempat yang merupakan makhluk. Akan tetepi Allah berada di luar alam, dan berada di arah atas alam. Dan jihah tersebut bukanlah jihah yang berwujud akan tetapi jihah yang tidak berwujud karena di luar alam. (lihat penjelasan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Al-Kasyf ‘an Manhaj Al-Adillah hal 145-147) 5- Imam Ahmad pernah menjelaskan sebuah pendekatan pemahaman tentang hal ini. Beliau berkata “Jika engkau ingin tahu bahwasanya Jahmiy adalah seorang pendusta tatkala menyangka bahwsanya Allah di semua tempat bukan pada satu tempat tertentu, maka katakanlah : Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?. Maka ia akan menjawab : Iya. Katakan lagi kepadanya, “Tatkala Allah menciptakan sesuatu apakah Allah menciptakan sesuatu tersebut dalam dzat Allah ataukah di luar dzat Allah?”. Maka jawabannya hanya ada tiga kemungkinan, dia pasti memilih salah satu dari tiga kemungkinan tersebut. Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat Allah maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para syaitan berada di dzat Allah. Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakannya di luar dzat Allah kemudian Allah masuk ke dalam ciptaannya maka ini juga merupakan kekufuran tatkala ia menyangka bahwasanya Allah masuk di setiap tempat dan wc dan setiap kotoran yang buruk. Jika ia mengatakan bahwasanya Allah menciptakan mereka di luar dzatnya kemudian tidak masuk dalam mereka maka ia (si jahmiy) telah meninggalkan seluruh aqidahnya dan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah” (Ar-Rod ‘alaa Al-Jahmiyyah wa az-Zanaadiqoh hal 155-156) 6- Perkataan Imam Ahmad أَلَيْسَ اللهُ كَانَ وَلاَ شَيْءَ (Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?) sama dengan perkataan كان الله ولا مكان (Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat.) Perkataan Imam Ahmad ini di dukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam shahihnya كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ “Dahulu Allah (sendirian) dan tidak ada sesuatupun selainNya” (HR Al-Bukhari no 3191) Dan kalimat disini memberikan faedah keumuman, yaitu tidak sesuatupun selain Allah tatkala itu, termasuk alam dan tempat. Meskipun Imam Ahmad mengatakan demikian akan tetapi beliau tetap menetapkan bahwasanya Allah berada di atas. Dari sini kita pahami bahwa penetepan adanya Allah di atas tidaklah melazimkan bahwasanya Allah berada atau diliputi oleh tempat yang merupakan makhluk. Perkataan Imam Ahmad ini mirip dengan perkataan Abdullah bin Sa’iid Al-Qottoon sebagaimana dinukil oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dalam kitabnya maqoolaat Al-Islamiyiin 1/351 Abul Hasan Al-Asy’ari berkata, “Dan Abdullah bin Sa’iin menyangka bahwasanya Al-Baari (Allah) di zaman azali tanpa ada tempat dan zaman sebelum penciptaan makhluk, dan Allah senantiasa berada di atas kondisi tersebut, dan bahwasanya Allah beristiwaa’ di atas ‘arsyNya sebagaimana firmanNya, dan bahwasanya Allah berada di atas segala sesuatu” Perhatikanlah para pembaca yang budiman, Abdullah bin Sa’iid meyakini bahwasanya Allah tidak bertempat, akan tetapi ia –rahimahullah- tidak memahami bahwasanya hal ini melazimkan Allah tidak di atas. Sehingga tidak ada pertentangan antara keberadaan Allah di arah atas dan kondisi Allah yang tidak diliputi suatu tempat. Pemahaman Imam Ahmad dan Abdullah bin Sa’iid bertentangan dengan pemahaman Abu Salafy cs yang menyangka bahwa kalau kita menafikan tempat dari Allah melazimkan Allah tidak di atas. Atau dengan kata lain Abu Salafy cs menyangka kalau Allah berada di arah atas maka melazimkan Allah diliputi oleh tempat. Adapun riwayat Abu Nu’aim dalam hilyatul Auliyaa 1/73 Adapun sanad dari riwayat diatas sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/72 adalah sbb: Ana berharap Abu Salafy cs mendatangkan biografi para perawi di atas dan menghukumi keabsahan sanad di atas !!! Abu Salafy berkata : Penegasan Imam Imam Ali ibn Husain –Zainal Abidin- ra. Ali Zainal Abidin adalah putra Imam Husain –cucu terkasih Rasulullah saw.- tentang ketaqwaan, kedalaman ilmu pengatahuannya tentang Islam, dan kearifan Imam Zainal Abidin tidak seorang pun meragukannya. Beliau adalah tempat berujuk para pembesar tabi’in bahkan sehabat-sabahat Nabi saw. Telah banyak diriwayatkan untaian kata-kata hikmah tentang ketuhanan dari beliau ra. di antaranya adalah sebagai berikut ini. أنت الله الذي لا يحويك مكان. ”Engkaulah Allah Dzat yang tidak dirangkum oleh tempat.” Dalam hikmah lainnya beliau ra. berkata: أنت الله الذي لا تحد فتكون محدودا ”Engkaulah Allah Dzat yang tidak dibatasi sehingga Engkau menjadi terbatas.”[ Ithâf as Sâdah al Muttaqîn, Syarah Ihyâ’ ‘Ulumuddîn,4/380])) -Demikan perkataan Abu Salafi- Firanda berkata: Ana katakan kepada Abu Salafy, dari mana riwayat ini? Mana sanadnya?, bagaimana biografi para perawinya? Apakah riwayat ini shahih…??!! Para pembaca yang budiman, berikut ini kami akan tunjukan sumber pengambilan Abu Salafy yaitu kitab Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin 4/380 Dalam buku ini dijelaskan bahwasanya atsar Zainal Abidin ini bersumber dari As-Shohiifah As-Sajjaadiyah, kemudian sanadnya sangatlah panjang, maka kami meminta Al-Ustadz Abu Salafy al-Majhuul dan teman-temannya untuk mentahqiq keabsahan sanad ini dari sumber-sumber yang terpercaya. Jika tidak maka para perawi atsar ini dihukumi majhuul, sebagaimana diri Abu salafy yang majhuul. Maka jadilah periwayatan mereka menjadi riwayat yang lemah. Tahukah Al-Ustadz Abu salafy Al-Majhuul bahwasanya As-Shohiifah As-Sajjadiyah adalah buku pegangan kaum Rofidhoh?, bahkan dinamakan oleh Rofidhoh dengan nama Ukhtul Qur’aan (saudarinya Al-Qur’an) karena menurut keyakinan mereka bahwasanya perkataan para imam mereka seperti perkataan Allah. Sekali lagi ternyata Abu Salafy cs doyan untuk bersepakat dengan kaum Syi’ah Rofidhoh, doyan dengan aqidah mereka…???!!! Ana sarankan ustadz Abu salafy untuk membaca buku yang berjudul Haqiqat As-Shahiifah As-Sajjadiah karya DR Nasir bin Abdillah Al-Qifarii (silahkan didownload di http://www.archive.org/download/hsshss/hss.pdf) Abu Salafy berkata : Penegasan Imam Ja’far ash Shadiq ra. (W. 148 H) Imam Ja’far ash Shadiq adalah putra Imam Muhammad -yang digelaru dengan al Baqir yang artinya si pendekar yang telah membela perut ilmu pengetahuan karena kedalaman dan kejelian analisanya- putra Imam Ali Zainal Abidin. Tentang kedalam ilmu dan kearifan Imam Ja’far ash Shadiq adalah telah menjadi kesepakatan para ulama yang menyebutkan sejarahn hidupnya. Telah banya dikutip dan diriwayatkan darinya berbagai cabang dan disiplin ilmu pengetahuan, khususnya tentang fikih dan akidah. Di bawah ini kami sebutkan satu di antara pegesan beliau tentang kemaha sucian Allah dari bertempat seperti yang diyakini kaumm Mujassimah Wahhabiyah. Beliau berkata: من زعم أن الله في شىء، أو من شىء، أو على شىء فقد أشرك. إذ لو كان على شىء لكان محمولا، ولو كان في شىء لكان محصورا، ولو كان من شىء لكان محدثا- أي مخلوقا. ”Barang siapa menganggap bahwa Allah berada dalam/pada sesuatu, atau di attas sesuatu maka dia benar-benar telah menyekutukan Allah. Sebab jika Dia berada di atas sesuatu pastilah Dia itu dipikul. Dan jika Dia berada pada/ di dalam sesuatu pastilah Dia terbatas. Dan jika Dia terbuat dari sesuatu pastilah Dia itu muhdats/tercipta.”[ Risalah al Qusiariyah:6])) –demikian perkataan Abu Salafy- Firanda berkata : Demikianlah Abu Salafy Al-Majhuul, tatkala tidak mendapatkan seorang salafpun yang mendukung aqidahnya maka diapun segera mencari riwayat-riwayat yang mendukung aqidahnya meskipun riwayat tersebut lemah, bahkan meskipun tanpa sanad. Inilah model pendalilalnnya sebagaiamana telah lalu. Berikut ini kami nukilkan langsung riwayat tanpa sanad tersebut dari kita Ar-Risaalah Al-Qusyairiyyah Dan nampaknya Abu Salafy tidak membaca buku ini secara langsung sehingga salah dalam menyebutkan nama buku ini. Abu Salafy berkata ” Risalah al Qusiariyah ” Dan rupanya Abu Salafy sadar bahwasanya tipu muslihatnya ini akan tercium juga –karena kami yakin Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul adalah ustadz yang mengerti akan ilmu hadits, dan mengerti akan definisi hadits shahih, oleh karenanya berani untuk mengkritik As-Syaikh Al-Albani rahimahullah-. Oleh karenanya agar tidak dituduh dengan tuduhan macam-macam, maka Al-Ustadz Al-Majhuul segera membungkusi tipu muslihatnya ini dengan berkata : Peringatan: Mungkin kaum Wahhabiyah Mujassimah sangat keberatan dengan penukilan kami dari para tokoh mulia dan agung keluarga Ahlulbait Nabi saw. dan kemudian menuduh kami sebagai Syi’ah! Sebab sementara ini mereka hanya terbiasa menerima informasi agama dari kaum Mujassimah generasi awal seperti ka’ab al Ahbâr, Muqatil dkk.. Jadi wajar saja jika mereka kemudian alergi terhadap mutiara-mutoara hikmah keluarga Nabi saw. karena pikiran mereka telah teracuni oleh virus ganas akidah tajsîm dan tasybîh yang diprogandakan para pendeta Yahudi dan Nasrani yang berpura-pura memeluk Islam! Dan sikap mereka itu sekaligus bukti keitdak sukaan mereka terhadap keluarga Nabi Muhammad saw. seperti yang dikeluhkan oleh Ibnu Jauzi al Hanbali bahwa kebanyakan kaum Hanâbilah itu menyimpang dari ajaran Imam Ahmad; imam mereka dan terjebak dalam faham tajsîm dan tasybîh sehingga seakan identik antara bermazhab Hanbali dengan berfaham tajsîm, dan di tengah-tengah mereka terdapat jumlah yang tidak sedikit dari kaum nawâshib yang sangat mendengki dan membenci Ahlulbait Nabi saw. dan membela habis-habisan keluarga tekutuk bani Umayyah; Mu’awiyah, Yazid …. .[ Muqaddimah Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu Jauzi])) –demikianlah perkataan abu Firanda berkata : Lihatlah bagaimana buruknya akhlaq Abu Salafy yang hanya bisa menuduh Ahlus Sunnah dengan tuduhan-tuduhan yang kasar namun tanpa bukti. Perkataannya ini mengandung beberapa pengakuannya : 1. Dia sudah sadar kalau bakalan dituduh mengekor Syia’h namun kenyataannya adalah demikian. Oleh karenanya dengan sangat berani dia mengkutuk Sahabat Mulia Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu. Bukankah ini adalah aqidah Syi’ah Rofidhoh???, bukankah meyakini Allah tidak di atas adalah aqidah Rofidhoh??. Imam Ahlus Sunnah manakah yang mengutuk Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu???!!. Kita Ahlus Sunnah cinta dengan Alu Bait, akan tetapi ternyata semua riwayat Alu Bait yang disebutkan oleh sang Ustadz Abu salafy Al-Majhuul riwayat dusta tanpa sanad. 2. Dia menuduh bahwa Ahlus Sunnah (yang disebut Wahhabiah olehnya) benci terhadap keluarga Nabi…, manakah buktinya ada seorang Wahhabi yang benci terhadap keluarga Nabi??. Bukankah As-Syaikh Muhammad Bin AbdilWahaab guru besarnya para Wahhabiyyah telah menamakan enam anak-anaknya dengan nama-nama Alul bait??? 3. Menuduh Muqotil dkk sebagai mujassimah. Ana ingin tahu apa maksud dia dengan “dkk”??!! Setelah ketahuan kedoknya dan tipu muslihatnya terhadap para Alul Bait, maka Abu Salafy tidak putus asa, maka ia melancarkan tipu muslihat berikutnya. Yaitu berusaha menukil dari para imam madzhab. Namun seperti biasa, ia hanya mampu mendapatkan riwayat-riwayat tanpa sanad. Sungguh aneh tapi nyata, sang ustadz berani mengkritik syaikh Al-bani namun ternyata ilmu hadits yang dimiliki sang ustadz hanya digunakan untuk mengkritik, dan tatkala berbicara tentang aqidah –yang sangat urgen tentunya- ilmu haditsnya dibuang, dan berpegang pada riwayat-riwayat tanpa sanad. Wallahul Musta’aan. Abu Salafy berkata : Penegasan Imam Abu Hanifah ra. Di antara nama yang sering juga dimanfa’atkan untuk mendukung penyimpangan akidah kaum Mujassimah Wahhabiyah adalah nama Imam Abu Hanifah, karenanya penting juga kita sebutkan nukilan yang nenegaskan akidah lurus Abuhanifah tentang konsep ketuhanan. Di antaranya ia berkata: ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق ”Perjumpaan dengan Allah bagi penghuni surga tanpa bentuk dan penyerupaan adalah haq.”[ Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al Qâri:138]))- demikian perkatan Abu Salafy Firanda berkata : Para pembaca yang budiman marilah kita mengecek kitab-kitab yang merupakan sumber pengambilan riwayat Abu Hanifah yang dilakukan Abu Salafy Berkata Mulla ‘Ali Al-Qoori dalam syarah Al-Fiqh Al-Akbar hal 246 : “Dan berkata Al-Imaam Al-A’dzom (maksudnya adalah Abu Hanifah-pent) dalam kitabnya Al-Washiyyah : Dan pertemuan Allah ta’aala dengan penduduk surga tanpa kayf, tanpa tasybiih, dan tanpa jihah merupakan kebenaran”. Selesai” (Minah Ar-Roudh Al-Azhar fi syarh Al-Fiqh Al-Akbar, karya Ali bin Sulthoon Muhammad Al-Qoori, tahqiq Wahbi Sulaimaan Gowjiy hal 246) Ternyata riwayat Imam Abu Hanifah di atas berasal dari sebuah kitab yang berujudl “Al-Washiyyah” yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah. Sebelum melanjutkan pembahasan ini, saya ingin meningatkan pembaca tentang sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah. Riwayat tersebut adalah perkataan beliau rahimahullah : مَنْ قال لا أعْرِفُ ربِّي في السماء أم في الأرضِ فقد كفر، لأَنَّ اللهَ يقول: {الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏}، و عرشه فوق سبع سماواته. “Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Sebab Alllah telah berfirman: الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏. “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arsy.” (QS. Thâhâ;5) dan Arsy-Nya di atas tujuh lapis langit.” Riwayat Abu Hanifah ini termaktub dalam kitab Al-Fiqhu Al-Akbar, dan buku ini telah dinisbahkan oleh Abu Hanifah. Akan tetapi buku ini diriwayatkan oleh Abu Muthii’ Al-Balkhi. Al-Ustadz Abu Salafy tidak menerima riwayat ini dengan dalih bahwasanya sanad periwayatan buku Al-Fiqhu Al-Akbar ini tidaklah sah karena diriwayatkan oleh perawi yang tertuduh dusta. Abu Salafy berkata : ((Pernyataan yang mereka nisbahkan kepada Abu Hanifah di atas adalah kebohongan dan kepalsuan belaka!! Namun kaum Mujassimah memang gemar memalsu dan junûd, bala tentara mereka berbahagia dengan penemuan pernyataan-pernyataan palsu seperti contoh di atas!! Pernyataan itu benar-benar telah dipalsukan atas nama Imam Abu Hanifah… perawi yang membawa berita itu adalah seorang gembong pembohong dan pemalsu ulung bernama Abu Muthî’ al Balkhi. Adz Dzahabi berkata tentangnya, “ia seorang kadzdzâb (pembohong besar) wadhdhâ’ (pemalsu). Baca Mîzân al I’tidâl,1/574. Ketika seorang perawi disebut sebagai kadzdzâb atau wadhdhâ’ itu berarti ia berada di atas puncak keburukan kualitas… ia adalah pencacat atas seorang perawi yang paling berat. Demikian diterangkan dalam kajian jarhi wa ta’dîl ! Imam Ahmad berkata tentangnya: لا ينبغي أن يُروى عنه شيئٌ. “Tidak sepatutnya diriwayatkan apapun darinya.” Yahya ibn Ma’in berkata, “Orang itu tidak berharga sedikitpun.” Ibnu Hajar al Asqallani menghimpun sederetan komentar yang mencacat perawi andalan kaum Mujassimah yang satu ini: Abu Hatim ar Razi: كان مُرجِئا كَذَّابا. “Ia adalah seorang murjiah pembohong, kadzdzâb.” Adz Dzahabi telah memastikan bahwa ia telah memalsu hadis Nabi, maka untuk itu dapat dilihat pada biografi Utsman ibn Abdullah al-Umawi.” (Lisân al Mîzân,2/335) ))-demikian perkataan Abu Salafy sebagaiamana bisa dilihat di http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/13/kaum-wahhabiyah-mujassimah-memalsu-atas-nama-salaf-1/) Demikianlah penjelasan Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul. Sekarang saya ingin balik bertanya kepada Pak Ustadz, manakah sanad periwayatan kitab Al-Washiyyah karya Abu Hanifah??? Dan sungguh aneh tapi nyata, ternyata meskipun Ustadz Abu Salafy telah menyatakan dusta tentang buku Al-Fiqh Al-Akbar yang merupakan periwayatan Abu Muthii’ Al-Balkhi, namun… ternyata Pak Ustadz Abu Salafy masih juga nekat mengambil riwayat dari buku tersebut. Abu Salafy berkata : Dan telah dinukil pula bahwa ia (yaitu abu hanifah) berkata: قلت: أرأيت لو قيل أين الله تعالى؟ فقال- أي أبو حنيفة-: يقال له كان الله تعالى ولا مكان قبل أن يخلق الخلق، وكان الله تعالى ولم يكن أين ولا خلق ولا شىء، وهو خالق كل شىء. ”Aku (perawi) berkata, ’Bagaimana pendapat Anda jika aku bertanya, ’Di mana Allah?’ Maka Abu Hanifah berkata, ’Dikatakan untuk-Nya Dia telah ada sementara tempat itu belum ada sebelum Dia menciptakan tempat. Dia Allah sudah ada sementara belum ada dimana dan Dia belum meciptakan sesuatu apapun. Dialah Sang Pencipta segala sesuatu.” [ Al Fiqhul Absath (dicetak bersama kumpulan Rasâil Abu Hanifah, dengan tahqiq Syeikh Allamah al Kautsari): 25])) –demikian perkataan Abu Salafy- Para pembaca sekalian tahukah anda apa itu kitab Al-Fiqhu Al-Absath?, dialah kitab Al-Fiqhu Al-Akbar dengan periwayatan Abul Muthii’ yang dikatakan dusta oleh Abu Salafy sendiri. Lihatlah perkataan Al-Kautsari : “Dan telah dicetak di India dan Mesir syarh Al-Fiqh Al-Akbar dengan riwayat Abu Muthii’, dan dialah yang dikenal dengan Al-Fiqh Al-Absath untuk membedakan dengan Al-Fiqh Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Hammaad bin Abi Haniifah” Al-Kautsari juga berkata di muqoddimah tatkala mentahqiq Al-Fiqh Al-Absath : “Dia adalah Al-Fiqhu Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Abu Muthii’, dikenal dengan Al-Fiqh Al-Absath untuk membedakannya dengan Al-Fiqhu Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Hammad bin Abi Haniifah dari ayahnya. Dan perawi Al-Fiqh Al-Absath yaitu Abu Muthii’ dia adalah Al-Hakam bin Abdillah Al-Balkhi sahabatnya Abu hanifah…” Sungguh aneh tapi nyata, ternyata Al-Ustadz Abu Salafy yang telah menyatakan kedustaan kitab Al-Fiqhu Al-Absath ternyata juga menjadikan kitab tersebut sebagai dalil untuk mendukung hawa nafsunya. Maka kita katakan kepada Al-Ustadz Abu Salafy–sebagaimana yang ia katakan sendiri- : Anda wahai Abu Salafy. Yang anehnya dalam buku Al-Fiqhu Al-Absath yang ditahqiq oleh ulamanya Abu Salafy yang bernama Al-Kautsari terdapat nukilan yang “mematahkan punggung” kaum jahmiyyah dan Asyaa’iroh muta’akkhirin, dan neo Asya’iroh seperti Abu Salafy cs. Dalam buku tersebut Abu Haniifah berkata : Abu Hanifah berkata, “Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Demikian juga orang yang mengatakan “Sesunguhnya Allah di atas ‘arsy (tapi) aku tidak tahu apakah ‘arsy itu di langit atau di bumi” ….. Inilah kitab Al-Fiqh Al-Absath tahqiq Al-Kautsari yang dijadikan pegangan oleh Al-Ustadz Abu Salafy. Ternyata Abu Hanifah mengkafirkan orang yang tidak mengatakan Allah di atas langit dengan berdalil dengan hadits Jaariyah (budak wanita) yang tatkala ditanya oleh Nabi “Dimanakah Allah” maka sanga budak mengisyaratkan tangannya ke langit. Penjelasan saya ini juga saya anggap cukup untuk menyingkap kesalahan pemilik blog salafytobat (lihat http://salafytobat.wordpress.com/2008/06/16/hujjah-imam-hanafi-kalahkan-aqidah-sesat-salafy-wahaby/) Abu Salafy berkata ((Dalam kesempatan lain dinukil darinya (yaitu dari Abu Hanifah): ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا. ”Kami menetapkan (mengakui) bahwa sesungguhnya Allah SWT beristiwâ’ di atas Arsy tanpa Dia butuh kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya. Dialah Tuhan yang memelihara Arsy dan selainnya tanpa ada sedikit pun kebutuhan kepadanya. Jika Dia butuh kepadanya pastilah Dia tidak kuasa mencipta dan mengatur alam semesta, seperti layaknya makhluk ciptaan. Dan jika Dia butuh untuk duduk dan bersemayam, lalu sebelum Dia menciptakan Arsy di mana Dia bertempat. Maha Tinggi Allah dari anggapan itu setinggi-tingginya.”[ Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al Qâri:75] Pernyataan Abu Hanifah di atas benar-benar mematahkan punggung kaum Mujassimah yang menamakan dirinya sebagai Salafiyah dan enggan disebut Wahhâbiyah yang mengaku-ngaku tanpa malu mengikuti Salaf Shaleh, sementara Abu Hanifah, demikian pula dengan Imam Ja’far, Imam Zainal Abidin adalah pembesar generasi ulama Salaf Shelah mereka abaikan keterangan dan fatwa-fatwa mereka?! Jika mereka itu bukan Salaf Sheleh yang diandalkan kaum Wahhabiyah, lalu siapakah Salaf menurut mereka? Dan siapakah Salaf mereka? Ka’ab al Ahbâr? Muqatil? Atau siapa?))- demikianlah perkataan Abu Salafy- Firanda berkata : Kami katakan : 1- Isi dari nukilan tersebut sama sekali tidak berententangan dengan aqidah Ahlus Sunnah, karena Ahlus Sunnah (Wahhabiyah/As-Salafiyah) tatkala menyatakan Allah beristiwa di atas ‘arsy tidaklah melazimkan bahwasanya Allah membutuhkan ‘arsy. Dan tidak ada kelaziman bahwasanya yang berada di atas selalu membutuhkan yang di bawahnya. Jika kita perhatikan langit dan bumi maka kita akan menyadari akan hal ini. Bukankah langit berada di atas bumi?, bukankah langit lebih luas dari bumi?, bukankah langit tidak butuh kepada bumi? Apakah ada tiang yang di tanam di bumi untuk menopang langit?. Jika langit yang notabene adalah sebuah makhluq namun tidak butuh kepada yang di bawahnya bagaimana lagi dengan Kholiq pencipta ‘arsy. 2- Nukilan dari Abu Hanifah tersebut sesuai dengan aqidah As-Salafiyyah dan justru bertentangan dengan aqidah Abu Salafy cs. Bukankah dalam nukilan ini Abu Hanifah menetapkan adanya sifat istiwaa? Dan tidak mentakwil sifat istiwaa sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Salafy cs??. Abu Hanifah menjelaskan bahwasanya Allah beristiwaa (berada di atas) ‘arsy akan tetapi tanpa ada kebutuhan sedikitpun terhadap ‘arsy tersebut. 3- Oleh karenanya kita katakan bahwa justru nukilan ini merupakan boomerang bagi Abu Salafy cs yang selalu mentakwil istiwaa’ dengan makna istaulaa (menguasi) –dan inysaa Allah hal ini akan dibahas pada kesempatan lain. Bahkan dalam halaman yang sama yang tidak dinukil oleh Abu Salafy ternyata Mulla ‘Ali Al-Qoori menyebutkan riwayat dari Abu Hanifah yang membungkam Ustadz Abu Salafy cs. Marilah kita melihat langsung lembaran tersebut yaitu dari buku Syarh Al-Fiqh Al-Akbar karya Mulla ‘Ali Al-Qoori (hal 126) Dan Abu hanifah rahimahullah ditanya tentang bahwasanya Allah subhaanahu turun dari langit. maka beliau menjawab : Allah turun, tanpa (ditanya) bagaimananya, … Bukankah dalam nukilan ini ternyata Abu Hanifah menetapkan sifat nuzuulnya Allah ke langit dunia?, Abu Hanifah menetapkan hal itu tanpa takwil dan tanpa bertanya bagaimananya. Karena memang bagaimana cara turunnya Allah tidak ada yang menetahuinya. Berkata Abu Salafy : Penegasan Imam Syafi’i (w. 204 H) Telah dinukil dari Imam Syafi’i bahwa ia berkata: إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته. ”Sesungguhnya Allah –Ta’ala- tel;ah ada sedangkan belum ada temppat. Lalu Dia menciptakan tempat. Dia tetap atas sifat-Nya sejak azali, seperti sebelum Dia menciptakan tempat. Mustahil atas-Nya perubahan dalam Dzat-Nya dan pergantian pada sifat-Nya.”[ Ithâf as Sâdah,2/24])) –demikian perkataan Abu Salafy- Firanda berkata : Para pembaca yang budiman marilah kita melihat sumber pengambilan Abu Salafy secara langsung dari kitab Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin 2/24 Ana katakan bahwasanya –sebagaimana kebiasaan Abu Salafy- maka demikian juga dalam penukilan ini Abu Salafy menukil perkataan Imam As-Syaafi’i tanpa sanad, maka kami berharap pak Ustadz Abu Salafy cs untuk mendatangkan sanad periwayatan dari Imam As-Syafii ini. Abu Salafy berkata : Penegasan Imam Ahmad ibn Hanbal (W.241H) Imam Ahmad juga menegaskan akidah serupa. Ibnu Hajar al Haitsami menegaskan bahwa Imam Ahmad tergolong ulama yang mensucikan Allah dari jismiah dan tempat. Ia berkata: وما اشتهر بين جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه. ”Adapun apa yang tersebar di kalangan kaum jahil yang menisbatkan dirinya kepada sang imam mulia dan mujtahid bahwa beliau meyakini tempat/arah atau semisalnya adalah kebohongan dan kepalsuan belaka atas nama beliau.”[ Al Fatâwa al Hadîtsiyah:144.] –demikian perkataan Abu Salafy- Firanda berkata : Pada nukilan di atas sangatlah jelas bahwasanya Abu Salafy tidak sedang menukil perkataan Imam Ahmad, akan tetapi sedang menukil perkataan Ibnu Hajar Al-Haitsami tentang Imam Ahmad. Ini merupakan tadliis dan talbiis. Abu Salafy membawakan perkataan Ibnu Hajr Al-Haitsami ini dibawah sub judul “Penegasan Imam Ahmad”, namun ternyata yang ia bawakan bukanlah perkataan Imam Ahmad apalagi penegasan. Seharusnya sub judulnya : “Penegasan Ibnu Hajr Al-Haitsami”. Abu Salafy berkata: Penegasan Imam Ghazzali: Imam Ghazzali menegaskan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn-nya,4/434: أن الله تعالى مقدس عن المكان ومنزه عن الاقطار والجهات وأنه ليس داخل العالم ولا خارجه ولا هو متصل به ولا هو منفصل عنه ، قد حير عقول أقوام حتى أنكروه إذ لم يطيقوا سماعه ومعرفته ” “Sesungguhnya Allah –Ta’ala- Maha suci dari tempat dan suci dari penjuru dan arah. Dia tidak di dalam alam tidak juga di luarnya. Ia tidak bersentuhan dengannya dn tidak juga berpisah darinya. Telah membuat bingun akal-akal kaum-kaum sehingga mereka mengingkari-Nya, karena mereka tidak sanggunp mendengar dan mengertinya.” Dan banyak keterangan serupa beliau utarakan dalam berbagai karya berharga beliau. Penegasan Ibnu Jauzi Ibnu Jauzi juga menegaskan akidah Isla serupa dalam kitab Daf’u Syubahi at Tasybîh, ia berkata: وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات. “Demikian juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam dan tidak pula di luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi yang mesti dialami benda berbentuk.”[ Daf’u Syubah at Tasybîh (dengan tahqiq Sayyid Hasan ibn Ali as Seqqaf):130])) –demikian perkataan Abu Salafy- Firanda berkata : Rupanya tatkala Abu Salafy tidak mampu untuk menemukan satu riwayatpun dari kalangan salaf dengan sanad yang shahih yang mendukung aqidah karangannya maka ia terpaksa mengambil perkataan para ulama mutaakhkhiriin semisal Al-Gozaali yang wafat pada tahun 506 H dan Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597 H. Adapun Al-Gozaali maka Abu Salafy menukil perkataannya dari kitab Ihyaa ‘Uluum Ad-Diin. Sesungguhnya para ulama telah mengingatkan akan kerancuan pemikian aqidah Al-Gozaali dalam kitabnya ini. Diantara kerancuan-kerancuan tersebut perkataan Al-Gozaali : “Dihikayatkan bahwasanya Abu Turoob At-Takhsyabi kagum dengan seorang murid, Abu Turob mendekati murid tersebut dan mengurusi kemaslahatan-kemaslahatan sang murid, sedangkan sang murid sibuk dengan ibadahnya dan wajd-wajdnya. Pada suatu hari Abu Turob berkata kepada sang murid, “Kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid”, sang murid berkata, “Aku sibuk”. Tatkala Abu Turob terus menerus dan serius mengulang-ngulangi perkataannya, “Kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid”, akhirnya sang muridpun berkata, “Memangnya apa yang aku lakukan terhadap Abu Yaziid, aku telah melihat Allah yang ini sudah cukup bagiku sehingga aku tidak perlu dengan Abu yaziid”. Abu Turoob berkata, “Maka dirikupun naik pitam dan aku tidak bisa menahan diriku, maka aku berkata kepadanya : “Celaka engkau, janganlah engkau terpedaya dengan Allah Azza wa Jalla, kalau seandainya engkau melihat Abu Yaziid sekali maka lebih bermanfaat bagimu daripada engkau melihat Allah tujuh puluh kali”. Maka sang muridpun tercengang dan mengingkari perkataan Abu Turoob. Iapun berkata, “Bagaimana bisa demikian?”. Abu Turoob berkata, “Celaka engkau, bukankah engkau melihat Allah di sisimu, maka Allahpun nampak untukmu sesuai dengan kadarmu, dan engkau melihat Abu Yaziid di sisi Allah dan Allah telah nampak sesuai dengan kadar abu Yaziid”. Maka sang murid faham dan berkata, “Bawalah aku ke Abu Yaziid”… Aku berkata kepada sang murid, “Inilah Abu Yaziid, lihatlah dia”, maka sang pemuda (sang murid)pun melihat Abu Yaziid maka diapun pingsan. Kami lalu menggerak-gerakan tubuhnya, ternyata ia telah meninggal dunia. Maka kamipun saling bantu-membantu untuk menguburkannya. Akupun berkata kepada Abu Yaziid, “Penglihatannya kepadamu telah membunuhnya”. Abu Yaziid berkata, “Bukan demikian, akan tetapi sahabat kalian tersebut benar-benar dan telah menetap dalam hatinya rahasia yang tidak terungkap jika dengan pensifatan saja (sekedar cerita saja). Tatkala ia melihatku maka terungkaplah rahasia hatinya, maka ia tidak mampu untuk memikulnya, karena dia masih pada tingkatan orang-orang yang lemah yaitu para murid, maka hal ini membunuhnya”. Al_Gozzaalii mengomentari kisah ini dengan berkata, “Ini merupakan perkara-perkara yang mungkin terjadi. Barangsiapa yang tidak memperoleh sedikitpun dari perkara-perkara ini maka hendaknya jangan sampai dirinya kosong dari pembenaran dan beriman terhadap mungkinnya terjadi perkara-perkara tersebut….” Oleh karenanya para ulama memperingatkan akan kerancuan-kerancuan yang terdapat dala kitab Ihyaa’ uluum Ad-Diin. Yang anehnya… diantara para ulama yang keras dalam memperingatkan kerancuan kitab ini adalah Ibnu Jauzi sendiri. Ibnul Jauzi berkata (dalm kitabnya Talbiis Ibliis, tahqiq DR Ahmad bin Utsmaan Al-Maziid, Daar Al-Wathn, 3/964-965): Dan datang Abu haamid Al-Gozzaali lalu iapun menulis kitab “Ihyaa (Uluum Ad-Diin-pent)”… dan dia memenuhi kitab tersebut dengan hadits-hadits yang batil –dan dia tidak mengetahui kebatilan hadits-hadits tersebut-. Dan ia berbicara tentang ilmu Al-Mukaasyafah dan ia keluar dari aturan fiqh. Ia berkata bahwa yang dimaksud dengan bintang-bintang, matahari, dan rembulan yang dilihat oleh Nabi Ibrohim merupkan cahaya-cahaya yang cahaya-cahaya tersebut merupakan hijab-hijabnya Allah. Dan bukanlah maksudnya benda-benda langit yang sudah ma’ruuf.”. Mushonnif (Ibnul Jauzi) berkata, “Perkataan seperti ini sejenis dengan peraktaan firqoh Bathiniyah”. Al-Gozzaali juga berkata di kitabnya “Al-Mufsih bil Ahwaal” : Sesungguhnya orang-orang sufi mereka dalam keadaan terjaga melihat para malaikat, ruh-ruh para nabi, dan mendengar suara-suara dari mereka, dan mengambil faedah-faedah dari mereka. Kemudian kondisi mereka (yaitu orang-orang sufi) pun semakin meningkat dari melihat bentuk menjadi tingkatan derajat-derajat yagn sulit untuk diucapkan” Dan masih banyak perkataan para ulama yang mengingatkan akan bahayanya kerancuan-kerancuan pemikiran Al-Gozzaali, diantaranya At-Turtusi, Al-Maaziri, dan Al-Qodhi ‘Iyaadh. Maka saya jadi bertanya tentang kitab Ihyaa Uluum Ad-Diin, apakah kita mengikuti pendapat Ustadz Abu Salafy yang majhuul untuk menjadikan kitab tersebut sebagai sumber aqidah?, ataukah kita mengikuti perkataan Ibnu Jauzi?? Adapun perkataan Ibnul Jauzi maka sesungguhnya Ibnul Jauzi dalam masalah tauhid Al-Asmaa was sifaat mengalami kegoncangan, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rojab Al-Hanbali. Beliau berkata : “Dan diantara sebab kritkan orang-orang terhadap Ibnul Jauzi –yang ini merupakan sebab marahnya sekelompok syaikh-syaikh dari para sahabat kami (yaitu syaikh-syaikh dari madzhab hanbali-pent) dan para imam mereka dari Al-Maqoodisah dan Al-‘Altsiyyiin mereka marah terhadap condongnya Ibnul Jauzi terhadap takwiil pada beberapa perkatan Ibnul Jauzi, dan keras pengingkaran mereka terhadap beliau tentang takwil beliau. Meskipun Ibnul Jauzi punya wawasan luas tentang hadits-hadits dan atsar-atsar yang berkaitan dengan pembahasan ini hanya saja beliau tidak mahir dalam menghilangkan dan menjelaskan rusaknya syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para ahli kalam (filsafat). Beliau mengagungi Abul Wafaa’ Ibnu ‘Aqiil… dan Ibnu ‘Aqiil mahir dalam ilmu kalam akan tetapi tidak memiliki ilmu yang sempurna tentang hadits-hadits dan atsar-atsar. Oleh karenanya perkataan Ibnu ‘Aqiil dalam pembahasan ini mudhthorib (goncang) dan pendapat-pendapatnya beragam (tidak satu pendapat-pent), dan Abul Faroj (ibnul Jauzi) juga mengikuti Ibnu ‘Aqiil dalam keragaman tersebut.” (Adz-Dzail ‘alaa Tobaqootil Hanaabilah, cetakan Daarul Ma’rifah, hal 3/414 atau cetakan Al-‘Ubaikaan, tahqiq Abdurrahman Al-‘Utsaimiin 2/487) Para pembaca yang budiman, Ibnu Rojab Al-Hanbali telah menjelaskan bahwasanya aqidah Ibnul Jauzi dalam masalah tauhid Al-Asmaa’ was Sifaat tidaklah stabil, bahkan bergoncang. Dan Ibnul Jauzi –yang bermadzhab Hanbali- telah diingkari dengan keras oleh para ulama madzhab Hanbali yang lain. Sebab ketidakstabilan tersebut karena Ibnul Jauzi banyak mengikuti pendapat Ibnu ‘Aqiil yang tenggelam dalam ilmu kalam (filsafat). Ibnul Jauzi dalam kitabnya Talbiis Ibliis mendukung madzhab At-Tafwiidh, sedangkan dalam kitabnya Majaalis Ibni Jauzi fi al-mutasyaabih minal Aayaat Al-Qur’aaniyah menetapkan sifat-sifat khobariyah, dan pada kitabnya Daf’ Syubah At-Tasybiih mendukung madzhab At-Takwiil (lihat penjelasan lebih lebar dalam risalah ‘ilmiyyah (thesis) yang berjudul “Ibnul Jauzi baina At-Takwiil wa At-Tafwiidh” yang ditulis oleh Ahmad ‘Athiyah Az-Zahrooni. Dan bisa didownload di http://www.4shared.com/file/246344257/16845e7/_____-__.html Adapun perkataan Ibnu Jauzy rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh Abu salafy yaitu : وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات. “Demikian juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam dan tidak pula di luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi yang mesti dialami benda berbentuk Maka saya katakan : Pertama : Abu Salafy kurang tepat tatkala menerjemahkan “Al-Mutahayyizaat” dengan benda berbentuk. Yang lebih tepat adalah jika diterjemahkan dengan “perkara-perkara yang bertempat” Kedua : Kalau kita benar-benar merenungkan perkataan Ibnul Jauzy ini maka sesungguhnya perkataan ini bertentangan dengan penjelasan Imam Ahmad sebagaimana telah lalu tatkala Imam Ahmad berkata :”Jika engkau ingin tahu bahwasanya Jahmiy adalah seorang pendusta tatkala menyangka bahwsanya Allah di semua tempat bukan pada satu tempat tertentu, maka katakanlah : Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?. Maka ia akan menjawab : Iya. Katakan lagi kepadanya, “Tatkala Allah menciptakan sesuatu apakah Allah menciptakan sesuatu tersebut dalam dzat Allah ataukah di luar dzat Allah?”. Maka jawabannya hanya ada tiga kemungkinan, dia pasti memilih salah satu dari tiga kemungkinan tersebut. Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat Allah maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para syaitan berada di dzat Allah. Jika dia menyangka bahwasanya Allah menciptakannya di luar dzat Allah kemudian Allah masuk ke dalam ciptaannya maka ini juga merupakan kekufuran tatkala ia menyangka bahwasanya Allah masuk di setiap tempat dan wc dan setiap kotoran yang buruk. Jika ia mengatakan bahwasanya Allah menciptakan mereka di luar Dzat-Nya kemudian tidak masuk dalam mereka maka ia (si jahmiy) telah meninggalkan seluruh aqidahnya dan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah” (Ar-Rod ‘alaa Al-Jahmiyyah wa az-Zanaadiqoh hal 155-156) Jelas di sini perkataan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Allah di luar ‘alam, tidak bersatu dengan makhluknya. Hal ini jelas bertentangan dengan peraktaan Ibnu Jauzi yang berafiliasi kepada madzhabnya Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiga : Peraktaan Ibnul Jauzy –rahimahullah- “bahwasanya Allah tidak di dalam ‘alam semesta dan juga tidak di luar alam” melazimkan bahwasanya Allah tidak ada di dalam kenyataan, akan tetapi Allah hanya berada dalam khayalan. Karena ruang lingkup wujud hanya mencakup dua bentuk wujud, yaitu Allah dan ‘alam semesta, jika Allah tidak di dalam ‘alam dan juga tidak di luar ‘alam berarti Allah keluar dari ruang lingkup wujud, maka jadilah Allah itu pada hakekatnya tidak ada. Kesimpulan : Demikianlah para pembaca yang budiman penjelasan tentang hakikat dari artikel yang ditulis oleh Abu Salafy. Kesimpulan yang bisa di ambil tentang abu salafy adalah sebagai berikut : Pertama : Ana masih bingung apakah Ustadz Abu Salafy adalah seseorang yang berpemahaman Asyaa’iroh murni ataukah lebih parah daripada itu, yaitu ada kemungkinan ia berpemahaman jahmiyah atau mu’tazilah. Karena ketiga firqoh ini sepakat bahwasanya Allah tidak di atas langit. Kedua : Atau bahkan ada kemungkinan Al-Ustadz berpemahaman Syi’ah Rofidhoh yang juga berpemahaman bahwasanya Allah tidak di atas langit. Semakin memperkuat dugaan ini ternyata Al-Ustadz Abu Salafy banyak menukil dari buku-buku Rafidhoh. Selain itu Al-Ustadz Abu Salafy juga dengan tegas dan jelas mengutuk Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu. Oleh karenanya ana sangat berharap Al-Ustadz Abu Salafy bisa menjelaskan siapa dirinya sehingga tidak lagi majhuul. Dan bahkan ana sangat bisa berharap bisa berdialog secara langsung dengan Al-Ustadz. Ketiga : Dari penjelasan di atas ternyata Al-Ustadz Abu Salafy nekat mengambil riwayat dari buku yang telah difonis oleh Al-Ustadz sendiri bahwa buku tersebut adalah kedusataan demi untuk mendukung aqidah Abu Salafy. Maksud ana di sini adalah buku Al-Fiqhu Al-Akbar karya Abu Hanifah dari riwaya
    • seharusnya tanyanya kepada orang ‘arab yang pinter. Kenapa harus tanya kepada orang jahil? apakah perkataan orang jahil dapat dipegang untuk pegangan aqidah?

      oooo aqidah anda seperti ini karena anda sering bertanya soal aqidah kepada orang jahil dan anak kecil ya???
      padahal Allah memerintahkan untuk bertanya itu kepada orang-orang yang pandai:

      فاسألوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون

      “Bertanyalah kamu sekalian kepada orang-orang yang berilmu jikalau kamu tidak mengetahui”

      ternyata, anda sendiri tidak mengikuti perintah Allah diatas, kenapa justru anda menyuruh bertanya kepada orang jahil??? bahkan anda menyuruh bertanya kepada anak kecil??? bertaubatlah!!!

    • Ada 5 pertanyaan :
      1.Menurutmu WC itu ciptaan Allah bukan?
      2.Apakah Allah memiliki sifat jijik?
      3.WC dgn Allah yg mana yg maha besar?
      4. apa mudhorat nya WC bagi Allah?

      5.dan jika dzat&sifat Allah juga meliputi WC, apa akan mengurangi kebesaran kesucian dan kemuliaan Allah?

  7. komen saya kok dihapus mas….biar orang lain yg menilai klo memang ente benar….dibantah pake logika aja……lu udah keok….dasar ustad gadungan…ngaku pinter tapi keblinger……makanya mas klo bicara agama permantap aqidah dulu…..

  8. ayatnya udah betul mas tapi sampean itu ora’ ngerti..saya kasih contoh: Allah memiliki sifat tangan, tapi bukan berarti tangan Allah sama dengan tangan mahluknya…adapun bentuk tangannya Allah nggak ada yg tau kecuali Allah sendiri,….bandingkan aja mas..sesama mahluk saja memiliki banyak perbedaan tentang sifat tangan seperti ;tangan antum dengan tangan kepiting sama nggak ? kan beda..tapi namanya sama-sama tangan…semua orang pasti paham apa itu tangan….nggak usah dita’wilkan tangan dalam arti lain lagi….

    • anda menolak takwil? perhatikan ini:

      al-Imam al-Bukhari mengatakan:

      بَابُ – كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ

      “Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-Nya.”

      Nah, kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya kekuasaan-Nya. ini artinya, al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat ini. Berarti, menurut Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut aliran sesat?

  9. dan keyakinan antum itu yg mengatakan bahwa Allah itu berada dimana-mana….adalah keyakinan batil tidak berdasar dan tanpa dalil…sejatinya adalah Allah bersemayam di atas arsy’ sesuai dengan dalil-dalil yg telah jelas di dalam al Qur’an maupun sunnah antum pasti udah tau itu…cuma karena otak anda mungkin udah rusak…ya tidak menerima deh dalil yg udah begitu jelas tapi masih diplintir kesana-kemari

    • pendapat anda salah, sesungguhnya kaum Ahlussunnah wal jama’ah asy’ariyyah wa maturidiyyah tidak pernah menetapkan ALLAH ADA DIMANA-MANA. Justru yang benar adalah kaum Ahlussunnah wal jama’ah asy’ariyyah wa maturidiyyah menetapkan Allah ada tanpa membutuhkan tempat dan arah.

      Sabda Sebaik-baik salaf sholih, baginda Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam:

      انت الظاهر فليس فوقك شيئ وانت الباطن فليس دونك شيئ
      رواه المسلم

      “Engkaulah adz-Dzohir yang tidak ada sesuatu-pun di atas-Mu, dan Engkaulah al-Baathin, yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu” (HR. Muslim)
      Jadi, kalau tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya, maka itu artinya Allah Ta’aala tidak membutuhkan tempat dan arah.

      Telah berkata pula salaf sholih dari kalangan Sahabat Nabi, Sayyidina ‘Ali Radhiyallaah ‘anhu:

      ان الله خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته
      رواه ابو منصور البغدادي فى الفرق بين الفرق

      “Sesungguhnya Allah Ta’aala menciptakan ‘Arsy bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya sebagai tempat bagi dzat-Nya”
      (Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq)

      Al-Hafizh Ibn al-Jawzi Rahimahullaah telah berkata di dalam kitabnya Daf’u Syibh at-Tasybih:

      أن من وصف الله بالمكان والجهة فهو مشبه مجسم لله لا يعرف ما يجب للخالق

      “Sesungguhnya orang-orang yang menyifatkan Allah dengan tempat dan arah, maka sesungguhnya dia termasuk Musyabbih dan Mujassim yang tidak mengerti sifat Allah”

      al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata di dalam Fath al-Bari:

      ان المشبهة المجسمة لله تعالى هم الذين وصفوا الله بالمكان والله منزه عنه

      “Sesungguhnya kaum Musyabbihah mujassimah itu adalah mereka yang menyifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.”

      Pendapat abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah:

      “Dan sesungguhnya Allah istiwa’ atas ‘arsy sebagaimana yang Dia firmankan, dan dengan makna yang Dia inginkan. Istiwa yang bersih dari arti menyentuh, menetap, bertempat, diam dan pindah. ‘Arsy tidak membawa-Nya, melainkan ‘arsy (yang dibawa). ‘Arsy dibawa maksudnya tercakup dalam kelembutan kuasa-Nya, serta tunduk dalam genggaman-Nya. Dia di atas (tidak menyentuh ‘arsy), bahkan di atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata surya sekalipun. “Di atas” yang tidak membuat-Nya tambah dekat ke arsy dan langit, melainkan Dia sangat tinggi derajat-Nya dari ‘arsy sebagaimana Dia sangat tinggi derajat-Nya dari tata surya, dan Dia dengan itu dekat dari segala yang ada. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya dan menyaksikan segala sesuatu”

      Dari kalimat-kalimat beliau rahimahullaah dapat disimpulkan beliau tidak mengitsbatkan arah atas dalam makna zohir, akan tetapi beliau rahimahullaah mena’wilkannya kepada “tinggi derajat-Nya”.

      قال الإمام ابو الحسن الأشعري: ان الله لا مكان له
      رواه البيهقي فى الأسماء والصفات

      Al Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam al-Asmaa’ wa ash-shifat)

      • saya ambil beberapa saja riwayat perkataan salaf
        dari Shahabat radhiallahu ‘anhum
        1.أخبرنا محمد، أنبأ حمد، أنبأ أبو نعيم، ثنا عبد الله بن محمد، ثنا محمد بن شبل، ثنا أبو بكر بن أبي شيبة، ثنا وكيع، عن إسماعيل، عن قيس، قال: لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على بعيره، وقالوا: يا أمير المؤمنين، لو ركبت برذونا، يلقاك عظماء الناس، ووجوههم، فقال: لا أراكم هاهنا، إنما الأمر من هاهنا، وأشار بيده إلى السماء
        2. الحسن، أنبأ محمد بن هارون الحضرمي، أنبأ المنذر بن الوليد، ثنا أبي، ثنا الحسن بن أبي جعفر، عن عاصم عن زر عن عبد الله يعني ابن مسعود، رضي الله عنه، قال: ما بين السماء القصوي وبين الكرسي خمسمائة سنة، وما بين الكرسي والماء خمسمائة سنة، والعرش فوق الماء، والله فوق العرش لا يخفى عليه شيء من أعمال بني آدم
        dari Tabi’in :
        1. أخبرنا محمد، أنبأ حمد، أنبأ أحمد بن عبد الله، أنبأ أحمد بن محمد بن الفضل، ثنا أبو العباس السراج، ثنا عبد الله بن أبي الزناد وهارون قالا: ثنا سيار، ثنا جعفر قال: سمعت مالك بن دينار يقول: إن الصديقين إذا قرئ عليهم القرآن طربت قلوبهم إلى الآخرة، ثم قال: خذوا فيقرأ ويقول: اسمعوا إلى قول الصادق من فوق عرشه
        2. قال ابن عبد البر: وذكر سنيد عن مقاتل بن حبان، عن الضحاك بن مزاحم في قوله: {مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ (إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ} الآية).
        قال هو على عرشه، وعلمه معهم أينما كانواقال: هو على عرشه وعلمه معهم أينما كانوا
        dari Imam Mazhab :
        1. أخبرنا أبو بكر عبد الله بن محمد (قال)، أنبأنا أبو بكر أحمد بن علي، أنبأ هبة الله بن الحسن، أنبأ محمد بن عبيد الله بن الحجاج، أنبأ أحمد بن الحسن، ثنا عبد الله بن أحمد، أنبأ أبي، ثنا سريج بن النعمان، قال: حدثني عبد الله بن نافع قال: قال مالك: الله في السماء، وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
        2. وروي عن يوسف بن موسى البغدادي أنه قال: قيل لأبي عبد الله أحمد بن حنبل: الله عز وجل فوق السماء السابعة على عرشه بائن من خلقه، وقدرته وعلمه بكل مكان؟ قال: نعم، على العرش (وعلمه في كل مكان)، لا يخلو منه مكان
        dan saya menemukan bnyak sekali perkataan salaf serupa yg lengkap dengan sanad dan pentashihan para Ulama dr Kitab Khalqu Af’alil ‘Ibad karya Ima Bukhari, Kitab AL Uluw karya Adz Dzhabi, Shuraih As Sunnah oleh Imam Ath Thabari, I’tiqad Aimmah As Salaf oleh Imam ABu Bakar Al Isma’iliy, Syarhus Sunnah karya AL Muzani, dll sampai2 banyak sekali diantara merka yg menyatakan danya Ijma akan hal ini diantaranya adl perkataan AL Hafidh Ibnu Khuzaimah dlm kitab AT Tauhid :
        كما أخبرنا في محكم تنزيله وعلى لسان نبيه ‘ وكما (هو) مفهوم في فطرة المسلمين، علمائهم وجهالهم، أحرار هم ومماليكهم، ذكراهم وإناثهم، بالغيهم وأطفالهم كل من دعا الله (جل وعلا): فإنما يرفع رأسه إلى السماء ويمد يدية إلى الله، إلى اعلاة لا إلى أسفل
        serpa dengan perkataan ini adalah pernyataan Imam Ibnu Baththah dlm Kitab AL Ibanah AL Firqah AN Najiyah kitab yg ketiga yaitu Ar Rad ‘alal Jahmiyah pd hal 136, begitu pula Imam AL Bukhari mempunya bab khusus mengenai hal ini dlm Shahihnya pd Ktab AT Tauhid BAB firman Allah Ta’la “wa kaana ‘arsyuhu ‘alal maa’ wahuwa rabbul ‘arsyil ‘adhim” dimana disitu dseibutkan tafsir dr Abu ‘Aliyah, Mujahid dll serta riwayat2 pendukungnya sy kira Ustad sudah membaca Kitab Shahih tsb.

        • maaf ustad koment diatas ada yg terpotong bagian atasnya ptootngannya sbb :
          Saya menemukan dalam Kitab Ulama terdahulu perkataan perihal Istiwa, saya membaca dari Kitab Istabt AL “ulurw karya Ibnu Qudamah :
          saya ambil beberapa saja riwayat perkataan salaf……dst

    • allah bersifat dhzoir dan batin disisi lain allah bersifat wahid dan ahad. tuhan mempunyai dua dimensi, dimensi sifat(wahid,dhzoir) dan dimensi zat(ahad,batin) jadi zat allah maha batin dalam pengertian tak terpahami oleh kita. padahal allah sangat dhoir wuudnya. jadi kaberadaan allah tidak ada sesuatu yg menyertainya…seluruh ciptaannya adalah gambaran dari sifat-sifatnya.pada hakekatnya mahluk tidak ada yang ada hanya allah. yg menyertai mahluk bukan zat allah melainkan sifat allah karena mahluk gambaran dari sifat dan asmanya.

      • mana dalilnya.., jangan jangan karangan anda. Jelas kan tentang Allah sesuai dengan yang ALLAh jelaskan tentang dirinya, itu guna nya Alquran.., anda menjelaskan ALLAh begini begiru, emangnya anda siapa ?… sok tau.., mana buktinya, dalilnya mana ?

  10. dan perlu antum ketahui cerita dari imam malik itu..bahwa orang yg datang bertanya itu tidak perlu dijelaskan tentang apa itu istiwa’ karena orang arab pasti ngerti apa arti istiwa’ tapi yg ditanyakan oleh orang itu adalah tentang bagaimananya Allah beristiwa…nah itu yg dikritisi oleh imam malik sehingga dia mengusir dari majelisnya….BUKAN KARENA DIA MENETAPKAN BAHWA ALLAH BERADA DI ATAS ARSY TAPI KARENA DIA MEMPERTANYAKAN BAGAIMANA ALLAH BERSEMAYAM DI ATAS ARSY…..MAKANYA DIA DICAP SEBAGAI AHLUL BID’AH

    • Bodoh anda, kalau anda anti takwil, kenapa anda mengartikan Istiwa’ sebagai Bersemayam???

      BERSEMAYAM adalah sifat makhluk. Kalau anda mengatakan Allah Ta’aala bersemayam, maka itu artinya anda menetapkan tempat bagi Allah Ta’aala. Dan sesungguhnya Allah Ta’aala Maha Suci dari bertempat.

      Sabda Sebaik-baik salaf sholih, baginda Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam:

      انت الظاهر فليس فوقك شيئ وانت الباطن فليس دونك شيئ
      رواه المسلم

      “Engkaulah adz-Dzohir yang tidak ada sesuatu-pun di atas-Mu, dan Engkaulah al-Baathin, yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu” (HR. Muslim)
      Jadi, kalau tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya, maka itu artinya Allah Ta’aala tidak membutuhkan tempat dan arah.

      Telah berkata pula salaf sholih dari kalangan Sahabat Nabi, Sayyidina ‘Ali Radhiyallaah ‘anhu:

      ان الله خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته
      رواه ابو منصور البغدادي فى الفرق بين الفرق

      “Sesungguhnya Allah Ta’aala menciptakan ‘Arsy bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya sebagai tempat bagi dzat-Nya”
      (Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq)

      Al-Hafizh Ibn al-Jawzi Rahimahullaah telah berkata di dalam kitabnya Daf’u Syibh at-Tasybih:

      أن من وصف الله بالمكان والجهة فهو مشبه مجسم لله لا يعرف ما يجب للخالق

      “Sesungguhnya orang-orang yang menyifatkan Allah dengan tempat dan arah, maka sesungguhnya dia termasuk Musyabbih dan Mujassim yang tidak mengerti sifat Allah”

      al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata di dalam Fath al-Bari:

      ان المشبهة المجسمة لله تعالى هم الذين وصفوا الله بالمكان والله منزه عنه

      “Sesungguhnya kaum Musyabbihah mujassimah itu adalah mereka yang menyifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.”

      Pendapat abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah:

      “Dan sesungguhnya Allah istiwa’ atas ‘arsy sebagaimana yang Dia firmankan, dan dengan makna yang Dia inginkan. Istiwa yang bersih dari arti menyentuh, menetap, bertempat, diam dan pindah. ‘Arsy tidak membawa-Nya, melainkan ‘arsy (yang dibawa). ‘Arsy dibawa maksudnya tercakup dalam kelembutan kuasa-Nya, serta tunduk dalam genggaman-Nya. Dia di atas (tidak menyentuh ‘arsy), bahkan di atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata surya sekalipun. “Di atas” yang tidak membuat-Nya tambah dekat ke arsy dan langit, melainkan Dia sangat tinggi derajat-Nya dari ‘arsy sebagaimana Dia sangat tinggi derajat-Nya dari tata surya, dan Dia dengan itu dekat dari segala yang ada. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya dan menyaksikan segala sesuatu”

      Dari kalimat-kalimat beliau rahimahullaah dapat disimpulkan beliau tidak mengitsbatkan arah atas dalam makna zohir, akan tetapi beliau rahimahullaah mena’wilkannya kepada “tinggi derajat-Nya”.

      قال الإمام ابو الحسن الأشعري: ان الله لا مكان له
      رواه البيهقي فى الأسماء والصفات

      Al Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam al-Asmaa’ wa ash-shifat)

  11. JADI KAMI AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH SESUAP PEMAHAMAN PARA SHOLAFUS SHOLEH BERKEYAKINAN DAN MENETAPKAN BAHWA ALLAH BERSEMAYAM DI ATAS ARSY…TITIK

    • Kaum anda bukan Ahlussunnah wal jama’ah. Karena mengartikan ISTIWA’ sebagai BERSEMAYAM. BERSEMAYAM adalah sifat makhluk. Kalau anda mengatakan Allah Ta’aala bersemayam, maka itu artinya anda menetapkan tempat bagi Allah Ta’aala. Dan sesungguhnya Allah Ta’aala Maha Suci dari bertempat.

      Apakah aqidah anda ini sesuai dengan salaf sholih??? Mari kita buktikan bagaimana aqidah salaf sholih ahlussunnah wal jama’ah:

      Sabda Sebaik-baik salaf sholih, baginda Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam:

      انت الظاهر فليس فوقك شيئ وانت الباطن فليس دونك شيئ
      رواه المسلم

      “Engkaulah adz-Dzohir yang tidak ada sesuatu-pun di atas-Mu, dan Engkaulah al-Baathin, yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu” (HR. Muslim)
      Jadi, kalau tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya, maka itu artinya Allah Ta’aala tidak membutuhkan tempat dan arah.

      Telah berkata pula salaf sholih dari kalangan Sahabat Nabi, Sayyidina ‘Ali Radhiyallaah ‘anhu:

      ان الله خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته
      رواه ابو منصور البغدادي فى الفرق بين الفرق

      “Sesungguhnya Allah Ta’aala menciptakan ‘Arsy bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya sebagai tempat bagi dzat-Nya”
      (Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq)

      Al-Hafizh Ibn al-Jawzi Rahimahullaah telah berkata di dalam kitabnya Daf’u Syibh at-Tasybih:

      أن من وصف الله بالمكان والجهة فهو مشبه مجسم لله لا يعرف ما يجب للخالق

      “Sesungguhnya orang-orang yang menyifatkan Allah dengan tempat dan arah, maka sesungguhnya dia termasuk Musyabbih dan Mujassim yang tidak mengerti sifat Allah”

      al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata di dalam Fath al-Bari:

      ان المشبهة المجسمة لله تعالى هم الذين وصفوا الله بالمكان والله منزه عنه

      “Sesungguhnya kaum Musyabbihah mujassimah itu adalah mereka yang menyifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.”

      Pendapat abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah di dalam kitab al-Ibanah ‘an ushul ad-Diyanah:

      “Dan sesungguhnya Allah istiwa’ atas ‘arsy sebagaimana yang Dia firmankan, dan dengan makna yang Dia inginkan. Istiwa yang bersih dari arti menyentuh, menetap, bertempat, diam dan pindah. ‘Arsy tidak membawa-Nya, melainkan ‘arsy (yang dibawa). ‘Arsy dibawa maksudnya tercakup dalam kelembutan kuasa-Nya, serta tunduk dalam genggaman-Nya. Dia di atas (tidak menyentuh ‘arsy), bahkan di atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata surya sekalipun. “Di atas” yang tidak membuat-Nya tambah dekat ke arsy dan langit, melainkan Dia sangat tinggi derajat-Nya dari ‘arsy sebagaimana Dia sangat tinggi derajat-Nya dari tata surya, dan Dia dengan itu dekat dari segala yang ada. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya dan menyaksikan segala sesuatu”

      Dari kalimat-kalimat beliau rahimahullaah dapat disimpulkan beliau tidak mengitsbatkan arah atas dalam makna zohir, akan tetapi beliau rahimahullaah mena’wilkannya kepada “tinggi derajat-Nya”.

      قال الإمام ابو الحسن الأشعري: ان الله لا مكان له
      رواه البيهقي فى الأسماء والصفات

      Al Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam al-Asmaa’ wa ash-shifat)

      Sekarang, bandingkan dengan aqidah anda….tidak sedikitpun ada kesamaannya dengan salaf sholih.

      Itu artinya aqidah anda bertentangan dengan aqidah salaf sholih.

      • Saya ndak pakai dali naqli tapi pakai dalil aqli untuk membantah anda,anda mengatakan alloh itu tidak sama dgn makhluknya dalam segala bentuk dan sifat.ok saya tanya apakah yg namanya jundu muhammad itu ada,kalau jawabannya ada berarti alloh itu seharusnya tidak ada supaya tidak sama dengan makluknya.oke selamat mikir

        • saya tanya apakah yg namanya jundu muhammad itu ada,kalau jawabannya ada berarti alloh itu seharusnya tidak ada supaya tidak sama dengan makluknya.
          pertanyaan dan jawabannya ga jauh beda dari pola pikir Ateis !

  12. DAN PENDAPAT ANTUM KAUM ASY ARIYAH YANG MENETAPKAN ALLAH BERADA DIMANA-MANA TELAH KELUAR DARI PENDAPAT AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH ..UNTUK ITU KAMI HARAP ANDA SEGERA RUJU’ DAN BERTOBAT DARI PENDAPAT YG KELIRU TERSEBUT….

    • pendapat anda salah, sesungguhnya kaum Ahlussunnah wal jama’ah asy’ariyyah wa maturidiyyah tidak pernah menetapkan ALLAH ADA DIMANA-MANA. Justru yang benar adalah kaum Ahlussunnah wal jama’ah asy’ariyyah wa maturidiyyah menetapkan Allah ada tanpa membutuhkan tempat dan arah.

      Sabda Sebaik-baik salaf sholih, baginda Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam:

      انت الظاهر فليس فوقك شيئ وانت الباطن فليس دونك شيئ
      رواه المسلم

      “Engkaulah adz-Dzohir yang tidak ada sesuatu-pun di atas-Mu, dan Engkaulah al-Baathin, yang tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu” (HR. Muslim)
      Jadi, kalau tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya, maka itu artinya Allah Ta’aala tidak membutuhkan tempat dan arah.

      Telah berkata pula salaf sholih dari kalangan Sahabat Nabi, Sayyidina ‘Ali Radhiyallaah ‘anhu:

      ان الله خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته
      رواه ابو منصور البغدادي فى الفرق بين الفرق

      “Sesungguhnya Allah Ta’aala menciptakan ‘Arsy bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya sebagai tempat bagi dzat-Nya”
      (Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farq bayn al-Firaq)

      Al-Hafizh Ibn al-Jawzi Rahimahullaah telah berkata di dalam kitabnya Daf’u Syibh at-Tasybih:

      أن من وصف الله بالمكان والجهة فهو مشبه مجسم لله لا يعرف ما يجب للخالق

      “Sesungguhnya orang-orang yang menyifatkan Allah dengan tempat dan arah, maka sesungguhnya dia termasuk Musyabbih dan Mujassim yang tidak mengerti sifat Allah”

      al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata di dalam Fath al-Bari:

      ان المشبهة المجسمة لله تعالى هم الذين وصفوا الله بالمكان والله منزه عنه

      “Sesungguhnya kaum Musyabbihah mujassimah itu adalah mereka yang menyifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat.”

      Mari kita lihat pendapat abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah, apakah beliau menetapkan Allah ada di mana-mana seperti yang anda tuduhkan?

      Pendapat abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah di dalam kitab al-Ibanah ‘an ushul ad-Diyanah:

      “Dan sesungguhnya Allah istiwa’ atas ‘arsy sebagaimana yang Dia firmankan, dan dengan makna yang Dia inginkan. Istiwa yang bersih dari arti menyentuh, menetap, bertempat, diam dan pindah. ‘Arsy tidak membawa-Nya, melainkan ‘arsy (yang dibawa). ‘Arsy dibawa maksudnya tercakup dalam kelembutan kuasa-Nya, serta tunduk dalam genggaman-Nya. Dia di atas (tidak menyentuh ‘arsy), bahkan di atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata surya sekalipun. “Di atas” yang tidak membuat-Nya tambah dekat ke arsy dan langit, melainkan Dia sangat tinggi derajat-Nya dari ‘arsy sebagaimana Dia sangat tinggi derajat-Nya dari tata surya, dan Dia dengan itu dekat dari segala yang ada. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya dan menyaksikan segala sesuatu”

      Dari kalimat-kalimat beliau rahimahullaah dapat disimpulkan beliau tidak mengitsbatkan arah atas dalam makna zohir, akan tetapi beliau rahimahullaah mena’wilkannya kepada “tinggi derajat-Nya”.

      قال الإمام ابو الحسن الأشعري: ان الله لا مكان له
      رواه البيهقي فى الأسماء والصفات

      Al Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam al-Asmaa’ wa ash-shifat)

  13. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

    1. masak (boleh di makan) contoh: قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah apel telah masak.

    2. التمام: sempurna, lengkap.

    3. الاعتدال : lurus.

    4. جلس: duduk / bersemayam, contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil.

    5. استولى : menguasai, contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق, Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

    Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna, lurus, menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Silakan rujuk qamus Misbahul Munir, Mukhtar al-Sihah, Lisanul Arab, Mu’jam al-Buldan, dan banyak lagi.
    Ya jelas kl nanya sama orang arab jahil tau arti Istiwa itu cuman duduk/bersemayam saja

  14. betul….tul….tul….orang jahil macam ente nggak boleh dipegang kata-katanya…apalagi menyangkut masalah aqidah….buaahaya…banget..

    • Ga kebalik tuh omongan ente? Yang jahil itu yang menghina Allah dengan mengatakan Allah duduk seperti duduknya mahluk… ya pemahaman wahabi ente itu!

  15. @all wahabiun
    sejatinya sudah dijelaskan oleh masjundu dalil yang digunakan dari ulama2 salafusaleh yang bersandar assunah.

    @abu usamah antum keras kepala sekali seakan2 pendapat antum benar, pelajari lagi dan tanya guru antum asal usul pendapat tersebut? pasti dari dedengkot dan pilar serta pijakan ilmu dari Ibnu Taiyimah sumber fitnah asal usul faham wahabi.

    siapakah ibnu Taimiyah lihat disini http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/10/ibnu-taimiyah/
    dan juga disini http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/06/01/para-ulama-ahlussunnah-memerangi-ibn-taimiyah-mengenal-tiang-utama-ajaran-sesat-wahabi/

  16. setiap orang yg mendakwahkan islam sesuai atsar para sholafus sholeh pasti dicap sebagai wahhabi, …..sampai-sampai ibnu taimiyah juga dicap sebagai wahhabi kan lucu….sementara zaman ibnu taimiyah duluan ketimbang zaman muhammad bin abdul wahhab….dan ente semua yg nyeleneh…kami tidak pernah ridho dengan penamaan wahhabi itu sendiri….karena orang yg anda maksud bukanlah bernama abdul wahhab tetapi dia bernama muhammad, adapun abdul wahhab itu adalah nama dari ayahnya…..jadi dari segi sejarah saja udah salah nuduh gimana dengan yg lain bung….pantas aja belajar islamnya juga salah jalan…..

    • hehe, ente berusaha membela tokoh ente ya?

      kenapa nih pengikut Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i disebut dengan Syafi’iyyah, kenapa tidak disebut muhammadiyyah, bukankah nama imam asy-Syafi’i adalah Muhammad bin idris asy-syafi’i???

      kalo menurut ane sih, wajar juga dong kalo pengikut Muhammad ibn abdul wahhab disebut Wahhabiyyah.. iyaw khan???

      kami pengikut imam syafi’i disebut dengan syafi’iyyah ngga marah-marah kuk, ngga minta disebut sebagai muhammadiyah… tapi kenapa ente pengikut muhammad ibn abdul wahhab justru marah-marah disebut wahhabiyyah….woooowww annneeehhhh….

      mas abu usamah ini lucu buanget dueh….hwihihihi….

  17. yah…gitulah klo da’wah yg dilandasi dengan hawa nafsu….pasti ngiri liat klo da’wah tauhid yg diusung oleh para nabi tegak di muka bumi ini…hingga mereka membuat cap-cap jelek…semisal wahhabilah….

  18. dan ketahuilah para pembaca…..mengapa mereka para nahdiyyin begitu benci kepada da’wah tauhid,….karena mereka tidak mau merubah tradisi yg begitu kental dan telah mendarah daging ditubuh nahdiyyin berbagai bentuk acara ritual yg sama sekali tidak ada contohnya dr nabi, para sahabat nabi, tabi’in dan tabiut’ tabi’in..serta orang-orang shaleh,…..
    jadi pembaca silakan menilai sendiri mau mengikuti nabi…atau mengikut jalannya syaitan yg senantiasa dihiasi dengan keindahan…..

  19. klo anda tidak percaya…silakan liat amalan-amalan mereka,….klo hati nurani masih bersih dari noda kesyirikan pasti akan terasa miris melihat amal ibadah mereka..yg tidak punya dasar yg kuat sama sekali…hanya dibangun diatas sangkaan baik belaka…bila ada dalil yg dikeluarkan pasti dalilnya dhaif, maudhu bahkan syat…..

    • diskusi dengan membunuh karakter lawan adalah diskusi yang tidak beradab dan hal ini sering dilakukan blogers golongan antum. tidak heran bagi aswaja kalo golongan antum suka memusyrikkan, mengatai ahli bid’ah, kafir dll, jarena telah tebukti sejak jaman dahulu, ini buktinya http://salafytobat.wordpress.com/category/al-albany-mengkafirkan-imam-bukhary/. imam sekelas imam bukhari aja di kafirkan. audzubillahi min dzalik

      lihat ini bukti scan kitab http://salafytobat.wordpress.com/2008/09/11/bukti-wahaby-adalah-jamaah-takfir/
      dan ulama sekelas IMAM NAWAWI & IBNU HAJAR PUN DIKAFIRKAN,
      2. ADAM A.S. DAN SITI HAWA PUN DIKAFIRKAN;
      3. BUKTI WAHABI TIDAK AKUI KENABIAN NABI ADAM A.S,
      4. BIN BAZ & SEMUA WAHHABI KAFIRKAN SAHABAT NABI (bukti rasmi Wahabi ),
      5. SEMINAR WAHHABI: “ Siapa Tolak Wahhabi Maka Dia KAFIR…”,
      6. (berbukti)FATWA WAHHABI: IKHWAN MUSLIMIN, JAMAAH TABLIGH&LAIN-LAIN SESAT,SYAITON & PASTI MASUK NERAKA
      7. ALBANI KAFIRKAN UMAT ISLAM DI PALESTIN
      8 DAN BANYAK LAGI

      antum dapat lihat dan dibuktikan dengan scan kitab yang mendukung secara kokoh tak tergoyahkan. kunjungi link ini http://salafytobat.wordpress.com/2008/07/13/ahlusunnah-dan-salafusolih-yang-dikafirkan-wahabi/

      buka mata dan hati antum agar menerima ilmu secara sempurna, dan carilah ilmu agama dengan sanad guru yang jelas

    • ente ngomong dengan omongan orang bodoh: “bila ada dalil yg dikeluarkan pasti dalilnya dhaif, maudhu bahkan syat…..”

      ane jawab nih ye…

      ahhh….ente terlalu mengedepankan su’udzdzon….
      mana nih hadits dhoif, maudhu’ dan syadznya????
      tampilkan disini dong….

      di dalam artikelnya mas jundu https://jundumuhammad.wordpress.com/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/

      ente tau ngga, riwayat di artikel itu selain diriwayatkan oleh al-Imaam ahmad, juga diriwayatkan oleh imam-imam lainnya seperti:

      al-Hafizh Abu Nu’aim, dalam Hilyah al-Auliya’ juz 4, hal 11 dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz5, hal 330.

      apakah para imam-imam tersebut tidak tahu ilmu hadits, tidak tahu mana hadits maudhu? mana hadits syadz? mana hadits dhoif?

      ente tau ngga, hadits-hadits yang dinukil mas jundu di dalam artikel:

      Sunnah-sunnah yang Terdapat di dalam Tradisi Tahlilan

      itu adalah hadits shohih semuanya. ada yang riwayat Bukhari, riwayat Muslim, at-Turmudzi, ibn Majah, Abu Daud, an-Nasa’i, dan imam-imam lainnya yang terpercaya dan berkompetensi di dalam ilmu hadits.

      apakah hadits-hadits diatas masuk ke dalam dhoif, maudhu, bahkan syadz? ente harus bertanggungjawab untuk membuktikannya!!!

      kalau ente tidak bisa membuktikan hadits-hadits tersebut seperti yang ente katakan bahwa hadits-hadits tersebut derajatnya dhoif, maudhu, bahkan syadz maka hanya satu ucapan bagi ente: ENTE ADALAH PENIPU ATAS NAMA RASULULLAAH SHOLLALLAAH ‘ALAIH WA SALLAM. Camkan itu!!!

      ane tunggu nih pembuktian dari ente!!!
      ane tunggu nih pembuktian dari ente!!!
      ane tunggu nih pembuktian dari ente!!!
      ane tunggu nih pembuktian dari ente!!!

      kalau ente ngga bisa membuktikan, cukup ane katakan: “ENTE ADALAH PENIPU ATAS NAMA RASULULLAAH SHOLLALLAAH ‘ALAIH WA SALLAM. Camkan itu!!!”

      • @Cah Bayi Imoetz

        jangankan imam2 yang mas cah bayi sebutkan lah wong imam sekelas imam Bukhari aja ama dedengkotnya wahabi di kafirkan.

        sabar mas untuk menghadapi orang2 ngeyel seperti abu usamah, kita tunjukkan aja dalil dari para ulama salafussaleh dengan harapan mereka juga belajar dengan benar dan segera keluar dari faham taimiya dan wahabiyah

        syukron

        lanjutkan

  20. saya memberi komen disini sebagai pembanding dari tulisan diblog ini,….biar tulisan dalam blog ini tidak ditelan mentah-mentah…biar pembaca bisa berpikir dengan bijak dan mengambil sikap mana yg benar sesuai al Qur’an dan as Sunnah sesuai pemahaman para sholafussholeh…
    barakallahu fikum

  21. Heh, ape lu kate? Dakwah tauhid??? Dakwah tauhid itu ditujukan bagi orang-orang yang jelas non muslim kayak kristen, hindu, budha gitu…. Eh ini orang yang sudah nyata-nyata Islam, bersyahadat, eh dikafir-kafirkan…dibilang musyrik lah…. Itu namanya bukan dakwah tauhid…dakwah takfiri namanya oom abu…
    Justru yang bener wahhabi benci banget ama nahdliyyin, tul Khan ooom? Iyaw khan? Iyaw khan? Tak cabut lho jenggot ente… meringis ente….hwihihi…

  22. klo yang berdebat sama-sama berilmu dan tidak dikuasai oleh emosi insyaaAllah pembaca atau pendengar bisa mengambil banyak manfaatnya. tapi jika yang berdebat orang-orang bodoh, entah apa jadinya.

    maaf maksud ucapan di atas adalah ~jazakumullah khairan~

    kajian kitab mafahim yajibu an tushohhah insyaallah banyak manfaatnya. barakallah ustadz

  23. Teman2 ASWAJA harus sabar menghadapi aliran salafi wahabi da.n sebangsanya. tidak perlu ikut2an dgn caci maki, bid’ah2an, kafir2an dll. Ulama2 Aswaja sdh mencontohkan dakwah dgn santun. jikalau ada org awam taqlid buta dan ulama wahabi, dinasehati, tidak bisa dinasehati, didoakan aja. Allah swt yang mengatur hamba2nya

  24. assalammu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh…
    saya orang awam yg belum tau apa2,saya bkn seorang yg memihak ahlu sunnah maupun salafi,atau sapa saja..membaca artikel ini saya turut prihatin,yang ada hanya memunculkan sifat rasa sombong dan lebih pintar antara yang lain,apa semua itu dpt ridho dari Allah S.W.T???? Anda menyombongkan diri Anda,ilmu Anda,secara tdk langsung Anda mlh memamerkan diri Anda..Telah diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلىَ اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ
    “Orang yg paling dibenci Allah adl yg suka berdebat.”
    Juga dari hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ. ثُمَّ تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ اْلآيَةَ:
    “Tidaklah tersesat satu kaum setelah mendapatkan hidayah yg dahulu mereka di atas melainkan mereka diberi sifat berdebat.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ
    “Mereka tdk memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dgn maksud membantah saja sebenar mereka adl kaum yg suka bertengkar.” (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah dihasankan Al-Albani t dlm Shahih Al-Jami’ no. 5633)
    Abdurrahman bin Abiz Zinad berkata: “Kami mendapati orang2 yg mulia dan ahli fiqih -dari orang2 pilihan manusia- sangat mencela para ahli debat dan yg mendahulukan akalnya. Dan mereka melarang kami bertemu dan duduk bersama orang2 itu. Mereka juga memperingatkan kami dgn keras dari mendekati mereka.”
    Demikian pula Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengatakan: “Pokok-pokok ajaran As-Sunnah menurut kami adalah: berpegang teguh di atas metode para sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti mereka dan meninggalkan bid’ah. Dan tiap bid’ah adl sesat. Dan meninggalkan pertengkaran serta duduk bersama pengekor hawa nafsu juga meninggalkan dialog dan berdebat serta bertengkar dlm agama ini.”
    Wahb bin Munabbih rahimahullahu berkata: “Tinggalkan perdebatan dari perkaramu. Karena sesungguh engkau tdk akan terlepas dari menghadapi salah satu dari dua orang: orang yg lbh berilmu darimu lalu bagaimana mungkin engkau berdebat dgn orang yg lbh berilmu darimu? orang yg engkau lbh berilmu mk bagaimana mungkin engkau mendebat orang yg engkau lbh berilmu dari lalu dia tdk mengikutimu? mk tinggalkanlah perdebatan tersebut!”

    • saudara.. ini berkaitan aqidah.. sebab itu ulama’ ahli sunnah menamakannya sebagai ilmu kalaam.. kerana banyak perdebatan sehingga pertumpahan darah..

      kalau masalah khilafiah seperti fiqah.. ia boleh diikuti kerana banyak dalil yang baik dan pandangan yang diterima.. kerana sabda nabi tentang fatwa salah, dapat satu pahala, fatwa betul dapat 2 pahala.. (bukan ahli hadith, siapa boleh berikan matan dan alamat dalil?)

      kalau kita biarkan puak wahhabiyah ni menang, nanti orang awam akan ikuti mereka pulak..

      bagaimanapun, kita tak nafikan memang ada yang akan merujuk guru yang betul.. tetapi kita khuatir yang salah rujukan, pergi rujuk pula pada guru salah, guru al-wahhabiyah lahiriah..

  25. wahabi kalo diajak debat terbuka atau di lingkungan akademis nggak pernah mau (nggak berani), diskusi diinternet pasti disensor atau diedit kalo pemilik web/forum nya orang wahabi. kalo pemilik web/forumnya orang netral pasti hujah yang disampaikan dari awal sampi akhir selalu sama dan diulang2 (spam)

  26. kawan -kawan Aswaja

    sudah umum…dzikir wahabiah cuma….bid’ah, kafir dan sesat setiap harinya…

    gurunya cuma kertas-kertas kaku…he..he

    pada ngimpi pengen disebut muhaddist…

  27. Kalo gw sih gampang, krn orang awam islam juga krn keturunan dan sholat jg bolong2 tapi ttp punya hati dan otak kok yang dikasih untk berfikir. Gw liat aja mana yg memberikan keteduhan, tdk sok mengkafirkan ato mencaci orang lain layaknya sudah pasti masuk sorga, MAKA ITU YG GW IKUTIN!! kalo msalah diterima ato tidak, ALLAH maha pengasih dan penyanyang jadi ga mungkn menolak amalan hambanya yg ikhlas. Mau jubahan, jenggotan kalo cuma kulitnya doang tp tdk mengajarkan tauladan ato memberi manfaat bagi orang lain apalagi kalo hatinya penuh kesombongan merasa paling benar ya buat apa diikutin. Kita hidup kan cuma berharap belas ksihan dan ridho ALLAH kan?

  28. KALO WAHABI MERASA PALING BENAR KRN MENGKAFIRKAN ORANG LAIN, BERANI GA KASIH JAMINAN ATAS NAMA ALLAH PAKE MATERAI ALIRAN MEREKA PASTI MASUK SURGA?? TAR ANE 7 TURUNAN IKUT DEH, TAPI KALO TERNYATA GA MASUK SURGA LO WAHABI YANG GANTIIN YEE!!!

  29. Maaf, sombong stau tidaknya seseorang yg tahu hanya Allah dan dirinya saja yg tahu. Disini berdebat untuk menemukan kebenaran, bukan utk menang2an… Pinggirkan ego, gunakan akal sehat… disini tidak ada kubu ini dan kubu itu, yg ada buku ini dan buku itu. salut buat mas jundu muhammad, saya melihat jawaban2nya lebih ilmiah (berdasar ilmu) dan saya bisa menerima apa yg ditulis bahwa “ALLAH TIDAK BERTEMPAT”

  30. Saya setuju dengan tulisan Jundu Muhammad. Saya tidak aneh membaca jawaban dari saudara kita Wahabi. Saya pribadi sudah bosan dan kenyang berdiskusi tentang akidah dengan orang wahabi. mereka tidak mau mengakui kekurangan mereka. mereka mengganggap bahwa merekalah yang paling benar.percuma kita membuang waktu kita berdiskusi dengan orang wahabi yang SANGAT KERAS KEPALA SEKALI. mereka dengan seenaknya mengecap sesat terhadap Imam Abu Hasan Al-‘Asy’ari (lihat Kitab Tauhid, Sholeh Fauzan Alfauzan). padahal Ibnu Hajar Al-Asqolani, Imam Qurtubi, Imam Suyuti, Imam Nawawi adalah berpaham Asy’ariah. kalau memang Imam Abu Hasan sesat, berarti Imam Nawawi dan yang saya sebutkan tadi sesat? sementara di sisi lain, pada setiap kajian salafi memakai kitab-kitab yang dikarang oleh Imam Nawawi,dll.kenapa kalian memakai kitab-kitab itu? tolong jawab ? berarti kalian memakai buku-buku yang sesat, dong?saya berharap saudara kita wahabi mau bermuhasabah. sudah benarkah cara dakwah kita ? kalian menyatakan diri mengikut genarasi salafushsholeh. APAKAH GENERASI SALAF TERDAHULU DENGAN ENAKNYA MENGECAP “SESAT”, “KAFIR”, AHLUL BID’AH TERHADAP ORANG YANG TIDAK SEPENDAPAT DENGAN MEREKA? PERNAHKAH NABI DAN GENERASI SALAF TERDAHULU MENCONTOHKAN SEPERTI ITU?TOLONG JAWAB SAUDARAKU !NASIHAT SAYA UNTUK SAUDARAKU WAHABI, AKUILAH DAN TERIMALAH PENDAPAT ORANG LAIN KALAU ITU MEMANG BENAR. KENAPA KITA HARUS GENGSI MENERIMA KEBENARAN YANG DATANG BUKAN DARI KELOMPOK KITA? KENAPA KITA HARUS GHULUW TERHADAP USTADZ, SYEKH, DAN KELOMPOK KITA? BUKANKAH USTADZ, SYEKH KITA JUGA MANUSIA YANG TIDAK TERLEPAS DARI KHILAF DAN SALAH ?SEBENARNYA ADA DUA PILIHAN UNTUK SAUDARAKU WAHABI. PERTAMA, MENERIMA KEBENARAN DARI ORANG YANG MEMANG BUKAN KELOMPOK KITA. ATAU KEDUA, MEMUPUK SIFAT SOMBONG, ‘UJUB SEBAGAI BENTUK ITTIBA’ KEPADA MAKHLUK YANG ALLOH LAKNAT/KUTUK SELAMA-LAMANYA.

  31. ana bingung, islam sekarang ini jadi arena saling mengejek, wahabi menganggap mereka ahli sorga, jauhi bidah dan berpegang teguh al quran dan sunnah rosul…… padahal salaf jaman dulu ( bukan salaf modern ), tidak ada yang berani bilang ia bakal masuk sorga , meskipun ia teman dekat rosulullah !!!! … ingat kawan, bidah itu ucapan umar bin khotob ( pemuka islam / imam setelah nabi/ kholifah )…. Jadi kalu MUI menghalalkan tahlil, maulid atau apalah versi wahabi itu bidah, Apakah wahabi menolak IMAM/ Ulil amri negeri ini ? kalau jawabnya ” menolak ” , mending hijrah ( hengkang ) aja dari negeri ini sesuai sunnah lho… KARENA KAMI GAK BAKAL JADI WC ( WAHABI COMMUNITY )

  32. sehabis sholat mereka berdzikir :
    ya bid’ah 100x
    ya sesat 100x
    ya kafir 1000x
    ya taqlid kepada wahabi 1000000000x

    dasar ahli taqfir

  33. ko pada saling tindih,,,?maf saya yang bodoh ini kalo mau nambahin,,,kenalilah diri sendiri baru kamu akan tau tuhanmu….maka kamu akan tau dimana ia berada….

    • wakwaooooo… orang wahabi ga’ bakal faham dirinya, yang ada malah mereka menuhankan diri mereka dan sombong dengan berkata kami akan masuk surga, dan yang lain ahlulbid’ah kafir pasti masuk neraka

  34. @Abu Usamah: “setiap orang yg mendakwahkan islam sesuai atsar para sholafus sholeh pasti dicap sebagai wahhabi, …..”
    =========================
    Dakwah kalian tdk sesuai dgn atsar para sahabat sholafus sholeh. Tpi itu murni dakwahnya wahhabi. Umat Islam itu banyak yg paham agama, maka jika ada sedikit saja penyimpangan di tengah Umat Islam pasti mudah diketahui. Sprti dakwah yg kalian bawa sejak pendirinya sampai skrag tdk lepas dari kritikan para ulama dari zaman ke zaman. Justru setiap kali Umat Islam yg mengamalkan dzikir berjamaah, istighotsah, ziarah kubur, mencintai nabi dan ahlul bayit, selalu kalian vonis ahli bid’ah, syirik dan kafir.

    “sampai-sampai ibnu taimiyah juga dicap sebagai wahhabi kan lucu….sementara zaman ibnu taimiyah duluan ketimbang zaman muhammad bin abdul wahhab….dan ente semua yg nyeleneh…”
    ===========================

    Ajaran Ibnu Taymiyah itu menjadi fundamental dari ajaran sekte wahabi. Sprti Umat Islam yg melaksanakan ibadah haji banyak melakukan manasik sprti yg dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Tetapi manasik haji nabi ibrahim tersebut menjadi fundamental Syare’at Islam yg disampaikan oleh Rasullullah. Maka jamah haji disebut mengikuti Rasul bukan mengikuti Nabi Ibrahim. Ttpi secara tdk langsung dlm hal haji Umat Islam ttp mengikut nabi Ibrahim. Jdi Anda membuat analogi yg nyeleneh. LEBIH nyeleneh lagi, Anda menyebut Ibnu Taymiyah itu sholafus sholeh. Padahal Ibnu Taymiyah hidup JAAAAAAUH stlah masa salaf habis (Sahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in), apalagi jika Anda menyebut Muhammad bin Abdul wahhab sholafus sholeh, apalagi Hasan Albana disebut Sholafus Sholeh. Kelihatan sekali nyelenehnya Anda dan sekte Anda…..

    “kami tidak pernah ridho dengan penamaan wahhabi itu sendiri….”
    ==================
    Hahahah, terima kasih Anda sdh mengakui ketidakridhoan Anda dinisbatkan kpd wahhabi. Krna sebenarnya Anda juga sadar bahwa sekte wahhabi itu adalah noda hitam dlm sejarah Islam. Makanya diubah namanya jdi salafy, biar dakwahnya laku di kalangan org awam. Tpi beda dgn syaikh2 Anda sprti Syaikh Ustaimin yg bangga disebut wahhabi…….. Anda termasuk Aneh krna tdk terima disebut wahhabi.

    “karena orang yg anda maksud bukanlah bernama abdul wahhab tetapi dia bernama muhammad, adapun abdul wahhab itu adalah nama dari ayahnya…..jadi dari segi sejarah saja udah salah nuduh gimana dengan yg lain bung….”
    ==================
    Hahahah, kebodohan Anda terbongkar oleh logika Anda sendiri. Logika Anda “jongkok”, masa mau menisbatkan diri pada sholafus sholeh. Aneh bin nyelenh. Imam Syafi’i nama aslinya Muhhammad bin Idris As Syafi’i, tpi pengikutnya disebut Syafi’iyah bukan Muhammadiyah. Sprti yg sdh diuraikan oleh Saudara Cah Bayi Imoetz. Tpi terus terang, sy (Kami) bangga disebut syafi’iyah. Mengapa ??? Tentunya Anda pasti thu klw Imam Syafi’i adalah sholafus sholeh. Wajar klw Anda tdk terima disebut Wahhabiyyah, krna Muhammad bin Abdulwahhab BUKAN sholafus sholeh. Tpi sangat heran, sekte Anda itu klau ngomongin sholafus sholeh, justru yg disebut Ibnu Taymiyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Muhammad bin Abdulwahhab, Hasan Al-Banna, Syaikh Abud Aziz bin Baz, Syaikh Ustaimin, bahkan lulusan LIPIA yg baru kemarin aja disebut salafy (Sholafus Sholeh)….. Anda dan sekte Anda sangat nyeleneh.

    Saran saya, sebaiknya sekte Anda ini jgn mmbawa2 nama Islam MINIMAL jgn bawa2 nama sholafus sholeh, cukup lah Anda berkata “Inilah dakwah wahhabi” atau “Inilah tauhid wahhabi” atau “inilah aqidah wahhabi”. Masalahnya Anda membawa2 nama Islam dan sholafus sholeh, tpi ajaran Anda penuh dgn caci maki dan vonis2 keji kpd Umat Islam dgn vonis bid’ah, syirik, dan kafir. Itu sama saja memfitnah Islam dan sholafus sholeh yg menyampaikan Islam rahmatan lil ‘aalamiin. Maka, kami tergerak utk meluruskan kpd Umat Islam, apa hakikatnya dakwah kalian itu, supaya umat islam tdk tersesat. Silakan klw Anda memilih aqidah yg sesat, tpi jgn mengajak Umat Islam utk sesat sprti kalian. Selesai masalah………..

  35. @Abu Usamah: Sbenarnya lebih gentel klw Anda mau mengambil hikmah dari artikel di atas. Krna tentunya Anda sadar klw kawan Anda AH itu lebih tinggi ilmunya daripada Anda, tpi nyatanya tdk punya hujjah yg kuat. Lah apalagi Anda. Kenapa Anda selalu berkilah, ketika hujjah2 Anda dan teman2 Anda mudah dipatahkan padahal Anda menge-klaim selalu berhujjah dgn Al-Qur’an dan Hadist, tpi nyatanya Anda salah memilih ayat utk berhujjah, lebih fatal lagi salah memahaminya. Sdh salah pilih ayat, malah salah memahaminya. Jdi salah 2x. Jdi ga nyambung sama sekali….. Lalu Anda berusaha pakai logika, ternyata logika Anda “jongkok” jdi sangat mudah utk dipatahkan. Klw Anda logikanya “tegak” Anda pasti sdh lama menolak ajaran wahhabi sprti halnya ratusan bahkan ribuan ulama menolak ajaran wahabi dgn berbagai karya kitabnya dari zaman ke zaman. Sbenarnya, logikanya Anda sdh mulai “berdiri” ketika Anda tdk ridho dikatakan wahhabi. Itu modal yg sangat bagus. Semoga Allah membimbing Anda kpd aqidah yg lurus, yakni Allah ada tanpa tempat dan arah… ^_^

  36. Memang antek antek wahabi suka fitnah dan sok tahu dengan sifatnya yang didahului dengan su’udzon dulu kepapada sesama Muslim terus dilanjutkan dengan memvonis bid’ah,syirik,khurafat,sesat dan kafir tanpa merujuk pada ulama Ahlussunah tapi langsung memvonis berdasar dalil yang dipahami lewat tekstual terjemahannya saja,naif dan kasihan…

  37. hehe,ciri2 wahabi suka su’udzon terus fitnah yang sesat,bid’ah,syirik,musrik,kurafat,kafir dan sejenisnya…

    Kasihan hidup mereka gak jauh dari kebusukan hati,naif dan menyedihkan…

    Allahu’alam…

    Astaghfirullah…

  38. *BUKTI – BUKTI ALLAH BERSEMAYAM DI ATAS ARSY *
    oleh Abu Faza pada 7 Januari 2012 pukul 10:33 ·
    BISMILLAAH,.,

    INILAH BUKTI-BUKTI YANG NYATA BAHWA ALLAH TA’ALA BERSEMAYAM DI ATAS ARSY

    DALIL DARI AL QUR’AN ;

    Allah berfirman :

    { ءَأَمِنتُمْ مَّن فِي السمآء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأرض فَإِذَا هِيَ تَمُورُ }

    “ Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?”,QS.Al Mulk ; 16.

    { ءَأَمِنتُمْ مَّن فِي السمآء } عذاب من في السماء على العرش { أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأرض فَإِذَا هِيَ تَمُورُ }

    *Lihat Tafsir Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu.

    إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

    “Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy[548]. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam “.QS.Al A’raf ; 54.

    [548]. Bersemayam di atas ‘Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.

    إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

    “Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” QS.Yunus ; 3.

    *PERHATIKAN BAIK-BAIK AYAT DI ATAS *

    اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى يُدَبِّرُ الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَاءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ

    “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Rabb-mu “.QS.Al Ra’d ; 2.

    الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

    “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy “.QS.Thaha ; 5.

    الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرً

    “ Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia “.QS.Al Furqan ; 59.

    ) اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ مَا لَكُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا شَفِيعٍ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ (4) يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

    ” Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?.

    “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu[1190] “.QS.As Sajdah ; 4-5.

    [1190]. Maksud urusan itu naik kepadaNya ialah beritanya yang dibawa oleh malaikat. Ayat ini suatu tamsil bagi kebesaran Allah dan keagunganNya.

    *PERHATIKAN DAN PAHAMI BAIK-BAIK AYAT DI ATAS *

    هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ


    Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy.Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya [1454]. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan “.QS.Al Hadid ; 4.

    .
    [1454]. Yang dimaksud dengan yang naik kepada-Nya antara lain amal-amal dan do´a-do´a
    hamba.

    يخبر تعالى عن خلقه السموات والأرض وما بينهما في ستة أيام، ثم أخبر باستوائه على العرش بعد خلقهن، وقد تقدم الكلام على هذه الآية وأشباهها في سورة “الأعراف (1) بما أغنى عن إعادته هاهنا

    “Allah Ta’ala mengabarkan tentang cipataan-cipataannya langit,bumi dan ciptaan-ciptaan lainnya yang berada diantara langit dan bumi,lalu Dia [ Allah ] mengabarkan BERSEMAYAM-NYA DI ATAS ARSY SETELAH MENCIPATAKAN LANGIT DAN BUMI BESERTA ISINYA.Penjelasan tentang ayat-ayat istiwa dan yang serupa telah dibahas dulu dalam surat Al A’raf dengan mencukupkannya tanpa mengulangnya di sini “

    Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 8 hal.8 cetakan Dar Thayyibah thn.1999.

    Rasulullaahi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda :

    “يُرْفَعُ إليه عَمَلُ الليل قبل النهار، وعمل النهار قبل الليل” (1)

    “ Akan selalu diangkat kepada-Nya amalan waktu malam sebelum datang siang,dan amalan waktu siang sebelum datang malam”.HR.Muslim no.179.Dari Abi Musa Al Asy’ari.

    iPAHAMI HADITS ITU *

    Rasulullaahi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda :

    “ألا تأمنوني وأنا أمين من في السماء

    “ Apakah kamu tidak mempercayaiku,sedangkan aku orang yang dipercaya oleh Zat yang berada di atas langit “.HR.Muslim

    والله فوق العرش

    “ Allah itu berada di atas Arsy “.HR.Ibnu Khuzaimah,Alalikai,Al Hitsami dan Al Thabrani.

    BUKTI SECARA FAKTA

    Yaitu ketika Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam bekhubtah di Arafah saat Haji Wada’ yang disaksikan oleh MAYORITAS KAUM MUSLIMIN PADA SAAT ITU yang jumlahnya lebih dari 124 ribu,beliau mengangkat jari petunjuknya kea arah langit kemudian beliau bersabda :

    ألا هل بلغت ؟

    ” “ Apakah aku telah menyamapaikan RISALAH secara sempurna ?,.

    Lalu para sahabat menjawab :

    نعم

    “” Ya anda telah menyampaikannya “.

    *.Persaksian Nabi di hadapan para sahabatnya berulang sampai 3 x,kemudian Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda :

    اللهم أشهد

    “” YA ALLAH,.,SAKSIKANLAH “.
    Beliau sambil MENUNJUKAN JARI PETUNJUKNYA KE ATAS / LANGIT LALU MENUDINGKAN KEPADA SELURUH SAHABATNYA.

    *.Lihat kisahnya di Shahih Muslim Kitab Al Hajj Bab Hajjunnabi Shallallaahu alaihi wa sallam.
    Dan diantara dalil lainnya,beliau Nabi shallallaahu alaihi wa sallam mengangkat tangannya ke arah langit ketika beliau berdo’a.

    BUKTI SECARA FITRAH

    Adapun diantara bukti secara FITRAH yaitu ketika Mu’awiyah bn Al Hakam mau memerdekakan budak perempuannya yang masih kecil,karena dia masih bingung akhirnya dia menghadap Rasulullaahi shallallaahu alaihi wa sallam.
    Lalu Nabi saw bertanya kepada budak kecil itu :

    أين الله ؟,

    “ Di manakah Allah ?”.

    Kemudian sang budak perempuan kecil menjawab :

    في السماء

    “Allah berada di atas langit “.

    Nabi saw bertanya :

    ؟,من أنا

    “” Lalu aku siapa ?”.

    Sang budak menjawab :

    رسول الله ؟,

    ” Anda adalah Utusan Allah “.

    Kemudian Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda :

    أعتقها ,فإنها مؤمنة

    “ MERDEKAKANLAH DIA KARENA DIA BUDAK PEREMPUAN KECIL YANG BERIMAN “.

    Lihat kisahnya di Shahih Muslim kitab al Masajid bab tahrim al kalam fii ash shalah.

  39. * AQIDAH SYUBHAT ALLAH ADA TANPA TEMPAT *
    oleh Abu Faza pada 4 Maret 2012 pukul 21:52 ·
    Bismillaah,.,.

    Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
    Syubhat zaman kuno masih saja dimunculkan oleh orang yang hidup di abad ke-21. Demikianlah syubhat yang muncul saat ini apalagi digembar-gemborkan di dunia maya yang sedikit sekali yang mengcounternya. Sebagian syubhatnya adalah kalau kita menetapkan Allah di atas langit, maka mereka menyanggah, “Kalau gitu Allah punya tempat dong!” Gitu ujar mereka.

    Kalau saudara lihat tulisan berikut ini akan jelaskan syubhat kuno yang dimunculkan oleh mereka. Syubhat ini sudah disinggung oleh ulama masa silam seperti Al Karmani. Semoga tulisan ini semakin menarik untuk dikaji.

    Muhammad bin Aslam Ath Thusi[1]

    قال الحاكم في ترجمته حدثنا يحيى العنبري حدثنا أحمد بن سلمة حدثنا محمد بن أسلم قال قال لي عبد الله بن طاهر بلغني أنك لا ترفع رأسك إلى السماء فقلت ولم وهل أرجو الخير إلا ممن هو في السماء

    Al Hakim dalam biografinya mengatakan, Yahya Al ‘Anbari menceritakan pada kami, Ahmad bin Salamah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Aslam menceritakan kepada kami, beliau berkata, “’Abdullah bin Thohir berkata padaku, “Telah sampai padaku berita bahwa engkau enggan mengangkat kepalamu ke arah langit.” Muhammad bin Aslam menjawab, “Tidak demikian. Bukankah aku selalu mengharap kebaikan dari Rabb yang berada di atas langit?”[2]

    ‘Abdul Wahhab Al Warroq[3]

    حدث عبد الوهاب بن عبد الحكيم الوراق بقول ابن عباس ما بين السماء السابعة إلى كرسيه سبعة آلاف نور وهو فوق ذلك ثم قال عبد الوهاب من زعم أن الله ههنا فهو جهمي خبيث إن الله عزوجل فوق العرش وعلمه محيط بالدنيا والآخرة

    ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdil Hakim Al Warroq menceritakan perkataan Ibnu ‘Abbas, “Di antara langit yang tujuh dan kursi-Nya terdapat 7000 cahaya. Sedangkan Allah berada di atas itu semua.” Kemudian ‘Abdul Wahhab berkata, “Barangsiapa yang mengklaim bahwa Allah itu di sini (di muka bumi ini), maka Dialah Jahmiyah yang begitu jelek. Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy, sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu di dunia dan akhirat.”

    Adz Dzahabi menceritakan, bahwa pernah ditanya pada Imam Ahmad bin Hambal, “Alim mana lagi yang jadi tempat bertanya setelah engkau?” Lantas Imam Ahmad menjawab, “Bertanyalah pada ‘Abdul Wahhab bin Al Warroq”. Beliau pun banyak memujinya. [4]

    Pelajaran penting:
    Dari perkataan ‘Abdul Wahab Al Warroq ini dapat kita melihat bahwa Allah bukan berada di muka bumi ini, namun Allah berada di atas ‘Arsy. Barangsiapa yang meyakini Allahh di muka bumi ini, dialah pengadopsi paham Jahmiyah yang sesat.

    Harb Al Karmaniy[5]
    قال عبد الرحمن بن محمد الحنظلي الحافظ أخبرني حرب بن إسماعيل الكرماني فيما كتب إلي أن الجهمية أعداء الله وهم الذين يزعمون أن القرآن مخلوق وأن الله لم يكلم موسى ولا يرى في الآخرة ولا يعرف لله مكان وليس على عرش ولا كرسي وهم كفار فأحذرهم

    ‘Abdurrahman bin Muhammad Al Hanzholi Al Hafizh berkata, Harb bin Isma’il Al Karmani menceritakan padaku terhadap apa yang ia tulis padaku, “Sesungguhnya Jahmiyah benar-benar musuh Allah. Mereka mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk. Allah tidak berbicara dengan Musa dan juga tidak dilihat di akhirat. Mereka sungguh tidak tahu tempat Allah di mana, bukan di atas ‘Arsy, bukan pula di atas kursi-Nya. Mereka sungguh orang kafir. Waspadalah terhadap pemikiran sesat mereka.”

    Adz Dzahabi mengatakan bahwa Harb Al Karmani adalah seorang ulama besar di daerah Karman di zamannya. Ia mengambil ilmu dari Ahmad dan Ishaq.[6]

    Pelajaran penting:
    Penisbatan tempat bagi Allah tidaklah ada petunjuknya dari Allah dan Rasul-Nya, tidak pula ditunjukkan oleh perkataan sahabat dan selainnya. Yang sepantasnya adalah kita tidak menyatakan Allah memiliki tempat agar tidak membuat orang salah sangka. Namun yang dimaksud dari perkataan di atas adalah penjelasan Al Karmani selanjutnya, “Mereka sungguh tidak tahu tempat Allah di mana, bukan di atas ‘Arsy, bukan pula di atas kursi-Nya”.[7]

    ‘Utsman bin Sa’id Ad Darimi Al Hafizh[8]
    قال عثمان الدارمي في كتاب النقض على بشر المريسي وهو مجلد سمعناه من أبي حفص بن القواس فقال قد إتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه فوق سمواته وقال أيضا إن الله تعالى فوق عرشه يعلم ويسمع من فوق العرش لا تخفى عليه خافية من خلقه ولا يحجبهم عنه شيء

    ‘Utsman Ad Darimi berkata dalam kitabnya “An Naqdu ‘ala basyr Al Marisi” dan kitab tersebut sudah berjilid, kami mendengarnya dari Abu Hafsh bin Al Qowus, ia berkata, “Para ulama kaum muslimin telah sepakat bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit. ” Beliau pun berkata, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar (segala sesuatu) dari atas ‘Arsy-Nya, tidak ada satu pun makhluk yang samar bagi Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terhalangi dari-Nya.”[9]

    Pelajaran penting:
    Dari perkataan ‘Utsman Ad Darimi di sini kita dapatkan lagi satu klaim ulama yang menyatakan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama. Sebagaimana klaim ijma’ ini telah kita temukan pada perkataan Ishaq bin Rohuwyah, Qutaibah, dan Abu Zur’ah Ar Rozi. Lantas masihkah ijma’ ini dibatalkan hanya dengan logika yang dangkal?! Renungkanlah!

    Abu Muhammad Ad Darimi, penulis kitab Sunan Ad Darimi[10]

    Adz Dzahabi mengatakan,
    وممن لا يتأول ويؤمن بالصفات وبالعلو في ذلك الوقت الحافظ أبو محمد عبد الله بن عبد الرحمن السمرقندي الدارمي وكتابه ينبيء بذلك

    “Di antara ulama yang tidak mentakwil (memalingkan makna) dan benar-benar beriman dengan sifat Allah al ‘Uluw (yaitu Allah berada di ketinggian) saat ini adalah Al Hafizh Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman As Samarqindi Ad Darimi. Dalam kitab beliau menjelaskan hal ini.”[11]

    Pelajaran penting:
    Di antara buktinya adalah Ad Darimi membawakan dalam akhir-akhir kitabnya, “Bab memandang Allah Ta’ala” dan Bab “Kejadian di hari kiamat dan turunnya Rabb”. Ini jelas menunjukkan bahwa beliau meyakini Allah berada di ketinggian dan bukan berada di muka bumi ini sebagaimana klaim orang-orang yang sesat.

    Ibnu Qutaibah[12]
    قال الإمام العلم أبو محمد عبد الله بن مسلم بن قتيبة الدينوري صاحب التصانيف الشهيرة في كتابه في مختلف الحديث نحن نقول… وكيف يسوغ لأحد أن يقول إن الله سبحانه بكل مكان على الحلول فيه مع قوله الرحمن على العرش استوى ومع قوله إليه يصعد الكلم الطيب كيف يصعد إليه شيء هو معه وكيف تعرج الملائكة والروح إليه وهي معه

    Al Imam Al ‘Alam Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad Dainuri –penulis kitab yang terkenal yaitu Mukhtalaf Al Hadits- berkata, kami mengatakan, “Bagaimana dibolehkan seseorang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat (di mana-mana) sampai-sampai bersatu dengan makhluk, padahala Allah Ta’ala berfirman,

    الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

    “(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang menetap tinggi di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5).
    Dan Allah Ta’ala juga berfirman,

    إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ

    “Naik kepada Allah kalimat yang thoyib” (QS. Fathir: 10).

    Bagaimana mungkin dikatakan bahwa sesuatu naik kepada Allah sedangkan Allah dikatakan di mana-mana?! Bagaimana mungkin pula dikatakan bahwa Malaikat dan Ar Ruh (Jibril) naik kepada-Nya lalu dikatakan bahwa Allah bersama makhluk-Nya (di muka bumi)?!

    Ibnu Qutaibah kembali mengatakan ;

    قال ولو أن هؤلاء رجعوا إلى فطرتهم وما ركبت عليه ذواتهم من معرفة الخالق لعلموا أن الله عزوجل هو العلي وهو الأعلى وأن الأيدي ترفع بالدعاء إليه والأمم كلها عجميها وعربيها تقول إن الله في السماء ما تركت على فطرها

    “Seandainya orang-orang (yang meyakini Allah ada di mana-mana) kembali pada fitroh mereka dalam mengenal Sang Kholiq, sudah barang tentu mereka akan mengetahui bahwa Allah Maha Tinggi, berada di ketinggian. Buktinya adalah ketika berdo’a tangan diangkat ke atas. Bahkan seluruh umar baik non Arab maupun Arab meyakini bahwa Allah di atas langit, inilah fitroh mereka yang masih bersih.”

    Beliau selanjutnya mengatakan;

    قال وفي الإنجيل أن المسيح عليه السلام قال للحواريين إن أنتم غفرتم للناس فإن أباكم الذي في السماء يغفر لكم ظلمكم أنظروا إلى الطير فإنهن لا يزرعن ولا يحصدن وأبوكم الذي في السماء هو يرزقهن ومثل هذا في الشواهد كثير قلت قوله أبوكم كانت هذه الكلمة مستعملة في عبارة عيسى والحواريين وفي المائدة وقالت اليهود والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه

    “Disebutkan dalam Injil bahwa Al Masih (‘Isa bin Maryam) ‘alaihis salam berkata kepada (murid-muridnya yang setia) Al Hawariyyun, “Jika kalian memaafkan orang lain, sungguh Rabb kalian yang berada di atas langit akan mengampuni kezholiman kalian. Lihatlah pada burung-burung, mereka tidak menanam makanan, Rabb mereka-lah yang berada di langit yang memberi rizki pada mereka.”[13]

    Pelajaran penting:
    Ibnu Qutaibah ingin menyanggah pendapat yang menganggap bertentangan antara ayat-ayat yang menyatakan Allah di ketinggian, di atas ‘Arsy-Nya dengan ayat-ayat yang menyatakan Allah bersama makhluk-Nya. Kedua ayat ini jelas tidak bertentangan. Allah tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, sedangkan ilmu Allah yang di mana-mana dan bukan Dzat-Nya.
    Keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya adalah sudah menjadi fitroh manusia. Orang yang berkeyakinan berbeda dari hal ini, itulah yang sungguh aneh, karena ia sendiri yang keluar dari fitrohnya.
    Umat sebelum Islam –semacam di masa Nabi Isa- sudah mengakui bahwa Allah berada di atas langit.
    Abu ‘Isa At Tirmidzi, Penyusun Kitab Sunan[14]
    Ketika Abu ‘Isa At Tirmidzi menyebutkan hadits Abu Hurairah;

    إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ الصَّدَقَةَ وَيَأْخُذُهَا بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا

    “Allah menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangannya lalu mengembangkannya.”[15]

    Abu ‘Isa At Tirmidzi kemudian berkata;

    وَقَدْ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِى هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنَ الرِّوَايَاتِ مِنَ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالُوا قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِى هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلاَ يُتَوَهَّمُ وَلاَ يُقَالُ كَيْفَ هَكَذَا رُوِىَ عَنْ مَالِكٍ وَسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِى هَذِهِ الأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلاَ كَيْفٍ. وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.

    Tidak sedikit dari ulama yang mengatakan tentang hadits ini dan yang semisalnya yang membicarakan tentang sifat turunnya Rabb tabaroka wa ta’ala setiap malam ke langit dunia. Mereka katakan bahwa riwayat-riwayat semacam ini adalah shahih, mereka mengimaninya, tidak salah paham, dan mereka tidak menanyakan bagaimanakah hakekat dari sifat tersebut. Demikianlah yang diriwayatkan dari Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al Mubarok, mereka katakan bahwa kami mengimaninya tanpa menanyakan bagaimanakah hakekat sifat tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

    وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ وَقَالُوا هَذَا تَشْبِيهٌ. وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابِهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ فَتَأَوَّلَتِ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ. وَقَالُوا إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَا هُنَا الْقُوَّةُ. وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ. فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلاَ يَقُولُ كَيْفَ وَلاَ يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلاَ كَسَمْعٍ فَهَذَا لاَ يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ).

    Adapun Jahmiyah, mereka mengingkari riwayat semacam ini dan mengatakan orang yang menetapkannya sebagai musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Ketika Allah Ta’ala menyebutkan di tempat yang lain dalam Al Qur’an, misalnya menyebut tangan, pendengaran dan penglihatan, Jahmiyah pun mentakwil (menyelewengkan) maknanya dan mereka menafsirkannya tanpa mau mengikuti penjelasan para ulama tentang ayat-ayat tersebut.

    Jahmiyah malah mengatakan bahwa Allah tidaklah menciptakan Adam dengan tangan-Nya. Jahmiyah katakan bahwa makna tangan adalah quwwah (kekuatan). Ishaq bin Ibrahim mengatakan bahwa yang dimaksud tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) adalah seperti perkataan tangan Allah seperti atau semisal tangan ini, pendengaran Allah seperti atau semisal pendengaran ini, Jika dikatakan demikian, barulah disebut tasybih.

    Namun jika seseorang mengatakan sebagaimana yang Allah Ta’ala katakan bahwa Allah memiliki pendengaran, penglihatan, dan tidak dikatakan hakekatnya seperti apa, tidak dikatakan pula bahwa penglihatan Allah semisal atau seperti ini, maka ini bukanlah tasybih. Menetapkan sifat semacam itu, inilah yang dimaksudkan firman Allah Ta’ala;

    لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

    “Allah tidak semisal dengan sesuatu pun. Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11)[16]

    Abu Ja’far Ibnu Abi Syaibah, Ulama Hadits di Negeri Kufah[17]
    Al Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Utsman bin Muhammad bin Abi Syaibah Al ‘Abasi, muhaddits Kufah di masanya, di mana beliau telah menulis tentang masalah ‘Arsy dalam seribu kitab, beliau berkata;

    ذكروا أن الجهمية يقولون ليس بين الله وبين خلقه حجاب وأنكروا العرش وأن يكون الله فوقه وقالوا إنه في كل مكان ففسرت العلماء وهومعكم يعني علمه ثم تواترت الأخبار أن الله تعالى خلق العرش فاستوى عليه فهو فوق العرش متخلصا من خلقه بائنا منهم

    Jahmiyah berkata bahwa antara Allah dan makhluk-Nya sama sekali tidak ada pembatas. Jahmiyah mengingkari ‘Arsy dan mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy. Jahmiyah katakan bahwa Allah berada di setiap tempat.

    Padahal para ulama menafsirkan ayat (وهومعكم), Allah bersama kalian, yang dimaksud adalah dengan ilmu Allah. Kemudian juga telah ada berbagai berita mutawatir (yang melalui jalan yang amat banyak) bahwa Allah menciptakan ‘Arsy, lalu beristiwa’ (menetap tinggi) di atasnya. Allah benar-benar di atas ‘Arsy, namun Allah terpisah atau tidak menyatu dengan makhluk-Nya.[18]

    Masih ada lagi perkataan ulama lainnya yang hidup di tahun 300-an Hijriyah. Moga Allah mudahkan untuk membahas dalam tulisan selanjutnya.

    والله أعلم وهو المستعان

    Semoga sajian ini bermanfaat.,.

    Alhamdulillahilladzii bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
    Tulisan sebelumnya tentang di manakah Allah, silakan baca di sini.

    Riyadh-KSA,Ahad 11-04-1433 H,.,al Muwafiq 04-03-2012 M

    Abu Faza

    [1] Muhammad bin Aslam Ath Thusi meninggal dunia tahun 242 H.
    [2] Lihat Al ‘Uluw, hal. 191 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 208-209.
    [3] ‘Abdul Wahhab Al Warroq meninggal dunia tahun 250 H.
    [4] Lihat Al ‘Uluw, hal. 193 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 212.
    [5] Harb Al Karmani meninggal dunia pada tahun 270-an H.
    [6] Lihat Al ‘Uluw, hal. 194 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 213.
    [7] Demikian dijelaskan oleh Syaikh Al Albani ketika menjelaskan perkataan Al Harb Al Karmani di atas.
    [8] ‘Utsman Ad Darimi meninggal tahun 280 H.
    [9] Lihat Al ‘Uluw, hal. 194 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 213.
    [10] Abu Muhammad Ad Darimi hidup pada tahun 181-255 H.
    [11] Lihat Al ‘Uluw, hal. 195 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 214.
    [12] Ibnu Qutaibah hidup pada tahun 213-276 H.
    [13] Lihat Al ‘Uluw, hal. 196 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 216-217. Catatan: Istilah “abukum” (ayah kalian) untuk menyebut Allah yang digunakan di masa Isa dan sudah tidak berlaku lagi untuk umat Islam. Demikian dijelaskan oleh Adz Dzahabi.
    [14] Abu ‘Isa At Tirmidzi hidup antara tahun 209-279 H.
    [15] HR. Tirmidzi no. 662. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
    [16] HR. Tirmidzi no. 662. Lihat Al ‘Uluw, hal. 198 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 218-219.
    [17] Ibnu Abi Syaibah meninggal tahun 297 H.
    [18] Lihat Al ‘Uluw, hal. 220 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 220-221.

  40. * AQIDAH 4 IMAM MADZHAB,BAHWA ALLAH BERADA DI ATAS ARSY *
    oleh Abu Faza pada 6 Maret 2012 pukul 22:34 ·
    Bismillaah,.,.

    Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

    Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan kembali pembuktian mengenai aqidah Allah berada di atas langit,
    di atas seluruh makhluk-Nya.
    Yang kita utarakan nanti adalah perkataan empat imam madzhab mengenai ideologi tersebut. Kita dapat saksikan bahwa empat imam madzhab sepakat dalam hal ini dan orang-orang semacam abusalafy yang menganut aqidah Jahmiyah yang melenceng jauh dari aqidah mereka-mereka ini.
    Semoga Allah senantiasa memberi taufik,Aamiin Yaa Mujib as Saailiin,.,

    Sikap Keras Abu Hanifah[1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah
    Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar;

    من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر

    “Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[2]

    Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-[3], beliau berkata;

    سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم

    Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan;
    “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman;

    الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

    “Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.
    ” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.
    ” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[5]

    Imam Malik bin Anas[6], Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit

    Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan;

    الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء

    “Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[7]

    Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata;

    جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج

    “Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman;

    الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

    “Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[8]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?.
    ” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,;

    الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ

    “Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[9]

    Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan Robi’ah yang pernah kami sebutkan.
    Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.

    Imam Asy Syafi’i[10] -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit

    Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata;

    القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد

    “Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan;

    “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11]

    Imam Ahmad bin Hambal[12] Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya
    Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga.
    Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[13]

    Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya;

    ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض

    “Apa makna firman Allah;

    وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

    “Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”[14]

    مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ

    “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[15]

    Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”

    Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata;

    قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان

    Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan;
    “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?”.
    Imam Ahmad pun menjawab; “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]

    Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya;

    كيف نعرف ربنا

    “Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab;

    في السماء السابعة على عرشه

    “Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan;

    هكذا هو عندنا

    “Begitu juga keyakinan kami.”[17]

    Tidak Perlu Disangsikan Lagi
    Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran?
    Ini bukti ijma’ ulama yang dibawakan oleh Ishaq bin Rohuwyah.

    قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال إسحاق بن راهويه قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة

    “Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman;

    الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

    “Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[18]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya.

    Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.[19]
    Adz Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan;

    اسمع ويحك إلى هذا الإمام كيف نقل الإجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور

    “Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.”[20]

    Sanggahan: Abu Salafy Cuma Asal Nuduh
    Kami sedikit mencuplik ucapan beliau dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini ketika menerangkan ucapan Imam Malik di atas.
    Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al Muttaqîn,2/82:

    كيف غير معقول أي كيف من صفات الحوادث وكل ما كان من صفات الحوادث فإثباته في صفات الله تعالى ينافي ما يقتضيه العقل فيجزم بنفيه عن الله تعالى ، قوله : والاستواء غير مجهول أي أنه معلوم المعنى عند أهل اللغة ، والإيمان به على الوجه اللائق به تعالى واجب ؛ لأنه من الإيمان بالله وبكتبه ، والسؤال عنه بدعة ؛ أي حادث لأن الصحابة كانوا عالمين بمعناه اللائق بحسب وضع اللغة فلم يحتاجوا للسؤال عنه ، فلما جاء من لم يحط بأوضاع لغتهم ولا له نور كنورهم يهديه لصفات ربه يسأل عن ذلك، فكان سؤاله سببا لاشتباهه على الناس وزيغهم عن المراد.

    “Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala-. Ucapan beliau;
    “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya.

    Dan “bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk menanyakannya.
    Dan ketika datang orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.”

    Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:

    الرحمن على العرش استوى كما وصف به نفسه ولا يقال كيف ، وكيف عنه مرفوع…

    “Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72)

    Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!
    Penulis berkata;“Perkataan Imam Malik itu benar adanya.

    Begitu pula penjelasan dari Ibnu Lubban itu benar. Maksud perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu sudah diketahui, sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui karena memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut.

    Kami khawatir abusalafy sendiri sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu Libban. Sampai-sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan.

    Dalam tulisan lain yang abusalafy berkata:
    Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya..

    Penulis menjawab;
    “Siapa yang katakan bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan bentuknya? Mana buktinya?” Beliau juga menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain”.

    Penulis menjawab;
    “Mana buktinya kami pernah menyatakan demikian? Dalam kitab mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang mengada-ada. Beliau pun tidak berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau bawakan.”

    Semoga beliau bisa membedakan menetapkan sifat Allah dan menyebutkan bagaimana hakekat sifat tersebut. Coba renungkan dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah yang pernah kami bawakan di postingan pertama serial ini. Beliaurahimahullah mengatakan, “Yang disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘Tangan Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’

    Inilah yang disebut tasybih. Namun jika kita mengatakan sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan, pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut, ‘Bagaimana hakikat tangan Allah, dsb?’ dan tidak pula kita katakan, ‘Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan kita)’; seperti ini tidaklah disebut tasybih. Karena ingatlah Allah Ta’ala berfirman;

    لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

    “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11)[21]

    Jadi ingatlah bahwa menyatakan Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh bukan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini sifat Allah itu jauh berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang memiliki sifat kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah memang karakter busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap orang yang menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah.
    Jauh-jauh hari, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni telah mengisyaratkan;

    فالمعتزلة والجهمية ونحوهم من نفاة الصفات يجعلون كل من أثبتها مجسما مشبها ومن هؤلاء من يعد من المجسمة والمشبهة من الأئمة المشهورين كمالك والشافعي وأحمد وأصحابهم كما ذكر ذلك أبو حاتم صاحب كتاب الزينة وغيره

    “Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Abu Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.”[22]

    Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah;

    “Metode kami (dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama).

    Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya.

    Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk).

    Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.”[23]

    Semoga tulisan kali ini bias sebagai renungan bagi orang yang mencari kebenaran. Nantikan serial selanjutnya. Kami akan menyebutkan perkataan ulama Ahlis Sunnah yang menyanggah pemahaman Jahmiyah semacam abusalafy yang menyatakan “Allah itu ada tanpa tempat”. Semoga Allah mudahkan.

    Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

    * والله أعلم ,.,.وبه التوفيق *

    [1] Imam Abu Hanifah hidup pada tahun 80-150 H.
    [2] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.
    [3] Syaikh Al Albani rahimahullah memberikan pelajaran cukup berharga dalam Mukhtashor Al ‘Uluw, perkataan Adz Dzahabi di sini menandakan bahwa kitab Fiqhul Akbar bukanlah milik Imam Abu Hanifah, dan ini berbeda dengan berbagai anggapan yang telah masyhur di kalangan Hanafiyah. (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 136)
    [4] QS. Thaha: 5.
    [5] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.
    [6] Imam Malik hidup pada tahun 93-179 H.
    [7] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.
    [8] QS. Thaha: 5.
    [9] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.
    [10] Imam Asy Syafi’I hidup pada tahun 150-204 H.
    [11] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165
    [12] Imam Ahmad bin Hambal hidup pada tahun 164-241 H.
    [13] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.
    [14] QS. Al Hadiid: 4
    [15] QS. Al Mujadilah: 7
    [16] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116
    [17] Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118
    [18] QS. Thaha: 5.
    [19] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.
    [20] Idem
    [21] Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 67.
    [22] Minhajus Sunnah Nabawiyah fii Naqdi Kalamisy Syi’ah wal Qodariyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 2/44, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.
    [23] Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.

  41. * TIDAKLAH SAH TAUHID SAMPAI MEYAKINI ALLAH BERADA DI ATAS LANGIT ”
    oleh Abu Faza pada 6 Maret 2012 pukul 6:31 ·

    Bismillaah,.,

    Ikhwanii Fillaah,.,

    Segala puji bagi Allah, Yang Menetap Tinggi Di Atas ‘Arsy-Nya, yang memiliki asma’ dan shifat yang sempurna nan Maha Mulia. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallaahu alaihiwa sallam ,keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

    Dengan meminta pertolongan Allah Ta’ala ana akan memaparkan perkataan ulama pada thobaqoh lainnya (para ulama yang hidup sekitar tahun 200 H) tentang keyakinan mereka bahwa Allah berada di atas ‘Arsy,seperti Imam Al Bukhari yang ana sarikan dari kitab Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar – karya Al Imam Adz Dzahabi.

    Semoga bermanfaat , Aamiin Yaa Mujib as Saailiin,.,..

    Al Muzanni [1]

    أنبأنا ابن سلامة عن أبي جعفر الطرطوسي عن يحيى بن منده حدثنا أحمد بن الفضل أنبأ الياطرقاني سمعت أبا عمر السلمي سمعت أبا حفص الرفاعي سمعت عمرو بن تميم المكي قال سمعت محمد بن إسماعيل الترمذي سمعت المزني يقول لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته قلت مثل أي شيء قال سميع بصير عليم قدير أخرجها ابن منده في تاريخه

    ” Ibnu Salamah telah menceritakan pada kami, dari Abu Ja’far Ath Thurthusi, dari Yahya bin Mandah, Ahmad bin Al Fadhl telah menceritakan kepada kami, Al Yathuqorni telah menceritakan, aku mendengar ‘Umar As Sulami, aku mendengar Abu Hafsh Ar Rifa’i, aku mendengar ‘Amr bin Tamim Al Makki, ia berkata, aku mendengar Muhammad bin Isma’il At Tirmidzi, aku mendengar Al Muzanni berkata ;

    لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته

    “ Ketauhidan seseorang tidaklah sah sampai ia mengetahui bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-nya dengan sifat-sifat-Nya.” Aku pun berkata, “Sifat-sifat yang dimaksud semisal apa?” Ia berkata, “Sifat mendengar, melihat, mengetahui dan berkuasa atas segala sesuatu.” Ibnu Mandah mengeluarkan riwayat ini dalam kitab tarikhnya.[2].

    Adz Dzahabi rahimahullah mengatakan ;

    “Al Muzanni adalah seorang faqih di negeri Mesir ketika zamannya, dan beliau adalah di antara murid yang cerdas dari Imam Asy Syafi’i.”[3].

    Pelajaran penting:
    Ketauhidan seseorang dipertanyakan jika ia tidak meyakini Allah di atas ‘Arsy-Nya, di atas seluruh makhluk-Nya.
    Jika murid Imam Asy Syafi’i saja berkeyakinan bahwa Allah ada di atas ‘Arsy, maka sudah barang tentu keyakinan murid sama halnya dengan gurunya. Bahkan sudah dikuatkan pula keyakinan yang sama dari Imam Asy Syafi’i tentang keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana dalam tulisan yang telah lewat. Buah tak mungkin jatuh jauh dari pohonnya.
    Muhammad bin Yahya Adz Dzuhliy[4]

    قال الحاكم قرأت بخط أبي عمرو المستملي سئل محمد بن يحيى عن حديث عبد الله بن معاوية عن النبي ليعلم العبد أن الله معه حيث كان فقال يريد أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش

    Al Hakim berkata; “Aku membacakan dengan tulisan pada Abu ‘Amr Al Mustahli, Muhammad bin Yahya ditanya mengenai hadits ‘Abdullah bin Mu’awiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam;

    ليعلم العبد أن الله معه حيث كان

    “Supaya hamba mengetahui bahwa Allah bersama dirinya di mana saja ia berada.”

    Lantas Adz Dzuhliy mengatakan ;

    أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش

    “ Sesungguhnya ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, namun Allah tetap di atas ‘Arsy-Nya.”[5]

    Adz Dzahabi mengatakan;

    “ Adz Dzuhli adalah ulama negeri Khurasan setelah Ishaq, kebenarannya tanpa diragukan lagi. Beliau adalah seorang pemimpin, seorang yang taat, dan seorang yang mulia.”[6].

    Pelajaran penting :
    Keyakinan Allah di atas ‘Arsy tidaklah bertentangan dengan keyakinan ilmu Allah yang maha luas dan kebersamaan Allah bersama hamba-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy sedangkan ilmu-Nya di mana-mana dan bukanlah Dzat-Nya.

    Muhammad bin Isma’il Al Bukhari[7]

    قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إسماعيل في آخر الجامع الصحيح في كتاب الرد على الجهمية باب قوله تعالى وكان عرشه على الماء قال أبو العالية استوى إلى السماء إرتفع وقال مجاهد في استوى علا على العرش وقالت زينب أم المؤمنين رضي الله عنها زوجني الله من فوق سبع سموات

    Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari berkata dalam akhir Al Jaami’ Ash Shohih dalam kitab bantahan kepada Jahmiyah, beliau membawakan Bab firman Allah Ta’ala;

    وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

    “Dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air.” (QS. Hud : 7)

    Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah naik. Mujahid mengatakan bahwa istiwa’ adalah menetap tinggi di atas ‘Arsy.

    Zainab Ummul Mukminin mengatakan;

    “Allah yang berada di atas langit ketujuh yang telah menikahkanku”.[8]

    Pelajaran penting:
    Imam pakar hadits yang terkemuka yang semua orang mengakui kitab shahihnya yaitu Al Jaami’ Ash Shohih menyatakan dengan tegas bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy dengan menukil perkataan ulama salaf. Yang aneh adalah pendapat yang berseberangan dengan Imam Al Bukhari ini.

    Abu Zur’ah Ar Rozi[9]

    قال أبو إسماعيل الأنصاري مصنف ذم الكلام وأهله أنبا أبو يعقوب القراب أنبأنا جدي سمعت أبا الفضل إسحاق حدثني محمد ابن إبراهيم الأصبهاني سمعت أبا زرعة الرازي وسئل عن تفسير الرحمن على العرش استوى فغضب وقال تفسيره كما تقرأ هو على عرشه وعلمه في كل مكان من قال غير هذا فعليه لعنة الله

    Abu Isma’il Al Anshori –penulis Dzammul Kalam wa Ahlih-, Abu Ya’qub Al Qurob menceritakan, kakekku menceritakan pada kami, aku mendengar Abul Fadhl Ishaq, Muhammad bin Ibrohim Al Ash-bahani telah menceritakan padaku, aku mendengar Abu Zur’ah Ar Rozi ditanya mengenai tafsir firman Allah;

    الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

    “(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang menetap tinggi di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5).

    Beliau lantas marah. Kemudian beliau pun berkata;

    “ Tafsirnya sebagaimana yang engkau baca. Allah di atas ‘Arsy-Nya sedangkan ilmu Allah yang berada di mana-mana. Siapa yang mengatakan selain ini, maka dialah yang akan mendapat laknat Allah.”[10]

    أنبأنا أحمد بن أبي الخير عن يحيى بن يونس أنبأنا أبو طالب اليوسعي أنبأنا أبو إسحاق البرمكي أنبأنا علي بن عبد العزيز قال حدثنا عبد الرحمن بن أبي حاتم قال سألت أبي وأبا زرعة رحمهما الله تعالى عن مذهب أهل السنة في أصول الدين وما أدركا عليه العلماء في جميع الأمصار وما يعتقدان من ذلك فقالا أدركنا العلماء في جميع الأمصار حجازا وعراقا ومصرا وشاما ويمنا فكان من مذهبهم أن الله تبارك وتعالى على عرشه بائن من خلقه كما وصف نفسه بلا كيف أحاط بكل شيء علما

    ” Ahmad bin Abul Khoir telah menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Yunus, Abu Tholib menceritakan pada kami, Abu Ishaq Al Barmaki telah menceritakan pada kami, ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz telah menceritakan pada kami, ia berkata bahwa ‘Abdurrahman bin Abu Hatim telah menceritakan pada kami, bahwa dia bertanya pada ayahnya dan Abu Zur’ah mengenai aqidah Ahlus Sunnah dalam ushuluddin dan apa yang dipahami oleh keduanya mengenai perkataan para ulama di berbagai negeri dan apa saja keyakinan mereka “.

    Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata;

    ” Yang kami ketahui bahwa ulama di seluruh negeri di Hijaz, ‘Iraq, Mesir, Syam, Yaman; mereka semua meyakini bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Allah sifati pada diri-Nya sendiri dan tanpa kita ketahui hakikatnya. Sedangkan ilmu Allah meliputi segala sesuatu “.[11]

    Pelajaran penting:
    Dari perkataan Abu Zur’ah Ar Rozi, kita dapat menyaksikan para ulama di berbagai negeri sepakat (berijma’) bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy sedangkan ilmu Allah yang berada di mana-mana. Maka yang harus dibilang aneh adalah orang yang menyelisihi kesepakatan ulama ini. Bahkan Abu Zur’ah menyatakan bahwa siapa saja yang menyelisihi keyakinan ini, dialah yang pantas mendapatkan laknat Allah.

    Abu Hatim Ar Rozi[12]

    قال الحافظ أبو القاسم الطبري وجدت في كتاب أبي حاتم محمد بن إدريس بن المنذر الحنظلي مما سمع منه يقول مذهبنا وإختيارنا إتباع رسول الله وأصحابه والتابعين من بعدهم والتمسك بمذاهب أهل الأثر مثل الشافعي وأحمد وإسحاق وأبي عبيد رحمهم الله تعالى ولزوم الكتاب والسنة ونعتقد أن الله عزوجل على عرشه بائن من خلقه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير

    Al Hafizh Abul Qosim Ath Thobari mengatakan bahwa beliau mendapati dalam kitab Abu Hatim Muhammad bin Idris bin Al Mundzir Al Hanzholi, perkataan yang didengar darinya, Abu Hatim mengatakan;

    “ Pilihan kami adalah mengikuti Rasulullah, para sahabat, para tabi’in dan yang setelahnya. Kami pun berpegang dengan madzhab Ahlus Sunnah semacam Asy Syafi’i, Ahmad , Ishaq, Abu ‘Abdillah rahimahumullah. Kami pun konsekuen dengan Al Kitab dan As Sunnah. Kami meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Tidak ada yang semisal dengan-Nya, Dialah (Allah) yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

    Lantas Abu Hatim Ar Rozi menyebutkan perkataan;

    وعلامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر وعلامة الجهمية أن يسموا أهل السنة مشبهة

    “ Di antara tanda ahlul bid’ah adalah berbagai tuduhan keliru yang mereka sematkan pada Ahlus Sunnah. Tanda Jahmiyah adalah mereka menyebut Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk).”[13]

    Pelajaran penting:
    Lihatlah bagaimana penjelasan Abu Hatim di sini. Jika kita menyatakan bahwa Allah berada di atas langit atau menetap tinggi di atas ‘Arsy, maka di sini bukan berarti Allah itu berada dalam makhluk (berada dalam langit) atau butuh pada makhluk. Inilah yang banyak disangkakan sebagian orang. Dikira jika kita menyatakan Allah berada di atas langit, itu berarti Allah berada di dalam langit. Ini sungguh sangkaan keliru.

    Yahya bin Mu’adz Ar Rozi[14]

    قال أبو إسماعيل الأنصاري في الفاروق بإسناد إلى محمد بن محمود سمعت يحيى بن معاذ يقول إن الله على العرش بائن من خلقه أحاط بكل شيء علما لا يشذ عن هذه المقالة إلا جهمي يمزج الله بخلقه

    Abu Isma’il Al Anshori berkata dalam Al Faruq dengan sanad sampai ke Muhammad bin Mahmud, aku mendengar Yahya bin Mu’adz berkata; “Sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Namun ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Tidak ada yang memiliki perkataan nyleneh selain Jahmiyah. Jahmiyah meyakini bahwa Allah bercampur dengan makhluk-Nya.”[15]

    Pelajaran penting:
    Perkataan Yahya di atas menunjukkan bahwa pendapat Jahmiyah yang tidak meyakini Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy adalah keyakinan yang nyleneh, alias aneh.

    Penutup :
    Masih banyak lagi perkataan ulama masa silam semacam dari ulama pakar hadits yang belum kami sebutkan. Insya Allah perkataan lainnya akan kami lanjutkan pada tulisan selanjutnya. Semoga Allah mudahkan.

    Intinya, pernyataan orang-orang yang menyatakan Allah tidak di atas langit, adalah pernyataan “BASI ”, pernyataan semacam itu hanyalah mengadopsi pendapat Jahmiyah yang para ulama banyak mencelanya.

    Semoga dengan perkataan ulama yang ana nukilkan ini bisa membuka hati setiap orang yang masih ragu tentang keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya.

    Aamiin Yaa Mujib Assaailiin,.,

    * والله أعلم وبه التوفيق وهو المستعان,وصلي الله علي محمد وآله وصحبه وسلم *

    Al Faqir Ilallah :

    Shohib al Hussein [ Abu Faza ]

    Riyadh, Selasa 13-4-1433 H ,.,al Muwafiq ,.06-03-2012 H.

    * .Catatan :
    [1] Al Muzanni meninggal dunia pada tahun 264 H dalam usia 80-an tahun.
    [2] Syaikh Al Albani mengatakan, “Dari jalur yang dibawakan oleh penulis (Adz Dzahabi) dengan sanadnya terdapat perowi yang tidak aku kenal semisal ‘Amr bin Tamim Al Makki.” (Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 201)
    [3] Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 201.
    [4] Adz Dzuhli meninggal dunia pada tahun 258 H.
    [5] Syaikh Al Albani mengatakan, “Riwayat ini dibawakan oleh penulis dari Muhammad bin Nu’aim, aku sendiri tidak mengenalnya.” (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202)
    [6] Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202.
    [7] Imam Al Bukhari hidup dari tahun 194-256 H.
    [8] Lihat Al ‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202.
    [9] Abu Zur’ah meninggal tahun 264 H.
    [10] Lihat Al ‘Uluw, hal. 187-188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 203.
    [11] Lihat Al ‘Uluw, hal. 188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 204.
    [12] Abu Hatim Ar Rozi meninggal dunia tahun 277 H.
    [13] Lihat Al ‘Uluw, hal. 189-190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 206-207.
    [14] Yahya bin Mu’adz meninggal dunia tahun 258 H.
    [15] Lihat Al ‘Uluw, hal. 190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 207-208.

    • alangkah cerobohnya Abu Faza , menjadikan riwayat dengan rawi majhul sebagai landasan untuk menghukumi : ” TIDAKLAH SAH TAUHID SAMPAI MEYAKINI ALLAH BERADA DI ATAS LANGIT ”, hati-hati abu faza anda terlalu ceroboh.

  42. قال الحافظ ابن حجر: (تنبيه) : « وقع في بعض الكتب في هذا الحديث [كان الله ولا مكان] [وهو الآن على ما عليه كان] وهي زيادة ليست في شيء من كتب الحديث، نبَّه على ذلك العلامة تقي الدين ابن تيمية، وهو مسلَّمٌ في قوله [وهو الآن] إلى آخره» (فتح الباري 6/289) فقد أيّد ابن تيمية في أن الجزء الثاني من الرواية موضوع.
    وهذه الرواية أجلُّ عندهم من آيات القرآن حيث قال تعالى ( أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ( ( ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ( إذ هذه الآيات عندهم موهمة للتشبيه والتجسيم والكفر، أما هذه الرواية المكذوبة التي لا توجد إلا في كتب الرافضة فهي صريحة في التنزيه.
    ألم يعلم هؤلاء أن هذه الرواية المكذوبة كانت من أعظم ما يحتج به المعتزلة، وذكر الأشعري احتجاج العتزلة بها وأنها من جملة مقالاتهم (مقالات الإسلاميين 157) فانظر كم ورث هؤلاء القوم عن المعتزلة من أمور يظنونها راية أهل السنة والجماعة.

  43. saudaraku seiman dan setauhid….. kenapa hal seperti itu dijadikan perdebatan yang saling menjatuhkan satu sama lain…. Yakinilah apa yg kalian yakini, Allah maha mengetahui… apa yang kita kerjakan. bukankah kebenaran mutlak hanya Tuhanlah yang tau.

    • Tauchid itu Dasar keagamaan, jika misalnya, saya menggap bahwa Allah lebih dari satu, apa yang akan saudara lakukan?? begitu pula dg yang dilakukna dg wahabi, mereka menggapa bahwa allah memiliki mulut dsb, padahal allah itu tidak sama dengan makhluknya!

  44. Enak kalian yang paham baca tulis baik arab maupun indonesia…. bagaimana dengan kaum buta, kaum bisu…. paham gak dengan apa yg diperbincangkan di atas. trus bagaimana cara mereka mengenal Tuhan, ……

  45. Untuk artikel Abu Faza, kalau tidak salah sudah dijawab oleh Ustadz Ahmad Syahid di Ummati ……….. menjawab artikel sdr firanda. Syukron.

  46. TIDAK ADA YANG PERLU DITANGGAPI DI BLOG INI, TERLALU DANGKAL PENGETAHUAN DAN ILMU!!1 MEREKA HANYA MELIHAT MANHAJ SALAFY SEPERTI MELIHAT GAJAH DARI BELAKANG, MEREKA TAK MELIHAT BELALAI!!!

  47. sy katakan kpd orang2 wahabi KL MEMANG AQIDAH ANDA TEGAK DIATAS QURAN MENGAPA ANDA HANYA MEYAKINI AYAT YG SCR DHOHIRNYA MENUNJUKKAN ALLAH ADA DI ATAS ARASY.? MGP AYAT YG LAIN YG MENYATAKAN SEBALIKNYA SBGMN TLH DISEBUTKN DLM ARTIKEL DIATAS TDK ANDA YAKINI..? APA ANDA MENGINGKARINYA.? KL MEMANG AQIDAH ANDA TEGAK DIATAS SUNNAH MNGAPA ANDA TDK MNGNGGAP SEMUA “MUHDASAT” ITU DID’AH SPRTI DSBTKN DLM HADIS NABI “KULLU MUDASATIN BID’AH.? SHGG DG DEMIKIAN ANDA TDK AKAN PRNAH SELAMAT DR YG NAMANYA BID’AH..AYO JAWAB !

    • Banyak yang komen tanpa baca argumentasi dari pihak ‘seberang’. Terkesan hanya gregetan, marah atau pengen buru-buru ngecap. Akibatnya asal ngomong dan tanya. Seperti yang ada yang komen seperti ini:

      >>sy katakan kpd orang2 wahabi KL MEMANG AQIDAH ANDA TEGAK DIATAS QURAN MENGAPA ANDA HANYA MEYAKINI AYAT YG SCR DHOHIRNYA MENUNJUKKAN ALLAH ADA DI ATAS ARASY.? MGP AYAT YG LAIN YG MENYATAKAN SEBALIKNYA SBGMN TLH DISEBUTKN DLM ARTIKEL DIATAS TDK ANDA YAKINI..? APA ANDA MENGINGKARINYA.? KL MEMANG AQIDAH ANDA TEGAK DIATAS SUNNAH MNGAPA ANDA TDK MNGNGGAP SEMUA “MUHDASAT” ITU DID’AH SPRTI DSBTKN DLM HADIS NABI “KULLU MUDASATIN BID’AH.? SHGG DG DEMIKIAN ANDA TDK AKAN PRNAH SELAMAT DR YG NAMANYA BID’AH..AYO JAWAB ! <<

      Tampak sekali tidak bermutu (maaf). Jelas-jelas disebutkan rujukan dari Al-Qur'an, Hadits, dan perkataan ulama' masih juga nanya seperti di atas. Misalnya sudah tertulis :

      Firman Allah “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” (QS. Al Hadid: 4) menurut Ibnu Katsir ialah ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di langit. (Tafsir Qur’anil Azhim: 4/317)

      Masih juga nanyain, kan itu sama saja membuka aib sendiri yang malas baca. Atau takut menerima kebenaran yang ternyata berbeda dengan pemahaman selama ini?

  48. BEGINI…
    JIKA KALIAN SUDAH TAHU KEBERADAAN ALLAH SWT , APAKAH AKAN MEMBUAT KALIAN MASUK SYURGA..????TIDAK…..!!!!LIHAT ALQUR’AN DENGAN SEKSAMA..!!!APA YG MEMBUAT MANUSIA MASUK SYURGA DAN APA YG MEMBUAT MANUSIA MASUK NERAKA..!!!APA YG DIA PERINTAHKAN DI DALAM KITAB ITU…??APAKAH UNTUK SALING EGO SEPERTI INI..??????HATI2 LAH TERHADAP FITNAH YG BELUM PERNAH ADA DARI ZAMAN ADAM SAMPAI NABI TERAKHIR…!!!!DAN FITNAH INILAH YG BELUM PERNAH ADA…!!!!!!!!!!!!!
    DAN JIKA ADA YG MENGATAKAN “AKU BERDIRI TEGAK DI ATAS SUNNAH DAN BERJUANG DIATAS SUNNAH ..!!!”LALU DI KEMANAKAN KITABMU ALQUR’AN…!!!!!!!!!KENAPA KAU TIDAK MEMBELA DAN MENEGAKKAN ALQUR’AN…?????DAN KENAPA TERHADAP MANUSIA YG MENAFSIRKAN ALQUR’AN ENGKAU MALAH BERKATA “KAMU TELAH MENDAHULUI ALLAH SWT DAN RASULNYA…???????
    INILAH FITNAH YG BELUM PERBAH ADA DARI DULU…!!!!!!!!RENUNGKANLAH….!!!!!!!!TUGAS SAYA HANYA MENYAMPAIKAN ….JANGAN MENYESAL DI AKHERAT NANTI….

  49. masih ingatkah anda kpada isra’ mi’raj?? Rasulullah SAW menuju langit 7 (al-Arsy) bertemu dengan Allah dan menerima wahyu untuk Shalat…
    selesai…

  50. Bismillahhirrahmanirrahiim.
    Pahamilah hanya bagi orang-orang yang mau mempelajari ilmu ma’rifat:

    Manusia Allah jadikan dari tanah, tanah Allah jadikan dari air, air allah jadikan dari udara, udara Allah jadikan dari api, api dan roh dan malaikat dan alam semesta allah jadikan dari noor muhammad, noor muhammad dijadikan dari zat Allah SWT. Ketika semua belum ada samasekali, langit belum ada, galaksi belum ada, ruang dan waktu belum ada. Allah SWT menjadikan zat-Nya dengan kalimat KUN maka Maujud zat Allah FAYAKUN dalam sifat BATHIN. Kemudian Allah melihat zat-Nya berdiri sendi tanpa ada apapun di sekeliling-Nya. Allah Aku tuhan bagi siapa? Maka Allah menjahirkan dirinya dengan menjadikan NOOR MUHAMMAD maka timbul sifat ZHAHIR Allah. Jahir Noor Muhammad siapakah aku? Allah Bathin adalah Khalik jahir Nor Muhammad adalah Makhluk. Sehingga Allah bersifat Azhahir dan Al Bathin.

    Dari mengetahui asal kejadian kita akan mengetahui dimana Allah SWT pada sifat Al Bathin nya.

    Janganlah kita mencari dimana Zat Allah bertempat karena tidak akan bisa dan dapat diketemukan.
    Karena kalau Zat Allah SWT itu menzhahirkan dirinya maka seluruh makhluk, alam semesta, ‘arsy dan lainnya akan sirna lenyap dalam zhahirnya zat Allah ta’ala.

    Janganlah……… memperdebatkan keberadaan zat Allah, Karena sampai kiamatpun takkan bisa menemukan hasilnya.
    Keberadaan zat Allah hanya bisa diketahui dan diyakini oleh para nabi dan rasul serta para wali-wali Allah.

    Wallahua’alam bissawab.

      • Kalau ingin dalil…….. silahkan anda cari kitab karangan Syech Abdus Samad Ambulung yang kubur beliau berpindah sendiri ketika kubur beliau terkena erosi sungai.

  51. وَقالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ
    الصافات : ٩٩

    “Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).

  52. عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

    “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).

    Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:

  53. Allâh berfirman (yang artinya):
    Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (QS Qâf/50:16).

    Sepotong ayat di atas, jika dipahami secara zhahir lafadznya (tekstual) memberikan pemahaman bahwa Dzat Allâh itu lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya. Pemahaman seperti ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa Dzat Allâh ada dalam diri manusia, sehingga ia tidak dapat membedakan antara si makhluk dengan sang Khaliq, sampai-sampai ada yang mengucapkan kalimat tahlîl dengan mengatakan “lâ ilâha illâ ana” (tidak ada tuhan kecuali aku), dengan beranggapan bahwa Sang Khaliq ada dalam dirinya. Pemahaman seperti ini tidak benar, dan Maha Suci Allâh dari pemahaman seperti ini; Karena di samping menyelisihi pemahaman para Ulama, pemahaman ini juga memberi makna bahwa Allâh menyatu dengan semua orang, baik yang shalih, kafir maupun fasiq, Maha Tinggi Allâh dari yang demikian itu…! Pemahaman ini juga menyelisihi ayat-ayat Allâh yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh ada di atas ‘Arsy-Nya, seperti disebutkan dalam firman Allâh yang artinya:

    Dzat Yang Maha Pengasih bersemayam di atas Arsy-Nya. (QS Thahâ/20:5).

    Pada ayat yang lain Allâh berfirman yang artinya:

    Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, … (QS al-A’râf/7:54).

    Allâh juga berfirman yang artinya:

    Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya untuk mengatur segala urusan… (QS Yûnus/10:3).

    Allâh juga berfirman, yang artinya, “Allâh-lah yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai batas waktu yang ditentukan…(QS ar-Ra’d/13:2).

    Allâh juga berfirman, yang artinya,

    “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya…(QS al-Furqân/25:59).

    Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh ada di atas ‘Arsy-Nya, tidak menyatu dalam diri manusia.
    Syaikhul-Islam mengatakan,
    “Adapun orang yang beranggapan bahwa kedekatan Allâh dalam ayat di atas adalah kedekatan Dzat Allâh , maka pemahaman yang seperti ini adalah sangat lemah, karena menurut mereka Dzat Allâh ada di mana mana. Kalaulah Dzat Allâh itu ada di mana-mana, maka Ia dekat dengan segala sesuatu. Ia juga dekat dari seluruh anggota tubuh manusia; jika demikian, maka pengkhususan pada ayat di atas bahwa Dzat Allâh itu lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya menjadi tidak ada artinya.1”

    Lantas, bagaimanakah penafsiran para Ulama terhadap ayat di atas ?
    Para Ulama, dalam menafsirkan ayat di atas, mereka berbeda pendapat.

    Pendapat pertama mengatakan bahwa kedekatan tersebut adalah kedekatan maqdarah (kemampuan dan kekuasaan) Allâh dan kedekatan ilmu2 (pengetahuan) Allâh terhadap manusia.3

    Pendapat kedua mengatakan bahwa kedekatan tersebut adalah kedekatan Malaikat Allâh terhadap manusia.4
    Pendapat kedua inilah yang râjih (kuat) karena memiliki argumentasi yang kuat pula, diantaranya:

    Pertama.
    Allâh mengikat potongan ayat di atas dengan Zharaf zaman (keterangan waktu) yang terletak pada ayat berikutnya, yakni yang artinya:

    Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. (QS Qâf/50:17).

    Hal itu memberikan makna, yang dimaksud dengan kedekatan Kami pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat-malaikat-Nya, dan tidak cocok kalau diartikan dengan kedekatan ilmu Allâh k atau kedekatan kekuasaan-Nya, karena kedekatan ilmu Allâh k dan kekuasaan-Nya terhadap makhluk-Nya itu setiap saat dan tidak terikat dengan waktu tertentu. Dan andaikata diartikan dengan kedekatan ilmu atau kekuasaan, maka tidak ada artinya ikatan dzaraf zaman tersebut.5

    Kedua.
    Allâh k menyebutkan dengan kata jamak nahnu (Kami). Hal ini, jika disebutkan di dalam ayat-ayat al-Qur’ân, maka maknanya adalah Allâh melakukannya dengan cara memerintahkan para malaikat-Nya untuk melaksanakannya, seperti terdapat pada banyak ayat diantaranya yang artinya:

    Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. (QS al-Qashash/28:3).

    Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum kami mewahyukannya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (QS Yûsuf/12:3).

    Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami selesai membacanya, maka ikutilah bacaannya. (QS al-Qiyâmah/75:17-18).

    Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan tersebut adalah malaikat-malaikat Allâh atas perintah-Nya.6

    Ketiga.
    Penggunaan uslûb (gaya bahasa) semacam ini sudah tidak asing lagi dalam Bahasa Arab. Demikian ini sering digunakan oleh para pemimpin dan pembesar Arab, yakni menyandarkan perbuatan para prajurit kepada mereka, para pemimpin; yang perbuatan itu dilakukan atas dasar perintah dari pemimpin mereka. Oleh karena itu sebagian pemimpin mengatakan “kami telah menghabisi dan mengalahkan musuh”. Demikian pula para ahli sejarah mengatakan “Raja Fulan telah menaklukkan negara ini dan itu”, padahal yang melakukan adalah pasukan dan bala tentaranya atas perintahnya. Dan termasuk gaya bahasa yang seperti ini pula pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, yakni dengan memakai kata jamak yang menunjukkan bahwa yang melakukan hal itu adalah malaikat Allâh atas dasar perintah-Nya.7
    Dan masih banyak lagi argumentasi dari pendapat kedua tersebut. Jadi, maksud kedekatan pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat Allâh .

    Footnote:
    Syarah Hadîts al-Nuzûl, hlm. 133-134. Ahmad bin Abdul-Halim Ibn Taimiyyah, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cet. Kelima, Th. 1397 H/ 1977 M. Bit-tasharruf.
    2 Mafâtihul Ghaib, Juz 28, hlm. 134. Muhammad bin Umar ar-Razi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Kedua, Th. 1420 H. Lihat Tafsir Ibn ‘Asyur (al-Tahrîr wa al-Tanwîr), 26/301. Muhammad al-Thahir bin Muhammad Ibn ‘Asyur, al-Dar al-Tunusiyah li al-Nasyr, Tunisia, tanpa cet. Th. 1964 M. Lihat al-Kasysyaf ‘an Haqâiq Ghawamidh al-Tanzîl, 4/383. Mahmud bin ‘Amr al-Zamakhsyari, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Cet. Ketiga, Th. 1407 H. Lihat Anwâr al-Tanzîl wa Asrar al-Ta’wil, 5/141. ‘Abdullah bin Umar al-Baidhawi, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Pertama, Th. 1418 H.
    3) Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîl Ayil-Qur’ân, 22/342. Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Muassasah ar-Risalah, Cet. Pertama, Th. 1420 H/ 2000 M. Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân, 17/9. Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, Cet. Kedua, Th. 1384H/1964 M.
    4) Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398, Ibn Katsir.
    5) Mukhtashar al- Shawîiq al-Mursalah, hlm. 480, Muhammad bin Muhammad al-Mushili, Dar al-Hadis, Kairo, Cet. Pertama, Th. 1422H/2001M.
    6) Majmû’ al-Fatâwâ, 5/507, Ahmad bin ‘Abdul-Halim Ibn Taimiyah, Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, Madinah Munawwarah. Cet. Th. 1416 H/ 1995 M.
    7)Mukhtashar al-Shawâ-iq al-Mursalah, hlm. 494.

    • Maha suci Allah dari memiliki tempat tinggal.
      Tsummas tawa ‘alal arsy : bukanlah berarti bahwa Allah bertempat tinggal di arsy. Kalimat tsummas tawa ‘alal arsy memiliki pengetian bahwa setelah Allah menciptakan langit dan bumi kemudian dia Allah meninggikan, meluaskan dan memancangkan kekeasaan-Nya yang tanpa ada batas di atas sebuah tempat tertinggi yang di sebut arsy.
      Bersihkanlah i’tikat kalian wahai saudaraku sesama muslim dari i’tikat bahwa Allah memiliki tempat tinggal, karena MAHA SUCI ALLAH DARI MEMILIKI TEMPAT TINGGAL.

  54. Orang yang mengatakan Allah seperti apa adanya dalam alquran dan hadits (berada diatas, didepan dibawah dsb bersemayam) berarti orang bodoh bin jahil, terutama jahil dengan tata bahasa dan kedalaman ilmu Alquran) kalau ada sastrawan membuat puisi terbaik sedunia dan sepanjang sejarah, maka Allah lebih dahsyat lagi, karena Allah lah pencipta manusia, makajadi kalian orang bodoh banyak2 belajar tata bahasa arab dulu baru kemari lagi …. malu maluin karena kelakuan seperti anak SD yang baru belajar bahasa indonesia ….. sok pintar padahal pikiran masih dangkal. Jangan-jangan entar karena begitu populernya Allah diatas Arsy, mungkin nanti ka’bah mereka ratakan dengan tanah, dan jamaah haji disuruh menyembah Allah ke atas langit, dengan cara sholat sambil berbarin menghadap langit, hehhe….

  55. Aneh nih dialog ngalem sendiri. Yang mengatakan dan berkeyakinan Allah memiliki tempat dan membutuhkan tempat itu siapa? Kalau Allah menabarkan diri-Nya di atas ‘Arsy ya sudah tidak usah ditakwil yang tidak-tidak seakan-akan Allah berada di suatu arah dan membutuhkan ‘Arsy. Keyakinan ini dirusak oleh pemahaman filsafat dan ilmu kalam yang sering dipelajari kaum tradisional. Sepertinya tanpa ilmua kalam dan filsafat Islam itu tidak akan bisa dipahami. Begitu? Tidak sama sekali!. Contohlah para sahabat Nabi ketika Nabi menjelaskan ayat istiwa. Mereka langsung memahami dengan bahasa yang mudah dan fasih. Tidak perlu takwil.

  56. Ko kalian sibuk mencari Alloh ada dimana sich ?

    sudah benarkah sholat anda ? sudah cukupkah amal anda ?
    sudah pintarkah anda ? sehingga mengklaim ini sesat itu sesat …

    Fakulli ‘amalii walakum ‘amalukum …

    selama sholatnya sama2 menghadap kiblat mah .. berarti sama2 muslim …

  57. harus diluruskan.
    Afwan, kalo menurut antum, secara dzatiyah Alloh ada di mana-mana bersama makhluk-Nya? bagaimana ketika kita sedang berada di wc? trus Alloh itu ada berapa? sedangkan makhluk itu jumlahnya sangat banyak.
    Maha Suci Alloh dari sifat yang demikian.
    ketahuilah yang dimaksud bahwa Alloh bersama makhlukNya itu, adalah secara ilmu-Nya.
    sedangkan secara dzatiyah Alloh itu tinggi di atas arsyNya.

    • Kita sering mendengar : ” Allah itu dekat,
      lebih dekat dari urat nadi di leher ” ( QS. 50 :
      16 )

      apakah ketika kita di wc lalu ALLAH meninggalkan kita.

  58. Seandainya kita tahu di mana Allah berada, tetapi ibadah kita tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan dan di contohkannya serta tidak ikhlas dalam mengamalkannya maka semua itu sia-sia belaka.

  59. Bukankah berdebat dalam islam itu dilarang? yang diperintahkan adalah jika ada perbedaan pendapat, kita dianjurkan untuk bermusyawarah dengan cara hikmah dan baik dengan tujuan mencari kebenaran. Jika berdepat yang dicari adalah kemenangan bukan kebenaran. Sebanayak dan segamblang apapun argumen yang disampaikan tidak akan diterima oleh masing-masing pihak, karena yang ada hanya inginsaling menjatuhkan, kebencjan dan dendam.

  60. Penomena WAHABI ( yang dianggap wahabi seperti Salafi, Muhammadiyah, PERSIS dan sejenisnya) di Indonesia laksana penomena Umat Islam di dunia. Semakin Islam dipojokkan, difitnah, dihujat, dilecehkan dan dianggap teroris ternyata Islam semakin berkembang dan diminati oleh orang-orang non Islam diseluruh penjuru dunia, baik di Afika, Erofa bahkan Amerika. Setiap bulanya ribuan muallaf baru bersyahadat ditiap-tiap negara non Islam. Begitu juga dengan kelompok yang dianggap Wahabi, semakin dikecam, dihujat dan difitnah jamaahnya semakin bertambah dan semakin berkembang pesat. Seabagian besar jamaah baru dari Wahabi ternyata bersal dari kelompok yang menghujat itu sendiri sisanya dari jalur keturunan dan pernikahan. Mereka hijrah dengan berbagai alasan. Dan anehnya setelah mereka berada di kelompok baru mereka begitu nyaman dan kerasan, hingga sulit sekali dan kecil kemungkinan untuk kembali pada kelompok asalnya.Bahkan banyak diantara mereka yang menjadi juru dakwah. Penomena ini terjadi disemua daerah di Indonesia (Survei membuktikan)

    • Hari kiamat benar benar semakin mendekat, salah satu tandanya ialah merebaknya kebathilan dan kesesatan yang dianggap sebagai tauhid, seperti wahabisme itu…….

  61. setelah pendapaat ABU FAZA..di atas dengan gamblang menjelaskan..apakah anda masaih pura – pura TULI..BUTA….
    Awas Setan meyakinkan diri anda….sehingga tidak mau Objektif dalam berfikir

  62. kalau Allah SWT itu mempunyai tempat, berrti dia tak ada beda nya seprti manusia yg ada di dunia.
    Sedangn Allah SWT itu tidak ada seumpanya.
    Pikirkanlh Wahai saudaraku.

  63. saya baca semua postingan di sini. dan menurut saya, dalil, argumen, alasan dari pemilik blog ini lebih valid, lebih kuat, lebih logis dari pada yang lainnya. terimakasih atas pencerahannya….

  64. AWASI WAHHABI : GOLONGAN MUJASSIMAH MODEN?

    (Satu Penjelasan berdasarkan Hukum Para Ulama)

    Perlu diketahui bahawa golongan yang paling banyak kesesatan pada hari ini adalah Mujassimah (Yang menyatakan Allah itu berjisim) dan Musyabbihah (Yang menyatakan Allah itu menyerupai makhluk). Golongan Wahhabi adalah mereka yang paling jelas menyamakankan Allah dengan makhluk. Dan ketahuilah bahawa Musyabbihah dan Mujassimah adalah KAFIR.

    Oleh kerana golongan sesat ini menyebarkan aqidah sesat mereka kepada orang awam termasuk anak-anak orang islam.
    Maka wajiblah kepada kita orang islam yang beraqidah Ahli Sunnah Wal Jamaah tidak senyap dari mengawasi golongan sesat ini.

    Diceritakan bahawa tokey Wahhabi bernama Abdullah bin Hasan cucu kepada Muhammad Bin Abdul Wahhab banyak menyuarakan aqidah sesatnya di Makkah sejak sebelum 70 tahun lalu dengan mengatakan dalam keadaan dia turun dari tangga, katanya :
    “ Allahu Yanzil Kanuzuli Haza ” kata-kata kufur yang bermaksud : “ Allah turun seprtimana aku turun ini ”.

    Kenyataan kufur tersebut telah didengar oleh ramai para ulama termasuk Syeikh Ali Bin Abdul Rahman As-Somaly yang tinggal dan mengajar di Makkah.

    Maka tidak harus bagi kita umat islam senyap membisu tidak mengawasi orang islam dari ajaran sesat Wahhabi ini. Adakah mengingkari kemungkaran dianggap memecahbelahkan umat islam? Tidak sama sekali!.

    Mengkafirkan orang yang amat jelas kekafirannya bukanlah memecahbelahkan saf orang islam, bahkan ianya merupakan penjelasan kebenaran kerana bagaimana kita orang islam berkesedudukan dengan ajaran sesat Wahhabi yang mengkafirkan kita umat islam dan menghalalkan darah seluruh umat islam?!.

    PRINSIP WAHHABI

    Golongan Wahhabi menganggap sesiapa yang tidak menuruti aqidah mereka yang menjisimkan Allah dan menyamakan Allah dengan makhlukNya maka orang itu dikira kafir dan halal darahnya. Lihat sahaja prinsip utama Wahhabi tesebut seperti yang tertera dalam kitab utama mereka mengatakan :

    “ Bunuhlah ahli sufi yang soleh sebelum kamu membunuh yahudi dan majusi ”.

    Diantara Wahhabi yang menjelaskan prinsip utama wahhabi adalah “Sesiapa yang tidak mengatakan Allah Duduk dan tidak menuruti aqidah mereka yang menjisimkan Allah dan menyamakan Allah dengan makhlukNya maka orang itu dikira kafir dan halal darahnya ” yang menyatakan prinsip Wahhabi adalah sedemikian seorang ulama Wahhabi bernama Ali bin Muhammad bin Sinan seorang pengajar salah sebuah universiti di Madinah dan pengarang kitab Almajmuk Almufid Min Aqidah At-tauhid.

    ULAMA MAZHAB HAMBALI MENJELASKAN PERIHAL WAHHABI

    Mufti Mekah bernama Muhammad Bin Abdullah Bin Hamid Al-Hambali An-Najdi menyatakan didalam kitabnya berjudul As-Suhubul Wabilah ‘Ala Dhoroih Al-Hanabilah.

    Dalam kitab tersebut Mufti Mekkah menjelaskan latar belakang 800 orang para fuqoho’ dari mazhab Hambali. Diantara yang diceritakan oleh Mufti mengenai seorang alim mazhab Hambali bernama Abdul Wahhab Bin Sulaiman yang merupakan bapa kepada seorang pengasas ajaran sesat Wahhabi bernama Muhammad Bin Abdul Wahhab.

    Mufti menceritakan bahawa bapa Muhammad Bin Abdul Wahhab tidak meredhoi anaknya itu kerana pengasas Wahhabi itu mengkafirkan sesiapa sahaja yang tidak sependapat dengannya bahkan pengasas Wahhabi tersebut menghalal pembunuhan umat islam yang tidak mengikutnya. Sila lihat pada kitab tersebut dimukasurat 276 cetakan pertama di Riyadh.

    WAHHABI MEMBUNUH 3000 UMAT ISLAM DI JORDAN

    Telah berlaku satu peristiwa yang amat menyayathati umat islam pada 1920an iaitu pembunuhan Wahhabi terhadap umat islam di Timur Jordan. Disitu Wahhabi telah membunuh bukan 3 orang tetapi 3000 orang islam yang tidak mengikut mereka dengan menyembelih umat islam seperti kambing dalam pada penyembelihan itu Wahhabi mengatakan: “Ayuh kita bunuh kafir ini kerana tak ikut kita!”.
    Kisah pembunuhan Wahhabi terhadap 3000 umat islam di Timur Jordan ini tertera dikebanyakan perpustakaan di Jordan.

    WAHHABI : MUJASSIMAH
    (Mujassimah Adalah Golongan Kafir Disisi Seluruh Ulama Islam)

    Wahhabi adalah kaum Mujassimah yang menjisimkan Allah. Mujassimah adalah kafir kerana Imam Syafie rodhiyallahu ‘anhu menyatakan :
    “ Al-Mujassim Kafir ” kata-kata Imam Syafie itu bermaksud : “ Mujassim (Yang mengatakan Allah itu jisim seperti Wahhabi) adalah kafir ”.

    Kenyataan Imam Syafie yang mengkafirkan Mujassimah tersebut diriwayatkan oleh Imam Suyuti dalam kitabnya Al-Asbah Wa An-Nazoir mukasurat 488 cetakan Darul Kutub Ilmiah.

    Mari kita lihat kenyataan Imam Ahmad Bin Hambal dan para ulama mazhab Hambali yang mempersetujui kenyataan Imam Ahmad mengatakan :
    “ Man Qola Allahu Jismun Faqod Kafar Wakaza Man Qola Allahu Jismun La Kal Ajsam ” kenyataan Imam Ahmad bermaksud : “ Sesiapa yang mengatakan Allah berjisim maka dia telah kafir, begitu juga kafirlah yang mengatakan Allah itu berjisim tapi tak serupa dengan jisim-jisim ”. Lihat Sohibul Khisol diantara ulama mazhab Hambali yang masyhur.

    Seorang ulama mazhab Hambali terkenal bernama Muhammad Bin Badruddin Bin Balban Ad-Dimasyqi Al-Hambali dalam kitabnya berjudul Muktasor Al-Ifadat mukasurat 490 menyatakan :
    “ Allah tidak menyerupai sesuatu dan sesuatupun tidak menyerupai Allah, sesiapa menyamakan Allah dengan sesuatu maka dia KAFIR seperti mereka yang menyatakan Allah itu berjisim, begitu jugak kafir yang menyatakan Allah itu berjisim tapi tak seperti jisim-jisim ”.

    Begitu juga Imam Malik dan Imam Abu Hanifah jelas mengkafirkan golongan Mujassimah.
    Mari kita lihat apa yang telah dinukilkan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya berjudul Al-Minhaj Al-Qowim Syarh Muqaddimah Al-Hadhromiyah :
    “ Ketahuilah bahawa Al-Qorrofi dan selainnya telah menukilkan dari Imam Syafie, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah rodhiyallahu ‘anhum bahawa mereka semua mengkafirkan mujassimah ”.

    WAHHABI MENYEMBAH JISIM YANG BERBETIS

    Wahhabi adalah golongan yang amat malang. Ulama islam mengharap sangat sekiranya golongan Wahhabi ini diberikan pemahaman ayat Allah “Laisa Kamithilihi Syai” dalam surah As-Syura ayat 11 yang bermaksud “ Tiada sesuatupu menyerupaiNya”.
    Puluhan ulama Wahhabi menyebarkan perkara kufur dengan mengatakan :
    “ Allah meletakkan kakiNya yang berbetis kedalam api neraka kemudian mengatakan ada lagi ke? ”.
    Lihatlah betapa sesatnya mereka!

    WAHHABI MENGATAKAN : NABI MUHAMMAD ADALAH PATUNG BERHALA.

    Tidak cukup bagi Wahhabi mengkafirkan umat islam dan menghalalkan darah orang islam yang tidak mengikut mereka.

    Wahhabi sejak 8 tahun dimusim haji menyatakan prinsip mereka adalah ¾ orang islam sekarang adalah kafir dan halal darah mereka.Wahhabi juga mengatakan :
    “ Kami menjual tasbih ( yang dianggap bid’ah sesat oleh Wahhabi) hanya kepada orang musyrik di tanah haram ini ”. Sudah pasti ramai diantara kita membeli tasbih disana.

    Seorang ulama Wahhabi bernama Abu Bakar Al-Jajairy menyatakan dalam Masjid Nabawi di Madinah pada tahun 1993M dengan katanya : “Aku bersumpah bahawa islam tidak akan bangkit selagi patung berhala ini (sonam) tidak dikeluarkan dari masjid ini” sambil tangannya mengarah kepada maqam Nabi Muhammad.

    Apakah dosa Nabi Muhammad kepada ulama Wahhabi ini sehingga Wahhabi menamakan Nabi Muhammad itu sebagai berhala?!.

    PENUTUP UNTUK KALI INI.

    Sesetengah orang menganggap bahawa perbuatan menjelaskan kesesatan dan kekafiran Wahhabi ini adalah suatu yang memecahbelah saf umat islam.

    Saudara islam sekalian, ketahuilah! Sekiranya anda memahami betapa bahaya lagi sesatnya ajaran Wahhabi ini maka anda akan lebih sensitif kerana kejahatan dan kesesatan Wahhabi ini amat bahaya.

    Kepada yang mengatakan :bagaimana kita menyesatkan orng yang mengucap dua kalimah syahadah?!

    Ketahuilah! Walaupun seseorang itu mengucap dua kalimah syahadah tapi aqidahnya masih kafir lagi sesat dan dia tidak mengenal Tuhannya dengan mengatakan :
    “Allah itu berjisim” maka dia bukan islam.

    Imam Abu Hasan Al-Asya’ry menyatakan dalam kitabnya berjudul An-Nawadir :
    “ Al-Mujassim Jahil Birobbihi Fahuwa Kafirun Birobbihi” kenyataan Imam Abu Hasan Al-Asy’ary tersebut bermaksud :
    “ Mujassim ( yang mengatakan Allah itu berjisim) adalah jahil mengenai Tuhannya, maka dia dikira kafir dengan Tuhannya ”.

    Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (wafat 725) dalam kitab Najmul Muhtadi menukilkan dari Al-Qodi Husain bahawa Imam Syafie menyatakan :
    “ Sesiapa beranggapan Allah duduk diatas arasy maka dia KAFIR ”.

    Mari kita lihat pandangan ulama Hanafi.

    Syeikh Kamal Bin Al-Humam Al-Hanafi menyatakan dalam kitab mazhab Hanafi berjudul Fathul Qadir juzuk 1 mukasurat 403 pada Bab Al-Imamah :
    “ Sesiapa yang mengatakan Allah itu jisim ataupun Allah itu jisim tapi tak serupa dengan jisim-jisim maka dia telah KAFIR ( ini kerana jisim bukanlah sifat Allah )”.

    Maka Wahhabi adalah Mujassimah yang beranggapan bahawa Allah itu jisim duduk diatas arasy.
    Tidak harus bagi kita senyap dari mempertahankan aqidah islam dan menjelaskan kesesatan ajaran sesat!.

    Wassalam.
    Posted by JOMJAUHI WAHABI at 06:45

  65. 1.000 Dalil Bahwa Allah Di Langit, Di Atas Seluruh Makhluk Nya.

    Ulama Besar Syafi’iyah Menyatakan Ada 1000 Dalil

    Mengapa banyak yang mengaku sebagai Syafi’iyah malah jauh dari aqidah yang dipegang oleh ulama Syafi’iyah. Coba perhatikan nukilan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni berikut.

    قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ ” أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ

    “Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.”[1]

    Banyak yang mengaku Syafi’iyah namun menolak jika Allah dinyatakan berada di atas, padahal keyakinan ini didukung oleh 1000 dalil. Sungguh aneh!

    Bukti Terkuat dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi

    Selanjutnya kita akan melihat dalil-dalil yang kami olah dari penjelasan Ibnu Abil Izz Al Hanafi rahimahullah dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah.[2] Ibnu Abil Izz Al Hanafi rahimahullah mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas) menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini hampir mendekati 20 macam dalil”.[3] Ini baru macam dalil yang menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya, belum lagi jika tiap macam dalil tersebut kita jabarkan satu per satu. Jika macam dalil tersebut diperinci, boleh jadi mencapai 1000 dalil sebagaimana disebutkan oleh ulama Syafi’iyah di atas. Selanjutnya kami akan menyebutkan macam-macam dalil yang dimaksudkan Ibnu Abil Izz dan kami tambahkan dengan contoh dalil yang ada. Semoga hal ini semakin membuka hati blogger abusalafy yang masih meragukan hal ini.

    Pertama: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo dan diawali huruf min). Seperti firman Allah,

    يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ

    “Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka.” (QS. An Nahl : 50)

    Kedua: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo, tanpa diawali huruf min). Contohnya seperti firman Allah Ta’ala,

    وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ

    “Dan Dialah yang berkuasa berada di atas hamba-hambaNya.” (QS. Al An’am : 18, 61)

    Ketiga: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata ta’ruju). Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,

    تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ

    “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabbnya.” (QS. Al Ma’arij : 4)

    Keempat: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata sho’ada- yash’adu). Ini pasti menunjukkan bahwa Allah di atas sana dan tidak mungkin Dia berada di bawah sebagaimana makhluk-Nya. Seperti firman Allah Ta’ala,

    إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ

    “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Fathir: 10)

    Terdapat pula contoh dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    اِتَّقُوْا دَعْوَةَ المَظْلُوْمِ فَإِنَّهَا تَصْعُدُ إِلَى اللهِ كَأَنَّهَا شَرَارَةٌ

    “Berhati-hatilah terhadap do’a orang yang terzholimi. Do’anya akan naik (dihadapkan) pada Allah bagaikan percikan api.”[4] Yang dimaksud dengan ‘bagaikan percikan api’ adalah cepat sampainya (cepat terkabul) karena do’a ini adalah do’a orang yang dalam keadaan mendesak.[5]

    Kelima: Dalil tegas yang menyatakan sebagian makhluk diangkat kepada-Nya (dengan menggunakan kata rofa’a). Sesuatu yang diangkat kepada Allah pasti menunjukkan bahwa Allah berada di atas sana.

    Allah Ta’ala berfirman,

    بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ

    “Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya ..” (QS. An Nisa’ : 158)

    Juga firman Allah Ta’ala,

    إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ

    “(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku.” (QS. Ali Imron: 55)

    Keenam: Dalil tegas yang menyatakan ‘uluw (ketinggian) Allah secara mutlak. ‘Uluw (ketinggian) Allah ini mencakup ketinggian secara dzat (artinya Dzat Allah berada di atas), qodr (artinya Allah Maha Tinggi dalam Kehendak-Nya) , dan syarf (artinya Allah Maha Tinggi dalam sifat-sifat-Nya). Seperti firman Allah Ta’ala (pada ayat kursi),

    وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

    “Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah : 255)

    Begitu pula dalam ayat,

    وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

    “Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Saba’ : 23)

    إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

    “Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy Syura: 51)

    Juga kita sering mengucapkan dzikir berikut ketika sujud,

    سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

    “Maha suci Rabbku Yang Maha Tinggi.”[6]

    Dalil-dalil yang menyatakan Allah ‘Maha Tinggi’ di sini sudah termasuk menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi secara Dzat-Nya yaitu Allah berada di atas.

    Ketujuh: Dalil yang menyatakan Al Kitab (Al Qur’an) diturunkan dari sisi-Nya. Sesuatu yang diturunkan pasti dari atas ke bawah. Firman Allah Ta’ala yang menjelaskan hal ini,

    تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

    “Kitab (Al Qur’an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Az Zumar : 1)

    تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ

    “Diturunkan Kitab ini (Al Quran) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ghafir: 2)

    تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

    “Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat: 2)

    تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

    “Yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)

    قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ

    “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar.” (QS. An Nahl: 102)

    إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

    “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan : 3)

    Kedelapan: Dalil tegas yang mengkhususkan sebagian makhluk dikatakan berada di sisi Allah dan dalil yang menunjukkan sebagian makhluk lebih dekat dari yang lainnya. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,

    إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ

    “Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu.” (QS. Al A’rof: 206)

    Begitu pula contohnya dalam firman Allah Ta’ala,

    وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ

    “Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya” (QS. Al Anbiya’: 19). Lihatlah dalam ayat ini Allah membedakan kalimat “man lahu …” yang menunjukkan kepemilikan Allah secara umum dan kalimat “man ‘indahu …” yang menunjukkan malaikat dan hamba-Nya yang berada khusus di sisi-Nya.

    Contoh lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِى كِتَابِهِ ، فَهْوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِى غَلَبَتْ غَضَبِى

    “Ketika Allah menetapkan ketentuan bagi makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya: Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku. Kitab tersebut berada di sisi-Nya yang berada di atas ‘Arsy.”[7]

    Kesembilan: Dalil tegas yang menyatakan Allah fis sama’. Menurut Ahlus Sunnah, maksud fis sama’ di sini ada dua:

    Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas langit.
    Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw). Sehingga makna fis sama’ adalah di ketinggian.

    Dua makna di atas tidaklah bertentangan. Sehingga dari sini jangan dipahami bahwa makna “fis samaa’ (di langit)” adalah di dalam langit sebagaimana sangkaan sebagian orang. Makna “fis samaa’ ” adalah sebagaimana yang ditunjukkan di atas.

    Contoh dalil tersebut adalah firman Allah Ta’ala,

    أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

    “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al Mulk : 16)

    Juga terdapat dalam hadits,

    الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

    “Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Ar Rahman. Sayangilah penduduk bumi, niscaya (Rabb) yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.”[8]

    Kesepuluh: Dalil tegas yang menyatakan abhwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi. Contoh ayat tersebut adalah,

    الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

    “(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5)

    Kesebelas: Dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan ketika berdo’a. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا

    “Sesungguhnya Rabb kalian –Tabaroka wa Ta’ala- Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu pada hamba-Nya, jika hamba tersebut mengangkat tangannya kepada-Nya, lalu Allah mengembalikannya dalam keadaan hampa.”[9]

    Keduabelas: Dalil yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia di setiap malam. Semua orang sudah mengetahui bahwa turun adalah dari atas ke bawah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih,

    يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

    “Rabb kami –Tabaroka wa Ta’ala turun setiap malamnya ke langit dunia. Hingga ketika tersisa sepertiga malam terakhir, Allah berfirman, ‘Siapa saja yang berdo’a pada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya. Siapa saja yang meminta pada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Siapa saja yang memohon ampunan pada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya’.”[10]

    Ketigabelas: Isyarat dengan menunjuk ke langit yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim dalam hadits yang cukup panjang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika manusia berkumpul dengan jumlah yang amat banyak, di hari yang mulia dan di tempat yang mulia.

    قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

    Mereka yang hadir berkata, “Kami benar-benar bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menyampaikan nasehat.” Sambil beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke langit lalu beliau berkata pada manusia, “Ya Allah, saksikanlah (beliau menyebutnya tiga kali).”[11]

    Keempatbelas: Dalil yang menanyakan ‘aynallah’ (di mana Allah?).

    Contohnya dalil dari hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy dengan lafazh dari Muslim,

    “Saya memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah antara Uhud dan Al Jawaniyyah (daerah di dekat Uhud, utara Madinah, pen). Lalu pada suatu hari dia berbuat suatu kesalahan, dia pergi membawa seekor kambing. Saya adalah manusia, yang tentu juga bisa timbul marah. Lantas aku menamparnya, lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkara ini masih mengkhawatirkanku. Aku lantas berbicara pada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus membebaskan budakku ini?” “Bawa dia padaku,” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berujar. Kemudian aku segera membawanya menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budakku ini,

    أَيْنَ اللَّهُ

    “Di mana Allah?”

    Dia menjawab,

    فِى السَّمَاءِ

    “Di atas langit.”

    Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budakku menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

    “Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.”[12]

    Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di mana Allah, maka akan dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi dalam riwayat ini ada dua permasalahan: [1] Diperbolehkannya seseorang menanyakan, “Di manakah Allah?” dan [2] Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia telah menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [13]

    Kelimabelas: Dalil yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan orang yang menyatakan bahwa Rabbnya di atas langit dan beliau menyatakan orang tersebut beriman. Contohnya adalah sebagaimana hadits Jariyah yang disebutkan pada point keempatbelas.

    Keenambelas: Dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’ala berfirman,

    وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا

    “Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Al Mu’min: 36-37)

    Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka yang senyatanya pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” [14]

    Ketujuhbelas: Berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan bahwa beliau bolak-balik menemui Nabi Musa ‘alaihis salam dan Allah ketika peristiwa Isro’ Mi’roj. Ketika itu beliau meminta agar shalat menjadi diperingan. Beliau pun naik menghadap Allah dan balik kembali kepada Musa berulang kali.[15]

    Peristiwa Isro’ Mi’roj ini secara jelas menunjukkan Allah itu di atas.

    Kedelapanbelas: Berbagai macam dalil Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa penduduk surga melihat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk surga tersebut melihat Allah sebagaimana mereka melihat rembulan di malam purnama tanpa dihalangi oleh awan. Penduduk surga tersebut melihat Allah dan Allah berada di atas mereka.

    Demikian pemaparan mengenai macam-macam dalil yang mendukung Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya dan bukan di mana-mana sebagaimana klaim sebagian orang yang keliru dan salah paham.

    Mengkritisi Lagi AbuSalafy

    Setelah pemaparan berbagai dalil yang begitu banyak yang membuktikan bahwa Allah itu berada di atas seluruh makhluk-Nya, maka kami akan mengajukan beberapa kritikan lagi kepada abusalafy dalam tulisannya “Kritik Atas Akidah Ketuhanan ala Wahabi Salafy “. Intinya kesimpulan beliau adalah Allah ada tanpa tempat. Jadi, beliau menolak menyatakan Allah berada di atas langit dengan berbagai argumen yang ia kemukakan.

    Kritik pertama:

    Di antara argumen abusalafy, beliau menolak shahihnya hadits Jariyah yaitu hadits dari Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budaknya di manakah Allah, dengan alasan hadits tersebut mudhthorib, sehingga beliau katakan bahwa redaksi pertanyaan di manakah Allah bukan redaksi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ada tambahan dari perowi.

    Sebagai jawaban, walaupun kami memang perlu membahas tentang mudhthorib yang beliau tuduhkan, ringkasnya kami sanggah: Taruhlah jika hadits jariyah yang ditanya di manakah Allah itu lemah (dhoif), lantas bagaimana dengan dalil Al Qur’an dan Hadits Nabawi lainnya yang menyatakan secara tegas Allah di atas seluruh makhluk-Nya? Dalil-dalil ini mau diletakkan di mana? Ataukah mau ditakwil (diselewengkan maknanya) lagi? Jika ingin menyelewengkan makna dari berbagai dalil yang menyatakan Allah di atas, maka sudah cukup sanggahan kami dalam tulisan pertama sebagai sanggahan telak baginya. Silakan rujuk kembali dalamtulisan tersebut.

    Kritik kedua:

    Beliau –abusalafy- menyatakan sendiri, “Keyakinan bahwa Allah itu berada di langit adalah keyakinan Fir’aun yang telah dikecam habis Al Qur’an. Allah berfirman,

    .وَ قالَ فِرْعَوْنُ يا هامانُ ابْنِ لي صَرْحاً لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبابَ * أَسْبابَ السَّماواتِ فَأَطَّلِعَ إِلى إِلهِ مُوسى وَ إِنِّي لَأَظُنُّهُ كاذِباً وَ كَذلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَ صُدَّ عَنِ السَّبيلِ وَ ما كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلاَّ في تَبابٍ .

    “Dan berkatalah Firaun:” Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’un itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS.Ghafir/Al Mu’min: 36-37)”

    Ini tafsiran dari mana? Bukankah Fir’aun sendiri yang mengingkari keyakinan Nabi Musa yang menyatakan Allah berada di atas langit? Jadi Fir’aun yang sebenarnya mengingkari Allah di atas langit. Lantas dari mana dikatakan bahwa itu keyakinan Fir’aun? Sungguh ini tuduhan tanpa bukti. Beliau belum menunjukkan bukti sama sekali tentang tuduhannya tersebut. Beliau mungkin saja yang salah paham sehingga pemahamannya pun jauh dengan yang dipahami ulama besar semacam Ibnu Abil Izz Al Hanafi. Lihat sekali lagi perkataann Ibnu Abil Izz tentang ayat tersebut. Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka yang senyatanya pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” Dan Ibnu Abil Izz sebelumnya mengatakan, “Fir’aun itu mengingkari Musa yang mengabarkan bahwa Rabbnya berada di atas langit.”[16] Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni juga mengatakan,

    كَذَّبَ مُوسَى فِي قَوْلِهِ إنَّ اللَّهَ فَوْقَ السَّمَوَاتِ

    “Fir’aun mengingkari Musa, di mana Musa mengatakan bahwa Allah berada di atas langit.”[17]

    Dari sini silakan pembaca menilai siapakah sebenarnya yang jadi pengikut Fir’aun.

    Agar tidak terlalu panjang lebar dalam tulisan kedua ini, kami akan melanjutkannya dalam tulisan serial ketiga. Masih banyak syubhat-syubhat yang mesti disanggah yang nanti kami akan kupas dalam tulisan selanjutnya. Dalam serial ketiga, insya Allah kami akan membahas keyakinan para sahabat, ulama madzhab serta ulama besar lainnya yang semuanya mendukung bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.

    Semoga Allah mudahkan untuk pembahasan selanjutnya. Hanya Allah yang memberi taufik.

    Diselesaikan di tengah malam, di Panggang-Gunung Kidul, 27 Rabi’ul Awwal 1431 H (12/03/2010)

    Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)

    Artikel http://rumaysho.com

    [1] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/121, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H.

    [2] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil Izz Al Hanafi, Dita’liq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, 2/437-442, Muassasah Ar Risalah, cetakan kedua, tahun 1421 H.

    [3]Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/437.

    [4] HR. Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohihdalam Silsilah Ash Shohihah no. 871.

    [5] Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, Al Munawi, 1/184, Mawqi’ Ya’sub.

    [6] HR. Muslim no. 772.

    [7] HR. Bukhari no. 3194 dan Muslim no. 2751.

    [8] HR. Abu Daud no. 4941 dan At Tirmidzi no. 1924. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih

    [9] HR. Abu Daud no. 1488. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih

    [10] HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758

    [11] HR. Muslim no.1218.

    [12] HR. Ahmad [5/447], Malik dalam Al Muwatho’ [666], Muslim [537], Abu Daud [3282], An Nasa’i dalam Al Mujtaba’ [3/15], Ibnu Khuzaimah [178-180], Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah [1/215], Al Lalika’iy dalam Ushul Ahlis Sunnah [3/392], Adz Dzahabi dalam Al ‘Uluw [81]

    [13]Mukhtashor Al ‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H

    [14]Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.

    [15] Hadits Muttafaqun ‘alaih, riwayat Bukhari Muslim.

    [16] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.

    [17]Majmu’ Al Fatawa, 3/225.

  66. itu lah pemahaman wahabi,.mereka cuma ber iman setengah setengah,dengan hadis shahih yg satu di yakini,tapi dengan yg satunya lagi dia tidak menerima,.kalo seseorang mau menerima kebenaran! seharusnya mereka menerima semua hadis,. dan menelitinya…kayak nya mereka seperti pengikut kafir kitabi…sebab kafir kitabi yakni{ kaum nasrani } mereka percaya atau beriman dengan sebahagian kitab saja tapi tidak beriman dengan sebahagiannya lg.

  67. assalamualaikum,saya ini orang yg sedikit awam tentang islam,,cuma dulu saya pernah dengar dari ustad bahwa kenalilah dulu dirimu baru kau akan kenal dgn Tuhanmu,,,cuma itu yg selalu teringat sampek sekarang,,mohom bimbinganya ustad,,,makasih,,

  68. Aqidah Ulama Indonesia; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH (Mewaspadai Ajaran Wahhabi)
    Ummat Islam Indonesia berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, mengikuti aliran Asy’ariyyah dalam bidang akidah dan Madzhab Syafi’i dalam hukum fiqih. Berikut ini penegasan beberapa ulama Indonesia tentang akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah:
    1. Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani (W.1314 H/1897).
    Beliau menyatakan dalam Tafsirnya, at-Tafsir al Munir li Ma’alim at-Tanzil, jilid I, hlm.282 ketika menafsirkan ayat 54 surat al A’raf (7):
    ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
    Sebagai berikut:
    “وَالْوَاجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَقْطَعَ بِكَوْنِهِ تَعَالَى مُنَزَّهًا عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَةِ…”.
    “Dan kita wajib meyakini secara pasti bahwa Allah ta’ala maha suci dari tempat dan arah….”
    2. Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya al ‘Alawi. Beliau banyak mengarang buku-buku berbahasa Melayu yang hingga sekarang menjadi buku ajar di kalangan masyarakat betawi yang menjelaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti buku beliau Sifat Dua Puluh. Dalam karya beliau “az-Zahr al Basim fi Athwar Abi al Qasim”, hal.30, beliau mengatakan: “…Tuhan yang maha suci dari pada jihah (arah)…”.
    3. Syekh Muhammad Shaleh ibnu Umar as-Samaraniy yang dikenal dengan sebutan Kiai Shaleh Darat Semarang (W. 1321 H/sekitar tahun 1901). Beliau berkata dalam terjemah kitab al Hikam (dalam bahasa jawa), hlm.105, sebagai berikut:
    “…lan ora arah lan ora enggon lan ora mongso lan ora werna”
    Maknanya:”…dan (Allah Maha Suci) dari arah, tempat, masa dan warna”.
    4. K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang, Jawa Timur pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama’ (W. 7 Ramadlan 1366 H/25 Juni 1947). Beliau menyatakan dalam Muqaddimah Risalahnya yang berjudul: “at-Tanbihat al Wajibat” sebagai berikut:
    “وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ…”.
    Maknanya: “Dan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia maha suci dari berbentuk (berjisim), arah, zaman atau masa dan tempat…”.
    5. K.H.Muhammad Hasan al Genggongi al Kraksani, Probolinggo (W. 1955), Pendiri Pondok pesantren Zainul Hasan, Probolinggo, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya (Aqidah at-Tauhid), hlm.3 sebagai berikut:
    وُجُوْدُ رَبِّيْ اللهِ أَوَّلُ الصِّفَاتْ بِلاَ زَمَانٍ وَمَكَانٍ وَجِهَاتْ
    فَإِنَّهُ قَدْ كَـانَ قَبْلَ الأَزْمِـنَةْ وَسَائِرِ الْجِهَاتِ ثُمَّ الأَمْكِنَةْ
    “Adanya Tuhanku Allah adalah sifat-Nya yang pertama, (ada) tanpa masa, tempat dan (enam) arah. Karena Allah ada sebelum semua masa, semua arah dan semua tempat”.
    6. K.H.Raden Asnawi, Kampung Bandan-Kudus (W. 26 Desember 1959). Beliau menyatakan dalam risalahnya dalam bahasa Jawa “Jawab Soalipun Mu’taqad seket”, hlm.18, sebagai berikut:
    “…Jadi amat jelas sekali, bahwa Allah bukanlah (berupa) sifat benda (yakni sesuatu yang mengikut pada benda atau ‘aradl), Karenanya Dia tidak membutuhkan tempat (yakni Dia ada tanpa tempat), sehingga dengan demikian tetap bagi-Nya sifat Qiyamuhu bi nafsihi” (terjemahan dari bahasa jawa).
    7. K.H. Siradjuddin Abbas (W. 5 Agustus 1980/23 Ramadlan 1400 H). Beliau mengatakan dalam buku “Kumpulan Soal-Jawab Keagamaan”, hal. 25: “…karena Tuhan itu tidak bertempat di akhirat dan juga tidak di langit, maha suci Tuhan akan mempunyai tempat duduk, serupa manusia”.
    8. K.H. Djauhari Zawawi, Kencong, Jember (W.1415 H/20 Juli 1994), Pendiri Pondok Pesantren as-Sunniyah, Kencong, Jember, Jawa Timur. Beliau menyatakan dalam risalahnya yang berbahasa Jawa, sebagai berikut: “…lan mboten dipun wengku dining panggenan…”, maknanya: “…Dan (Allah) tidak diliputi oleh tempat…” (Lihat Risalah: Tauhid al-‘Arif fi Ilmi at-Tauhid, hlm.3).
    9. K.H. Choer Affandi (W.1996), pendiri P.P. Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Beliau menyatakan dalam risalahnya dengan bahasa Sunda yang berjudul “Pengajaran ‘Aqaid al Iman”, hal. 6-7 yang maknanya: ”(Sifat wajib) yang kelima bagi Allah adalah Qiyamuhu binafsihi – Allah ada dengan Dzat-Nya, Tidak membutuhkan tempat – Dan juga tidak membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Dalil yang menunjukkan atas sifat Qiyamuhu binafsihi, seandainya Allah membutuhkan tempat –Niscaya Allah merupakan sifat benda (‘aradl), Padahal yang demikian itu merupakan hal yang mustahil –Dan seandainya Allah membutuhkan kepada yang menciptakan-Nya, Niscaya Allah ta’ala (bersifat) baru -Padahal yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil (bagi Allah)”.

  69. perdebatan yg isi materinya tak terlalu penting,sifatnya pun masih khilafiyah….jd tidak menggambarkan sama sekali esensi kebenaran dari hasil debat tersebut….

  70. Penjelasan secara sains bahwa Allah ada tanpa tempat dan waktu.

    Langit merupakan gambaran/informasi masa lalu yang baru sampai ke permukaan bumi sebagai akibat jarak yang sangat jauh. Misalnya ketika Anda sedang melihat matahari, maka yang Anda sedang lihat sejatinya adalah keadaan atau masa lalu matahari yaitu 8 menit yang lalu. Hal ini dikarenakan, gelombang cahaya dari matahari merambat menuju bumi yang kemudian masuk ke mata Anda membutuhkan waktu sekitar 8 menit untuk melakukan perjalan. Hal ini berlaku untuk SELURUH BENDA DI LANGIT relatif sesuai jaraknya dari bumi (pengamat).

    Nah, itulah makanya dalam memahami awal mula terjadinya alam semesta, para astronom dan astrofisikawan melakukannya dengan cara mengamati langit. Hingga akhirnya alam semesta diketahui memiliki permulaan. Pada awal permulaan inilah ruang/tempat, waktu dan arah tercipta.

    Bila di modelkan atau digambarkan, di atas langit yang sangat jauuuuhhhhh ini ada semacam “dinding” dimana “dinding” ini merupakan batas awal dari alam semesta. Nah, di belakang “dinding” adalah KETIADAAN. Jadi Ketiadaan bisa dimaknai sebagai keadaan dimana ruang dan waktu beserta materi di dalamnya belum ada. Dan Allah ada sebelum semua ini terjadi/tercipta.

    Makanya ketika orang bertanya, “Dimana Allah??”
    Kemudian dijawab, “Allah ada di atas langit”.

    Itu adalah BENAR, tetapi maksud dari kalimat “di atas langit” adalah KETIADAAN sehingga tidak boleh dimaknai secara tekstual sebagai langit yang saat ini.

    Kata KETIADAAN adalah istilah yang digunakan oleh ilmuwan saat ini dimana memiliki makna sama dengan kata TIDAK BERTEMPAT DAN TIDAK BERWAKTU yang lebih dulu digunakan oleh ulama jaman dulu. Karena pada ketiadaan,,,,,,,waktu dan tempat belum tercipta.

  71. Kalau ada yang mengatakan Allah bersemayam di ‘Arsy, saya beritahukan bahwa pendapat tersebut sama persis dengan yang tertulis di Kitab Kejadian – Bible milik Nasrani. Berhati-hatilah saudara-saudaraku. Allah itu tidak memerlukan tempat dan waktu, tidak dipersamakan dengan makhluk. Dzat yang Maha Agung dan Tinggi, Ayat-ayat Muhkamat di dalam Al Quran sudah jelas: Allah Ahad. Ayat2x Mustasyabihat banyak yang diselewengkan dengan pendapat-pendapat manusia yang penuh dengan ke-dhoifan, meskipun dengan gelar Imam dan sebagainya, mereka tidak ma’shum. Kita hormati pendapatnya tetapi kembalikan segalanya kepada Al Quran.

  72. Kalau ALLAH tidak bersemayam di atas langit, pertanyaan nya ialah : 1. Kenapa kita Umat Islam kalau berdo’a menghadapkan tangan kita ke atas langit. 2. Kenapa pula Rosullullah SAW harus mikrat ke langit ke tujuh untuk menerima perintah Sholat

    • Allah Swt Maha Suci dari arah dan tempat. Sebab tempat dan arah adalah makhluk. Kalau kita memaksakan sifat Allah HARUSLAH bertempat, maka dimana Allah sebelum Ia menciptakan ‘arsy atau langit? Kalau kita mengatakan Allah tidak dimana-mana, lalu ketika Ia menciptakan ‘arsy atau langit, Ia PINDAH dan MENETAP ke langit. Maka berarti kita menetapkan sifat BERUBAH bagi Allah. Dan ini mustahil. BERUBAH atau BERPINDAH adalah sifat makhluk, Allah itu bersifat BAQO’, artinya TETAP, KEKAL, dan TAK BERUBAH-RUBAH. Hmm…kalau begitu mengapa kita kaum muslimin berdoa dianjurkan untuk mengangkat tangan ke atas? Begini saudaraku, langit itu adalah KIBLAT DOA, jangan diartikan sebagai TEMPAT ALLAH. Sama seperti shalat yang harus menghadap Ka’bah. Apakah ini artinya Ka’bah itu tempat Allah? Tidak. Tapi Ka’bah adalah KIBLAT SHOLAT. Lalu mengapa baginda Nabi harus mi’raj sampai langit ke 7 untuk menerima perintah shalat? Jawabannya adalah karena langit itu adalah simbol ketinggian dan keagungan. Shalat adalah tiang agama, sehingga pewahyuannya pun dilakukan di tempat yang begitu tinggi dan agung. Oleh karena itulah ancaman bagi yang meniggalkan shalat pun luar biasa. Jadi jangan diartikan kalau mi’raj nya Nabi itu adalah ke tempat Allah. Kan konteks riwayatnya adalah setelah sampai di Sidratul muntaha, Nabi bersujud KEPADA Allah, bukan sujud DIHADAPAN Allah. Ini adalah dua hal yang sangat berbeda. Saat kita sujud di bumi, asalkan ikhlas in Sya Allah itu pun sujud KEPADA Allah. Wallahu a’lam

  73. mau tanya yg berkeyakinan allah bersemayam d atas arsy apkah cuma salafy?? gak ad gitu kelompok lain yg demikian sama brkeyakinan allah di atas arsy dengan salafy??? kalau beda dikit pasti d cela salafy wahaby

  74. KHUSUS UNTUK SALAFY SINGKRONKAN SEMUA PENJELASAN DALIL DI ATAS TETAPI INGAT!!! JANGAN SEKALI-KALI MENTAKWIL, MENGURANGI,MENAMBAH MENGAKALI ATAU MENGALIHKAN KABAR YANG SUDAH ADA.

    1. Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy ..(QS. Al-Araf : 54)
    2. Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.
    (QS. Yunus : 3)
    3. Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy .(QS. Thaha : 5)

    Ayat di atas menjelaskan allah berada di atas arsy

    1. Hadist
    Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia setiap sepertiga malam akhir. Ia lalu berkata: ‘Barangsiapa yang berdoa, akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni. Hingga terbit fajar‘ ”
    (HR. Bukhari 1145, Muslim 758)
    Hadist di atas Allah turun ke langit bumi bukan berarti Arsy kosong turunnya allah tidak sampai kebumi

    1. Dari Anas bin Malik -radhiallahu anhu- dia berkata“Jika seseorang dari kalian berdiri shalat maka sesungguhnya dia sedang berhadapan dengan Rabbnya, atau sesungguhnya Rabbnya berada antara dia dan kiblat. Maka janganlah dia meludah ke arah kiblat, tetapi hendaknya dia membuang dahaknya ke arah kirinya atau di bawah kedua kakinya.”.”
    (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no. 550)

    2. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : “Apabila salah seorang di antara kalian shalat, janganlah meludah ke arah depan karena Allah berada di hadapannya ketika seseorang sedang shalat”
    (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 406, Muslim no. 547, An-Nasaa’iy No. 724, dan yang lainnya).

    Ingat !!! Kedua hadist di atas tidak ada kabar atau penjelasan bahwa allah berada di atas Arsy tetapi Allah berada di Hadapannya
    1. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah 115)

    Ayat di atas menjelas hanya menjelaskan Timur dan Barat saja TIDAK ada kabar keterangan Selatan,Utara,Atas,Bawah Atau Di Atas Arsy
    kemudian kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah,

  75. Siapalah aku untuk mngetahui dimana Allah berada cukup lah bagi ku Allah tiada tuhan yang berhak disembah melaikan Allah dan nabi Muhammad S.a.w adalah utusan Allah..terlalu byak dalil yg kalian keluarkan tp masing2 nak membetul kn yang iya katakan tp kita lupa ini semua bkn bahan untuk kita bersaing.nabi Muhammad S.a.w bersabda Sesiapa berucap Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan nabi Muhammad s.a.w itu utusan Allah maka dia seorg mukmin..kita manusia biasa berdiri bulu roma ku bila kita saling berhujah keberadaan Allah sdangkan kita xpnya ilmu sdkit pn..Ckup lah Allah tuhan ku nabi Muhammad s.a.w penghuluku Alquran kitab ku islam agama ku dan orang mukmin saudara ku..

  76. Kemudian dari pada itu, kita katakan pula kepada mereka untuk membantah pendapat mereka yang telah mengatakan bahwa Allah berada di arah atas; atau berada di arsy; ”Seseorang yang dalam posisi berdiri, apakah dari segi jarak posisi kepalanya lebih dekat kepada arsy dibanding seorang yang sedang dalam posisi sujud?” Mereka pasti menjawab bahwa yang dalam posisi berdiri lebih dekat kepada arsy. Lalu kita katakan kepada mereka: ”Kalian telah menjadikan arsy sebagai tempat bagi Allah, padahal ada hadits Rasulullah yang menolak pemahaman sesat kalian ini; adalah riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah bersabda:

    أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فأكْثِرُوا الدّعَاء (رَوَاه مُسْلِمٌ)

    ”Seorang hamba yang paling ”dekat” kepada Allah adalah saat dia dalam posisi sujud, maka hendaklah kalian memperbanyak doa (pada posisi tersebut)” (HR. Muslim).

  77. Benar, maka benarlah Al Qur’an telah menjelaskan Firman Allah “WAHUWA MAAKUM AINAMA KUNTUM (DIA BERSAMA KAMU WALAUPUN DIMANA KAMU BERADA) “. Wahai orang yang beriman..!!! Seandainya tidak benar, maka tidak benarlah bagi orang yang tidak beriman..!!!

  78. Dalam Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah ada istilah zaman Azali, yaitu zaman ketika alam (makhluk) belum diciptakan, termasuk makhluk adalah waktu dan tempat, baik di alam lahiriah (nyata) maupun alam ghaib. Hanya Allah yang wujud, belum ada makhluk yang wujud. Maka Allah tidak berada di dalam dan di luar makhlukNya, Allah tidak pula melebur dan terpisah dari makhlukNya.
    Maka ketika dan setelah Allah menciptakan makhlukNya, Allah tetap keadaannya sebagaimana sebelum ada ciptaan Allah. Allah sama sekali tidak memerlukan makhlukNya dan sama sekali tidak terbebani dengan menciptakan dan memelihara seluruh mahklukNya.

    Mengapa Ilmu Mantiq diperlukan untuk memahami Aqidah

  79. ya ALLAH, yg ngakunya Ahlus Sunnah atau yg ngakunya salafy sama saja, sama-sama mengkafirkan satu sama lain !!!! debat teruss ngak ada ujungnya, kelakuan kalian semua ini cuma ngancurin Islam itu sendiri tau ngak, berapa orang yg semangat belajar tapi tidak jadi belajar karena masalah seperti yg sering diperdebatkan

  80. As Saffat ayat 99 diterjemah sepatutnya “Dan berkata Ibrahim sesungguhnya saya akan pergi kepada Tuhanku (kepada tempat yg telah diperintah oleh Tuhan Ku) dan Dia akan memandu aku

    Terjemahan kamu jelas salah dan menyimpang.

  81. Ping-balik: Kebersamaan Allah dengan hambaNya dan Kepergian Ibrahim menuju Rabbnya, bukanlah penafiat terhadap Keberadaan Allah Di Atas ArsyNya – TUK PARA PECINTA SUNNAH

  82. Ping-balik: Kebersamaan Allah dengan hambaNya dan Kepergian Ibrahim menuju Rabbnya, bukanlah penafian terhadap Keberadaan Allah Di Atas ArsyNya – TUK PARA PECINTA SUNNAH

  83. Ping-balik: Apakah Hadits Rabbahu Bainahu Wa Baina Qiblatihi, menggugurkan Keberadaan Allah Di Atas ArsyNya – TUK PARA PECINTA SUNNAH

  84. Ping-balik: Allah Dia Atas Arsy adalah Konsensus Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, bahkan oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ary sendiri – TUK PARA PECINTA SUNNAH

  85. kenapa butuh takwil karena dalam alquran secara zahirnya terdapat ayat ayat yang bertentangan yang mengatakan allah di langit dan mengatakan kalau allah itu ada dibumi, agar ayal alquran itu tidak bertentangan maka dibutuhkanlah takwil, tapi saudara kita gak mau mentakwil ayat yang mengatakan allah berada di langit tapi mentakwil ayat yang mengatakan allah ada dibumi.katanya anti takwil tapi mentakwil ayat yang mengatakan allah ada dibumi, kalau mau mentakwil, takwil aja semuanya. kalau gak mau takwil jangan ditakwil juga ayat alquran yang menyatakan allah dibumi.kayaknya saudara kita ini maunya setengah setengah dan membuang setengahnya lagi.

  86. Bagaimana caranya agar saya bisa Ada di atas, ada dimana saja, dan dekat sekaligus dalam waktu bersamaan??
    Seandainya saja saya dengan izin Allah dibesarkan sehingga bumi bagi saya Hanya sebesar kelereng. Lalu saya tutup bumi ini dengan kedua tangan. Sehingga bila manusia di seluruh dunia melihat ke atas, hanya tangan saya yang dilihat. Berarti saya membuktikan bahwa saya bisa berada di atas dan dimana saja manusia berada. Juga saya buktikan bahwa jarak saya dan bumi sangat dekat, karena bumi ada dalam genggaman saya, artinya seluruh manusia ada bersama saya. Meskipun bagi manusia dibumi saya sangat jauh, karena bisa butuh tahunan bagi mereka untuk terbang ke ujung kuku saya.
    Maaf cuma berbagi pandangan saja, bila Allah berkehendak, jadi maka jadilah.

  87. إِنَّا للهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

    Ya Syeikh.. Padam lah maklumat hawa nafsu antum ini.. Syeikh muslim wajib beriman kepada Al-Quran.. Bukan menolak ayat dalam Al-Quran. Ada 7 Ayayt yang mengatakan Allah Subhanahu wa Taala di atas langit.. Yang mengatakan bukan kami.. Tapi Al-Quran.. Semoga antum diberi petunjuk dan hidayah untuk bertaubat Syeikh.. SEMOGA ALLAH MEMBERKAHI MU.. Semoga antum x termasuk dikalangan mereka yang diceritakan diawal surah Al-Baqarah ayat 6.. Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya .. Allah akan pahamkan dia dalam agama..

    أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

    بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

    ‎الم
    Alif, Laam, Miim

    ‎ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
    Kitab Al-Quran ini, tidak ada sebarang syak padanya (tentang datangnya dari Allah dan tentang sempurnanya); ia pula menjadi petunjuk bagi orang-orang yang (hendak) bertaqwa;

    ‎الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
    Iaitu orang-orang yang beriman kepada perkara-perkara yang ghaib, dan mendirikan (mengerjakan) sembahyang serta membelanjakan (mendermakan) sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.

    ‎وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
    Dan juga orang-orang yang beriman kepada Kitab “Al-Quran” yang diturunkan kepadamu (Wahai Muhammad), dan Kitab-kitab yang diturunkan dahulu daripadamu, serta mereka yakin akan (adanya) hari akhirat (dengan sepenuhnya).

    ‎أُولَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
    Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang berjaya.

    ‎إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
    Sesungguhnya orang-orang kafir (yang tidak akan beriman), sama sahaja kepada mereka: sama ada engkau beri amaran kepadanya atau engkau tidak beri amaran, mereka tidak akan beriman

    ( Al-Baqarah = Ayat 1 – 6 )

  88. Bismillaahirrahmaanirrahiim

    Assalaamu’alaikum

    In syaa ALLAH, ana yg faqir ilmu ini mw nanya sama antum smw, baik yg pro atau pun kontra thd artikel ini

    1. Klo misal ada yg nanya ke antum, apa yg pasti bakal tjd besok?
    2. Klo misal ada yg nyuruh antum debat ttg bgmn taqdir yg pasti akan dialami si fulan (misal fulan itu adlh saya)
    3. Ato misal ada yg nyuruh antum debat ttg apa yg saat ini bnr2 terlintas di hati fulan

    Mau kah antum memenuhi permintaan2 tsb???

    In syaa ALLAH, lebih dari 100% sya yakin BAHWA ANTUM SMW TIDAK AKAN MAU melakukannya,bahkan akan memarahi dan menyalahkan si org yg meminta anda melakukan hal tsb

    Knp?

    Maa Syaa ALLAH, simpe jawabnya, krn itu adalah perkara ghoib. Hanya Gusti ALLAH yang mengetahui

    Sikap qt adalah mengimani hal ghoib tsb tanpa mencari2 tw ttg nya, namun menyikapinya dgn Iman sepenuh hati bahwa taqdir itu ada, dan smw hal ghoib itu adalah sepenuhnya hanya Gusti ALLAH Yang Mengetahuinya

    • Nah klo utk hal2 ghoib selaon Dzat ALLAH saja antum dan qt smw sebegitunya sepakat utk tdk memperdebatkannya, krn hanya Gusti ALLAH saja lah memang yg mengetahui lantas knp koq antum dgn mudahnya, dgn ringannya, dgn tanpa beban sedikit pun, berani berdebat mengenai hal yg PALING GHOIB di alam semesta ini, yakni Baginda Gusti ALLAH???

      Ingat, Dzat Baginda Gusti ALLAH ‘AZZA WA JALLA adalah hal dan Dzat Yang PALING GHOIB di seluruh alam semesta ini

      Saking GHOIB Nya, sampai2 Tuanku Yang Mulia Rasulullaah saja TIDAK PERNAH MELIHAT ZAT ALLAH. Hal sama juga dialami pemimpin para Malaikat Suci dan Mulia ‘Alaihimus Sholaatu wa Sallam, yakni Tuanku Yang Mulia Malaikat Jibril ‘Alaihis Sholaatu wa Sallam saja SAMA SEKALI TIDAK PERNAH MELIHAT DZAT GUSTI ALLAH. Ingat kan saat Isra’ Mi’raj, Tuanku Malaikat Jibril ‘Alaihis Sholaatu wa Sallam -Qadarallaah- tdk diberi ALLAH kemampuan utk masuk dan naik sidratul muntaha???

  89. Tolong ini direnungkan
    Bgmn bs qt manusia biasa, bukan Malaikat, bukan Nabi, bukan Rasul, koq dgn berani2nya (bahkan klo boleh tgas, saya katakan “koq lancang2ny”) memperdebatkan dan adu argumentasi ttg sesuatu yg bahkan pemimpin seluruh manusia sekaligus manusia paling mulia sepanjang masa, sekaligus pemimpin semua Nabi dan Rasul ‘Alaihimus Sholaatu wa Sallam saja tidak diberi tahu oleh Gusti ALLAH

    Dan pemimpin para Malaikat juga tdk diberi tahu Gusti ALLAH ttg Dzat Gusti ALLAH

    Oleh krn itu, Biidznillaahi Ta’ala, sangat tepat jika para ulama menyimpulkan bhw qt wajib mengimami sifat2 ALLAH dalam AL QUR’ANUL KARIM dan Hadits tanpa takyif, tamtsil, tahrif dll

Tinggalkan Balasan ke azzam Batalkan balasan