Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 16


PERANTARA SYIRIK

Banyak orang keliru dalam memahami esensi perantara (wasithah). Mereka memvonis dengan gegabah bahwa perantara adalah tindakan musyrik dan menganggap bahwa siapapun yang menggunakan perantara dengan cara apapun telah menyekutukan Allah Subhaanahu wa ta’aala dan sikapnya sama dengan sikap orang-orang musyrik yang mengatakan:

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. az-Zumar:3) 

Kesimpulan ini jelas salah dan berargumentasi dengan ayat di atas adalah bukan pada tempatnya. Karena ayat tersebut jelas menunjukkan pengingkaran terhadap orang musyrik menyangkut penyembahan mereka terhadap berhala dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah Subhaanahu wa ta’aala serta menjadikan berhala sebagai sekutu dalam ketuhanan dengan anggapan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala mendekatkan mereka kepada Allah Subhaanahu wa ta’aala.

Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum musyrikin adalah dari aspek penyembahan mereka terhadap berhala dan dari aspek keyakinan mereka bahwa berhala adalah tuhan-tuhan di luar Allah Subhaanahu wa ta’aala.

Di sini ada masalah yang urgen untuk dijelaskan, yaitu bahwa ayat di atas menyatakan bahwa kaum musyrikin, sesuai yang digambarkan Allah Subhaanahu Wa ta’aala, tidak meyakini dengan serius ucapan mereka yang membenarkan penyembahan berhala: [Kami tidak menyembah mereka kecuali semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah]. Jika ucapan kaum musyrikin tersebut sungguh-sungguh niscaya Allah Subhaanahu wa ta’aala lebih agung daripada berhala-berhala tersebut dan mereka tidak akan menyembah selainNya, dan Allah telah melarang kaum muslimin untuk memaki berhala-berhala kaum musyrikin, lewat firmanNya:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An’am: 108)

Abdurrazzaq, Abd ibn Hamid, Ibn Jarir, Ibnu  al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Abu asy-Syaikh meriwayatkan dari Qatadah bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berkata: “Awalnya Kaum muslimin memaki berhala-berhala orang kafir. Akhirnya mereka memaki Allah. Lalu turunlah ayat 108 surat al-An’am di atas. Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. Berarti ayat tersebut melarang dengan keras kaum mu’minin untuk melontarkan kalimat yang bernada merendahkan terhadap batu-batu yang disembah oleh kaum penyembah berhala di Makkah.

Karena melontarkan kalimat seperti itu mengakibatkan kemurkaan kaum penyembah berhala karena membela bebatuan yang mereka yakini dari lubuk hati paling dalam sebagai tuhan yang memberi manfaat dan menolak bahaya. Jika mereka emosi maka akan balik memaki Tuhan kaum muslimin, Allah Subhaanah wa ta’aala dan melecehkanNya dengan berbagai kekurangan padahal Dia bebas dari segala kekurangan. Jika mereka meyakini dengan sebenarnya bahwa penyembahan kepada berhala sekedar untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhaanah wa ta’aala niscaya mereka tidak akan berani memaki Allah Subhaanah wa ta’aala untuk membalas orang yang memaki tuhan-tuhan mereka. Fakta ini menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaaan Allah Subhaanahu wa ta’aala dalam hati mereka jauh lebih sedikit dari pada keberadaaan bebatuan yang disembah.

Ayat lain yang menunjukkan ketidakjujuran orang kafir adalah

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Katakanlah : “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Luqman:25)

Bila orang-orang kafir meyakini dengan jujur bahwa hanya Allah Subhanahu wa ta’aala Sang Pencipta dan bahwa berhala-berhala itu tidak mampu menciptakan apa-apa niscaya mereka akan menyembah Allah Subhanahu wa ta’aala semata, tidak menyembah berhala atau minimal penghormatan mereka terhadap Allah Subhanahu wa ta’aala melebihi penghormatan kepada patung-patung dari batu tersebut. Apakah jawaban mereka dalam ayat ini relevan dengan makian mereka terhadap Allah Subhanahu wa ta’aala sebagai bentuk pembelaan terhadap berhala-berhala mereka dan pelampiasan dendam terhadap Allah Subhanahu wa ta’aala? Secara spontan kita akan menjawab sampai kapanpun hal ini tidak relevan. Ayat di atas bukanlah satu-satunya ayat yang menunjukkan bahwa di mata mereka Allah Subhanahu wa ta’aala lebih rendah dari patung-patung yang mereka sembah.

Banyak ayat senada seperti :

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (QS. al-An`am:136)

Seandainya di mata mereka Allah Subhanahu wa ta’aala tidak lebih rendah dibanding patung-patung tersebut maka mereka tidak akan mengunggulkannya dalam bentuk seperti yang diceritakan ayat ini dan tidak layak mendapat vonis “ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

Salah satu ungkapan yang masuk kategori di atas adalah perkataan Abu Sufyan sebelum masuk Islam, “Mulialah engkau wahai Hubal!” sebagaimana riwayat al-Bukhari. Pujian ini dialamatkan kepada berhala mereka yang bernama Hubal agar dalam kondisi kritis mampu mengatasi Allah Tuhan langit dan bumi serta agar ia dan pasukannya mampu mengalahkan tentara mukmin yang hendak menghancurkan berhala-berhala mereka. Ini adalah gambaran dari sikap orang musyrik menyangkut berhala dan Allah Subhaanahu wa ta’aala.

Insya’ Alloh bersambung.

Semoga bermanfaat.

2 thoughts on “Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 16

  1. disitulah kesalahan org musyrik, mereka mengakui yg mencipta alam Alloh, tp msh menyembah yg lain…krnnya di sebut musyrik, org yg menyekuutukan

Tinggalkan komentar