Peringatan Isra’ dan Mi’raj di Mata Ulama Wahabi


Mayoritas umat Islam di dunia, memperingati Isra’ dan Mi’raj setiap tanggal 27 Rajab, kadang sebelumnya dan kadang sesudahnya. Dalam acara Isra’ dan Mi’raj biasanya seorang ulama dan ustadz membicarakan tentang peristiwa tersebut serta sekian banyak pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa agung itu. Akhir-akhir ini telah beredar fatwa beberapa ulama Wahabi, seperti fatwa Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lain, yang isinya mengharamkan peringatan acara Isra’ dan Mi’raj.

Berikut fatwa Syaikh Utsaimin yang perlu kita tanggapi:
“Isro’ dan Mi’roj, adakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau merayakannya?!

Syaikh Utsaimin mengatakan:

Adapun malam 27 Rajab, memang orang-orang menganggap bahwa itu malam diangkatnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menghadap Allah azza wajall. Namun data ini tidak valid secara historis, dan semua yang tidak valid itu batil, dan apapun yang dibangun di atas kebatilan adalah batil.” Baca lebih lanjut

Madzhab al-Asy’ari dan Madzhab Fiqih yang Empat


Madzhab al-Asy’ari dan Madzhab Fiqih yang Empat

Dalam bidang fiqih dan amaliah, Ahlussunnah wal jama’ah mengikuti pola bermadzhab dengan mengikuti salah satu madzhab fiqh yang dideklarasikan oleh para ulama yang mencapai tingkatan mujtahid mutlaq. Beberapa madzhab fiqh yang sempat eksis dan diikuti oleh kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah ialah madzhab Hanafi. Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, ibn Jarir, Dawud al-Zhahiri, al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, Abu Tsaur dan lain-lain. Namun kemudian dalam perjalanan panjang sejarah Islam, sebagian besar madzhab-madzhab tersebut tersisih dalam kompetisi sejarah dan kehilangan pengikut, kecuali empat madzhab yang tetap eksis dan berkembang hingga dewasa ini. Pengikut empat madzhab tersebut, diakui sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Baca lebih lanjut

Sifat Sholat Nabi Shollallaah ‘alaih Wa Sallam – Takbiratul Ihrom


Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

Sifat Sholat Nabi Shollallaah 'alaih Wa SallamManakala memulai shalat, Rasulullah Shollallaah ‘alaih Wa Sallam bertakbiratul ihram usai niat, karena hadits, “Sesungguhnya amal tergantung niat…”

Dari Ibnu Umar RA, ia bercerita: “Ketika berdiri untuk shalat, Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya hingga lurus dengan kedua bahunya lalu beliau bertakbir…”. (HR. Muslim [1:292 no.22])

Dari Abu Hurairah RA, ucapnya: “Tatkala berdiri akan shalat, Rasulullah SAW bertakbir ketika berdiri…”. (HR. Muslim [1:296 no.23])

Aisyah RA menuturkan bahwa Rasulullah SAW membuka shalat dengan takbir dan membaca al-hamdulillahirabbil ‘alamiin…” (HR. Muslim [1:357) Dari Ali RA, ia mengatakan, “Rasulullah SAW telah bersabda:

“Pembuka shalat adalah wudhu, yang mengharamkannya (dari pekerjaan lain) adalah takbir (takbiratul ihram) sedang yang menghalalkannya (menqerjakan selain pekerjaan shalat) adalah salam”. (HR. At-Tirmidzi [1:8 no.3] dari hadits Ali dan [2:3 no.238] dari hadits Abu Sa’id)

Al-Hafizh An-Nawawi dalam Syarah Al-Muhadzdzab [3:289] berkata, “Wudhu dinamakan dengan pembuka shalat karena hadats itu penghalang shalat seperti gembok bagi pintu, menjadi penghalang masuk. la butuh pembuka. Ucapan Nabi ‘Yang mengharamkannya adalah takbir”. A-Azhari berkata bahwa asal tahrim (pengharaman) adalah mencegah. Setiap yang dicegah/dilarang adalah haram. Takbir disebut dengan yang mengharamkan shalat karena dengannya orang yang shalat tercegah (dlharamkan) dari bicara, makan dan sejenisnya.  Baca lebih lanjut

[Debat Ahlussunnah Wal Jama’ah vs Wahhabi] – Masalah Tradisi Talqin Mayyit


Buku Pintar Bedebat dengan Wahabi

Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

Di kalangan masyarakat kita, ketika ada orang meninggal dunia, dan dimakamkan, maka dibacakan talqin, yaitu sebuah tuntunan kepada si mayit agar mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Tradisi ini berlaku hampir di seluruh negara Islam yang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ada dialog menarik seputar talqin ini, yang diceritakan oleh teman saya, Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan. Ia bercerita begini:

Sekitar bulan Maret 2010 ada seorang mahasiswa IAIN Sumatera Utara yang kos di salah satu sudut kota Medan. Tiap malam rabu ia belajar mengaji bersama kami didaerah Sunggal. Waktu itu kitab yang dibaca adalah kitab al-Tahdzib fi Adillat al-Ghayah wa al-Taqrib, karya Musthafa Dibul Bugha. Mahasiswa ini sangat resah dengan keberadaan ponakannya yang belajar di Pondok As-Sunnah, sebuah pesantren yang diasuh oleh orang orang Wahhabi. Sepertinya anak itu telah termakan racun ajaran Salafi. Mahasiswa itu berjanji membawa keponakannya ke Majelis Ta’lim kami di Sunggal. Pada malam yang ditentukan datanglah mereka, bersama keponakannya itu, sebut saja dengan inisial X.  Baca lebih lanjut