Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 25


DALIL-DALIL YANG DIGUNAKAN OLEH KAUM MUSLIMIN DI DALAM BERTAWASSUL

Firman Allah Ta’aala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah Ta’aala sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah Ta’aala dan sebagai media untuk mencapai kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan. Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 24


PENGERTIAN TAWASSUL

Banyak orang yang keliru di dalam memahami substansi tawassul. Oleh karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point sebagai berikut:

Pertama:

Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah Ta’aala. Maksud sesungguhnya adalah Allah Ta’aala. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’aala. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik. Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 23


HAKIKAT-HAKIKAT PERMASALAHAN YANG DAPAT DISELESAIKAN MELALUI KAJIAN

Terjadi banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama’ menyangkut banyak hakikat persoalan dalam bidang aqidah, yang mana Allah Ta’aala tidak membebani kita untuk mengkajinya. Dalam pandangan saya polemik ini telah menghilangkan keindahan dan keagungan substansi masalah ini. Misalkan, pro kontra para ulama menyangkut melihatnya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam kepada Allah Ta’aala dan bagaimana cara melihatNya, dan perbedaan yang luas antara mereka menyangkut persoalan ini. Sebagian berpendapat Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam melihat Allah Ta’aala dengan hatinya, dan sebagian berpendapat dengan mata. Kedua kubu ini sama-sama mengajukan argumentasi dan membela pendapatnya dengan hal-hal yang tak berguna. Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 22


HAKEKAT  PENGIKUT AL-ASY’ARIYYAH

Banyak kaum muslimin tidak mengenal madzhab al-Asya’irah (kelompok ulama penganut madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dan tidak mengetahui siapakah mereka, dan metode mereka dalam bidang aqidah. Sebagian kalangan, tanpa apriori, malah menilai mereka sesat atau telah keluar dari Islam dan menyimpang dalam memahami sifat-sifat Allah Ta’aala. Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 21


AJAKAN PARA A-IMMAT AT-TASHAWWUF 

UNTUK BERAMAL DENGAN SYARI’AT

Tasawwuf, merupakan obyek yang teraniaya dan senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan informasinya ditolak.” Mengapa? Karena ia seorang sufi.

Anehnya, saya melihat sebagian mereka yang menghina tasawwuf, menyerang dan memusuhi pengamal tasawwuf bertindak dan berbicara tentang tasawwuf, kemudian tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tasawwuf dalam khutbah dan ceramahnya di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran. Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan, “Berkata Fudhail ibn ‘Iyadh, al-Junaid, al-Hasan al-Bashri, Sahl at-Tusturi, al-Muhasibi, dan Bisyr al-Hafi.”  Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 20


TITIK PERBEDAAN PENTING ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH

Sebagian ulama ada yang memberikan kritikan terhadap pengklasifikasian bid’ah ke dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian.  Malah sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam yang jelas: “Setiap bid’ah itu sesat”. Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman dan menggambarkan bid’ah sebagai sebuah kesesatan.

Karena itu Anda akan melihat ia berkata: Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan: Akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam. Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 19


ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUK BID’AH

Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara biadab dan bodoh, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syariah Islam mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa: “Sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk”.  Klasifikasi ini adalah tuntutan akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam.  Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 18


MEDIATOR PALING AGUNG

Dalam hari mahsyar yang notabene hari tauhid, hari iman dan hari di mana ‘Arsy dimunculkan, akan tampak keutamaan mediator paling agung, pemilik panji (al-Liwa’ al-Ma’qud), kedudukan terpuji, telaga yang didatangi, pemberi syafaat yang diterima syafaatnya dan tidak sia-sia jaminannya untuk orang yang Allah Subhaanahu wa ta’aala telah berjanji kepada beliau bahwa Allah Subhaanahu wa ta’aala tidak akan mengecewakan anggapan beliau, tidak akan menghina beliau selamanya, tidak membuat beliau susah serta malu saat para makhluk datang kepada beliau memohon syafaat. Lalu beliau berdiri kemudian tidak kembali kecuali mendapat baju kebaikan dan mahkota kemuliaan yang tergambar dalam perintah Allah Subhaanahu wa ta’aala kepada beliau: Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 17


Pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati harus dipahami dengan baik karena banyak orang tidak memahaminya dengan benar lalu membangun persepsi-persepsi yang sesuai dengan pemahamannya.

Apakah tidak engkau perhatikan ketika Allah Subhaanahu wa ta’aala menyuruh kaum muslimin menghadap Ka’bah saat shalat, mereka menyembah Allah dengan menghadapnya dan menjadikannya sebagai kiblat? Tetapi Ka’bah bukanlah obyek penyembahan. Mencium Hajar Aswad adalah penghambaan kepada Allah Subhaanahu wa ta’aala dan mengikuti Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam. Seandainya ada kaum muslimin yang berniat menyembah Ka’bah dan Hajar Aswad niscaya mereka menjadi musyrik sebagaimana para penyembah berhala.  Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 15


Amr ibn Ash berkata: “Tidak ada orang yang lebih kucintai melebihi Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam dan di mataku tidak ada yang lebih agung melebihi beliau. Saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar semata-mata karena menghormatinya. Jika saya ditanya untuk mensifati beliau saya tidak akan mampu menjawab sebab saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar.
(HR. Muslim dalam Kitab al-Iman, bab Kaun al-Islam Yahdimu ma Qablahu). Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 13


MENGAGUNGKAN ANTARA IBADAH DAN ETIKA

Banyak orang keliru dalam memahami substansi pengagungan dan ibadah. Mereka mencampur kedua substansi ini dan menganggap bahwa apapun bentuk pengagungan berarti ibadah kepada yang diagungkan. Berdiri, mencium tangan, mengagungkan Nabi SAW dengan sayyidina dan maulanaa, dan berdiri di depan beliau saat berziarah dengan sopan santun; semua ini tindakan berlebihan di mata mereka yang bisa mengarah kepada penyembahan selain Allah.

Pandangan ini sesungguhnya adalah pandangan bodoh dan membingungkan yang tidak diridloi Allah dan Rasulullah SAW serta menyusahkan diri sendiri yang tidak sesuai dengan spirit syari’ah islamiyyah. Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 12


Pendapat kedua :

Pada dasarnya penafsiran hadits Nabi menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat Allah sebab membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini berlaku bagi orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh riwayat terakhir pada bab ini ; Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur dan ada yang kufur.

Dalam riwayat lain ; Allah tidak menurunkan berkah dari langit kecuali sebagian manusia mengkufuri terhadap berkah itu. Kata بها (terhadap berkah itu) menunjukkan kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu A’lam. Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 11


Adapun yang berkata : Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang. Sebaliknya orang yang berkata : kami disirami hujan berkat bintang ini atau itu maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang. Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara sebagai yang memberikan pengaruh dan yang menciptakan. Imam al-Nawawi berkata : pendapat para Ulama terbelah menjadi dua menyangkut kekufuran orang yang mengatakan : Kami disirami hujan berkat bintang ini. Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 10


Kadangkala Allah menisbatkan tindakan kepada diri-Nya dan Nabi Muhammad secara bersamaan sebagaimana firman Allah yang Artinya :

“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian ( pula ) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah, ( tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” ( Q.S.At.Taubah : 59 ) Baca lebih lanjut

Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 09


Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menisbatkan hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa Allah Subhaanahu wa ta’aala sendiri kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan terkadang kepada yang lain dan terkadang menisbatkannya kepada diri-Nya sendiri.  Baca lebih lanjut