Hadits Shahih Yang Di-Dhoifkan Kaum Wahhabi


Takhrij Hadits “Ya Muhammad”

Kaum Wahabi berpandangan bahwa istighatsah dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih yang sudah wafat termasuk syirik akbar, murtad dan keluar dari Islam. Na’udzu billah min dzalik. Sementara kaum Muslimin sejak generasi sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya membolehkan istighatsah dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih yang sudah wafat. Di antara dalil yang menganjurkan dan membolehkan istighatsah adalah hadits mauquf dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu  yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Mengingat atsar atau hadits mauquf ini tidak menyenangkan bagi kaum Wahabi, sebagian Wahabi menolak keshahihan hadits tersebut secara tidak ilmiah, dan bahkan sebagian mereka ada yang mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Imam al-Bukhari. Oleh karena itu, tulisan berikut ini akan mengkaji hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu tersebut secara ilmiah. Al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ

 

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallaahu ‘anhu, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!” Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”

Hadits di atas diriwayatkan melalui lima jalur dari Abi Ishaq al-Sabi’i.

Pertama, diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]).

 

Kedua, diriwayatkan oleh Zuhair bin Muawiyah dari Abi Ishaq, dari Abdurrhman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh Ali bin al-Ja’d (al-Musnad, [2539, h. 369]), Ibnu Sa’ad (al-Thabaqat, [IV/154]), Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits [II/674]), Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [172, h. 115]), Ibnu Asakir (Tarikh Madinah Dimasyq, [XXXI/177]), dan al-Mizzi (Tahdzib al-Kamal, [XVII/142]).

 

Ketiga, diriwayatkan oleh Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin Hanasy. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [170, h. 115]).

 

Keempat, diriwayatkan oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abi Ishaq, dari Abi Syu’bah. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [168, h. 114]).

 

Kelima, diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abi Ishaq, dari laki-laki yang mendengar Ibnu Umar. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits, [h. 674]).

 

Derajat Hadits

Al-Bukhari meriwayatkan hadits Ibnu Umar di atas (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]), dari Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, dari Sufyan al-Tsauri, dari Abu Ishaq al-Sabi’i, dari Abdurrahman bin Sa’ad al-Qurasyi al-‘Adawi. Semua perawi hadits ini tsiqah, dipercaya. Sufyan al-Tsauri mendengar hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath (berubah hafalannya). Sedangkan Abdurrahman bin Sa’ad, dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i (Taqrib al-Tahdzib, [3877]) dan Ibnu Hibban (al-Tsiqat, [4026, V/99]). Dengan demikian hadits di atas bernilai shahih tanpa keraguan. Bahkan Ibnu Taimiyah (al-Kalim al-Thayyib, [h. 173]) dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (al-Wabil al-Shayyib, [h. 302]) menganggap istighatsah “Ya Muhammad”, sebagai ucapan yang baik (kalimah thayyibah). Beliau juga menganjurkan agar ucapan istighatsah “Ya Muhammad” tersebut diamalkan oleh orang yang kakinya terkena mati rasa.

 

Bersama Kaum Wahabi

Hadits shahih di atas, merupakan dalil yang sangat tegas tentang kebolehan istighatsah. Dan tentu saja, kaum Wahabi berupaya menepis keshahihan hadits tersebut dengan berbagai alasan. Dalam upaya menolak keshahihan hadits di atas, kaum Wahabi terbagi menjadi dua aliran. Pertama, kaum awam seperti Mahrus Ali – dalam Sesat Tanpa Sadar-nya -, yang menolak hadits di atas, dengan alasan hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain (bukan jalur di atas) yang sangat lemah. Tentu saja, kelompok awam ini tidak perlu dilayani. Kelompok ini karena keawamannya dalam bidang ilmu hadits, akan menolak setiap hadits shahih, yang diriwayatkan melalui jalur lain yang lemah. Kelompok awam ini tidak segan-segan mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari karena telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas.

Kedua, kaum alim seperti al-Albani dan lain-lain yang berusaha merekayasa kedha’ifan hadits di atas secara “ilmiah”. Kelompok ini yang akan kita layani. Dalam mengomentari hadits di atas al-Albani berkata dalam catatan al-Kalim al-Thayyib:

ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي اْلأَدَبِ الْمُفْرَدِ (٩٦٤) وَابْنُ السُّنِّيُّ (١٦٨)، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ هَذَا وَثَّقَهُ النَّسَائِيُّ، فَالْعِلَّةُ مِنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ، مِنْ اخْتِلاَطِهِ وَتَدْلِيْسِهِ، وَقَدْ عَنْعَنَهُ فِيْ كُلِّ الرِّوَايَاتِ عَنْهُ 

Hadits dha’if, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (964) dan Ibnu al-Sunni (168). Abdurrahman bin Saad ini dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i. Jadi illat (alasan) kedha’ifan hadits ini terletak pada Abu Ishaq, karena faktor ikhtilath (berubah hafalannya) dan tadlis (menyamarkan riwayat). Ia telah meriwayatkannya secara mu’an’an (memakai redaksi “dari”) dalam semua riwayat.” (Al-Albani, al-Kalim al-Thayyib, h. 173).

Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan kedhaifan hadits tersebut terletak pada perawi Abu Ishaq Amr bin Abdullah al-Sabi’i, yang 1) ikhtilath, dan 2) melakukan tadlis (menyamarkan riwayat).

 

Alasan Ikhtilath

Sekarang kita akan mengkaji secara ilmiah, kedua faktor di atas yang menjadi alasan Wahabi dalam mendha’ifkan atsar Ibnu Umar di atas. Pertama, seputar faktor ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini adalah, benarkah mendha’ifkan atsar Ibnu Umar tersebut dengan alasan ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i? Jawabannya, tentu tidak benar karena tiga alasan: 

Pertama, alasan ikhtilath hanya bisa digunakan ketika perawi dari Abu Ishaq al-Sabi’i menerima hadits di atas setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, seperti riwayatnya Zuhair bin Muawiyah, al-Haitsam bin Hanasy dan Abu Bakar bin Ayyasy yang meriwayatkan hadits dari Abu Ishaq setelah Abu Ishaq ikhtilath. Sedangkan hadits Ibnu Umar tersebut juga diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Oleh karena itu, al-Albani hanya mengomentari riwayat hadits di atas, yang melalui jalur al-Haitsam bin Hanasy dalam al-Kalim al-Thayyib karya Ibnu Taimiyah. Al-Albani tidak memberikan komentar terhadap riwayat Sufyan al-Tsauri ketika men-ta’liq al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari. Dengan kecerdikannya, al-Albani hanya mengalihkan pembaca agar merujuk kepada al-Kalim al-Thayyib, yang dimungkinkan dilakukan pendha’ifan karena faktor ikhtilath­-nya Abu IshaqSedangkan, riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad tidak mungkin didha’ifkan dengan dalihikhtilath. Di sini jelas sekali nilai kejujuran al-Albani dalam kajian ilmu hadits.

Kedua, seandainya kita menerima klaim al-Albani bahwa al-Haitsam bin Hanasy menerima hadits tersebut setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, para ulama ahli hadits justru menolak dan tidak mempersoalkan asumsi ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam konteks ini al-Hafizh al-Dzahabi berkata:

عَمْرٌو بْن عَبْدِ اللهِ أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ مِنْ أَئِمَّةِ التَّابِعِيْنَ بِالْكُوْفَةِ وَأَثْبَاتِهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ شَاخَ وَنَسِيَ وَلَمْ يَخْتَلِطْ

 Amr bin Abdullah Abu Ishaq al-Sabi’i, termasuk imam kaum tabi’in di Kufah dan kuat hapalannya, hanya saja ia mengalami masa tua, lupa dan tidak pernah ikhtilath. (Al-Dzahabi, [Mizan al-I’tidal, III/270]).

Pernyataan al-Dzahabi di atas telah menepis adanya dugaan ikhtilath terhadap Abu Ishaq.

Al-Hafizh al-Dzahabi juga memasukkan Abu Ishaq dalam kategori para perawi tsiqah yang dipersoalkan, tetapi haditsnya tidak dapat ditolak (harus diterima). Dalam hal ini al-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum sebagai berikut:

أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ ثِقَةٌ إِمَامٌ لَكِنَّهُ كَبُرَ وَسَاءَ حِفْظُهُ وَمَا اخْتَلَطَ.

 Abu Ishaq al-Sabi’i, perawi tsiqah dan imam, akan tetapi ia mengalami masa tua, hapalannya buruk dan hafalannya tidak berubah (ikhtilath). (Al-Hafizh al-Dzahabi, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum, [h. 203]).

Seandainya klaim ikhtilath-nya Abu Ishaq kita terima, para ulama memasukkan ikhtilath-nya Abu Ishaq dalam kategori kelompok pertama, yaitu ikhtilath yang tidak menimbulkan kedha’ifan dalam riwayat dan tidak menurunkan martabat perawi, adakalanya karena masa ikhtilath-nya yang sebentar dan sedikit, dan adakalanya karena ia tidak meriwayatkan hadits ketika mengalami ikhtilath, sehingga haditsnya selamat dari kekeliruan. Dalam konteks ini al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’i berkata:

وَلَمْ يَعْتَبِرْ أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ مَا ذُكِرَ مِنِ اخْتِلاَطِ أَبِيْ إِسْحَاقَ، اِحْتَجُّوْا بِهِ مُطْلَقًا، وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِطْ فِيْ شَيْءٍ مِنْ حَدِيْثِهِ فَهُوَ أَيْضًا مِنَ الْقِسْمِ اْلأَوَّلِ 

Tidak seorang pun dari para imam yang mempersoalkan apa yang disebutkan tentang ikhtilath-nya Abu Ishaq. Bahkan mereka berhujjah dengan Abu Ishaq secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah ikhtilath dalam haditsnya. Ia juga termasuk dalam bagian bertama. (Al-Hafizh al-‘Ala’i, [al-Mukhtalithin, h. 94]).

Berdasarpan paparan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa penolakan kaum Wahabi seperti al-Albani terhadap riwayat Abu Ishaq karena alasan ikhtilath, tidak dapat diterima, karena para imam tidak mempersoalkan ikhtilath yang dinisbatkan terhadap Abu Ishaq al-Sabi’i. Disamping itu Sufyan al-Tsauri meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath.

 

Alasan Tadlis

Setelah kita mengkaji faktor ikhtilath yang ada pada Abu Ishaq, sekarang kita mengkaji penolakan kaum Wahabi terhadap riwayat Abu Ishaq dengan alasan kedua, yaitu faktor tadlis.

Secara kebahasaan, tadlis artinya menyamarkan. Sedangkan mudallis adalah perawi yang melakukantadlis. Dalam ilmu mushthalah al-haditstadlis terbagi menjadi dua. Pertama) penyamaran sanad atautadlis isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa, dengan mengesankan bahwa ia mendengar langsung hadits tersebut darinya, padahal ia tidak mendengarnya secara langsung, seperti dengan berkata “fulan berkata”, “dari fulan”, dan sesamanya. 

Kedua, penyamaran guru atau tadlis syuyukh, yaitu menyebut gurunya dengan nama, kunyah, nisbat atau sifat yang tidak dikenal oleh orang lain.

Yang menjadi persoalan terkait dengan Abu Ishaq al-Sabi’i di sini adalah tadlis bagian pertama, yaitutadlis isnad. Dalam ilmu mushthalah al-hadits diterangkan, perawi yang dikenal melakukan tadlis, apabila dalam periwayatannya tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal. Apabila ia menjelaskan bahwa ia mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya diterima dan dijadikan hujjah. Dalam konteks ini, Abu Ishaq termasuk perawi mudallis (melakukan penyamaran sanad). Selama ia tidak menjelaskan bahwa riwayatnya ia terima secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal dan lemah.

Pertanyaannya di sini adalah, setelah Abu Ishaq terbukti sebagai perawi yang mudallis, lalu dalam hadits tersebut ia meriwayatkan secara mu’an’an, maka dapatkah hadits di atas dinilai dha’if? Jawabannya, hadits tersebut tidak bisa dinilai dha’if, karena kelemahan riwayat Abu Ishaq sebab faktor mu’an’an di atas telah diselamatkan oleh riwayat Syu’bah darinya. Dalam konteks ini al-Imam Syu’bah berkata:

عَنِ النَّضْرِ بْنِ شُمَيْلٍ قَالَ: سَمِعْتُ شُعْبَةَ يَقُوْلُ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، اْلأَعْمشِ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ وَقَتَادَةَ

(الحافظ محمد بن طاهر المقدسي، مسألة التسمية ص/٤٧، والحافظ ابن حجر، النكت على مقدمة ابن الصلاح ص/٦٣٠)

Al-Nadhar bin Syumail berkata: “Aku mendengar Syu’bah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlis-nya tiga orang, al-A’masy, Abu Ishaq dan Qatadah.” (Al-Hafizh Ibnu Thahir, [Mas’alah al-Tasmiyah, 47], dan Ibnu Hajar [al-Nukat ‘ala Ibn al-Shalah, 630]).

Ulama Wahabi kontemporer, Mushthafa al-‘Adawi berkata:

مَا حُكْمُ عَنْعَنَةِ اْلأَعْمَشِ وَقَتَادَةَ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيِّ؟ ج: يَلْزَمُ أَنْ يُصَرّحَ كُلٌّ مِنْهُمْ بِالتَّحْدِيْثِ فَإِنَّهُمْ مُدَلِّسُوْنَ، لَكِنْ إِذَا رَوَى عَنْهُمْ شُعْبَةُ فَلاَ تَضُرُّ عَنْعَنَتُهُم، فَإِنَّهُ قَالَ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، ثُمَّ ذَكَرَهُمْ  وَقَدْ قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ مِنْ فَتْحِ الْبَارِيْ: إِنَّ رِوَايَةَ شُعْبَةَ عَنْ أَيِّ مُدَلِّسٍ تَجْبُرُ عَنْعَنَةَ ذَلِكَ الْمُدَلِّسِ هَذَا مَضْمُوْنُ كَلاَمِهِ

 

Soal: Bagaimana hukum ‘an’anah-nya al-A’masy, Qatadah dan Abi Ishaq al-Sabi’i? Jawab: Mereka harus menjelaskan secara tahdits (menerima langsung dari gurunya) karena mereka perawi mudallis. Akan tetapi apabila Imam Syu’bah meriwayatkan dari mereka, maka ‘an’anah mereka tidak berba-haya. Karena Syu’bah telah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlisnya tiga orang.” Kemudian menyebut ketiganya. Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan di beberapa tempat dalam Fath al-Bari, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari perawi mudallis, dapat mengangkis ‘an’anah-nya mudallis tersebut. Ini kesimpulan ucapan beliau. (Mushthafa al-‘Adawi, [Syarh ‘Ilal al-Hadits, h. 56]).

Paparan di atas menyimpulkan, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i yang dikenal mudallis dapat menyelamatkan riwayatnya dari kelemahan karena faktor tadlis. Sementara Ibrahim al-Harbi telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam Gharib al-Hadits, al-Harbi berkata:

١) حَدَّثنَا عَفَّانُ حَدَّثنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبى إٍسْحِاقَ عَمَّنْ سمِعَ ابن عُمَرَ قَالَ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقَيِلَ : اذْكُرَ أَحَبَّ النَّاسٍ . قَالَ : يَا مُحَمَّدُ. ۲) حَدَّثنَا أَحْمَدُ بنُ يُونُسَ حَدَّثنَا زُهِيْرٌ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ سَعْدٍ : جِئْتُ ابنُ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ . فَقُلْتُ : مَالِرِجْلِكَ ؟ قَالَ : اجْتَمَعَ عَصَبُهَا قُلْتُ : ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ فَبَسَطَهَا.

 

1) Telah bercerita kepada kami Affan, telah bercerita kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari seseorang yang mendengar Ibnu Umar. Orang tersebut berkata: “Kaki Ibnu Umar terkena mati rasa.”  Lalu dikatakan kepadanya, “Sebutkan orang yang paling kamu cintai.” Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad.” 2) Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Yunus, telah bercerita kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad: “Aku mendatangi Ibnu Umar, lalu kakinya terkena mati rasa. Aku berkata: “Ada apa dengan kakimu?” Ia menjawab: “Ototnya berkumpul.” Aku berkata: “Panggil orang yang paling kamu cintai.” Ia berkata: “Ya Muhammad.” Ia pun bisa membentangkan kakinya.” (Al-Imam al-Harbi, [Gharib al-Hadits, h. 673-674]).

Dalam riwayat di atas, Ibrahim al-Harbi meriwayatkan hadits Ibnu Umar, melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Imam Syu’bah. Dengan demikian, hadits Ibnu Umar di atas diselamatkan dari kelemahan dengan alasan tadlis-nya Abu Ishaq. Hadits tersebut harus dikatakan shahih sesuai dengan kaedah ilmu hadits yang berlaku.

Di sini ada dua hal yang perlu dijelaskan. Pertama, mungkin kaum Wahabi akan menggugat, bahwa dalam riwayat Syu’bah di atas, terdapat perawi mubham (tidak jelas namanya), sehingga hadits ini tidak bisa dinilai shahih. Gugatan tersebut dapat dijawab, bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah di atas telah dijelaskan dalam riwayat lain, yaitu riwayat al-Harbi sendiri dalam Gharib al-Haditsmelalui jalur Zuhair, dan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad melalui Sufyan al-Tsauri, bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad, perawi yang dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i dan Ibnu Hibban. Para ulama menjelaskan kesamaran seorang perawi dapat diketahui dari jalur lain yang menjelaskan namanya. (Al-Hafizh al-Suyuthi, [Tadrib al-Rawi, h. 468]). Oleh karena itu, setelah menceritakan riwayat Syu’bah, Ibrahim al-Harbi menceritakan riwayat Zuhair untuk menjelaskan nama perawi mubham dalam riwayat Syu’bah, yaitu Abdurrahman bin Sa’ad. 

Kedua, mungkin kaum Wahabi ada yang menggugat, bahwa Zuhair meriwayatkan hadits tersebut dari Abi Ishaq setelah Abi Ishaq mengalami ikhtilath. Gugatan ini dapat dijawab, bahwa riwayat Zuhair telah sesuai dan dikuatkan dengan riwayat Sufyan al-Tsauri yang meriwayatkan hadits tersebut sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Dengan demikian, periwayatan Zuhair dari Abi Ishaq setelahikhtilath dapat diselamatkan dari kelemahan.

Berdasarkan paparan di atas, kiranya di sini dapat disimpulkan bahwa semua argumen kaum Wahabi yang berupaya melemahkan hadits Ibnu Umar RA di atas tidak proporsional dan menemukan kegagalan. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas adalah hadits shahih tanpa keraguan berdasarkan kaedah ilmu hadits yang diterapkan oleh para ulama ahli hadits. Wallahu a’lam.

Sumber dari catatan Ustadz Muhammad Idrus Ramli – Alumnus Ponpes Sidogiri

32 thoughts on “Hadits Shahih Yang Di-Dhoifkan Kaum Wahhabi

  1. Uraian diatas mslah shohih dan dhoifnya hadis. Diharapkan pengertian dan amalan istighatsah dpt dibahas. Syukran smoga bermanfaat.

  2. kaum wahabi merupakan kaum yg diciptakan Allah SWT untuk menguji kaum muslimin.
    kalau kita dapat mengendalikan SYAHWAT KHOFIYYAH(SYAHWATTERSELUBUNG)
    kita Insya Allah Cahaya akan menyinari hati yg keruh.

  3. 1. Minta-minta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau bisa jadi mengganggu dan menyakiti beliau, bagaimana lagi jika setelah wafat beliau??

    Abu Sa’iid Al-Khudriy radhiallahu ‘anhu berkata :
    “Bahwasanya datang harta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabipun membaginya diantara manusia, Nabi menggenggamnya lalu memberikannya kepada mereka. Maka datanglah seseorang dari Quraisy lalu ia meminta kepada Nabi lalu Nabi memberikan kepadanya di ujung selendang orang tersebut, lalu orang itu berkata, “Tambahlah buatku wahai Rasulullah”, maka Nabipun menambahkan buatnya, kemudian ia berkata lagi, “Tambahkanlah buatku !”, maka Nabipun menambahkan buatnya, lalu ia berkata lagi, “Tambahkanlah buatku !”, lalu Nabipun menambah buatnya. Kemudian orang tersebut berpaling. Tatkala orang tersebut pergi maka Nabi berkata ; “Sesungguhnya seseorang datang kepadaku maka akupun memberikan kepadanya, kemudian dia meminta kepadaku lalu aku memberikan kepadanya, kemudian dia meminta kepadaku lalu aku memberikan kepadanya, maka iapun membawa neraka di bajunya, kemudian ia kembali ke keluarganya dengan membawa api”
    Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Diriwayatkan oleh Musaddad dan ini adalah lafalnya, dan diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan sanad yang shahih” (Ithaaf al-Khiyaroh al-Maharoh bi zawaaid al-Masaaniid al-‘Asyaroh 3/48, hadits ini juga oleh Ibnu Hibbaan lihat Shahih Ibnu Hibbaan no 3265).

    2. Orang yang tidak minta kepada Nabi lebih disukai Nabi daripada yang minta kepada Nabi

    Abu Sa’iid Al-Khudry radhiallahu ‘anhu berkata :
    “Ada seseorang dari kaum Anshoor memiliki kebutuhan, maka keluarganya berkata kepadanya : Datangilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mintalah kepadanya !”. Maka iapun mendatangi Nabi –dan Nabi sedang berkhutbah dan berkata : ((Barangsiapa berusaha menjaga dirinya (*dari perbuatan buruk) maka Allah akan menjaganya, dan barangsiapa yang berusaha untuk merasa cukup maka Allah akan mencukupkannya, barangsiapa yang meminta kepada kami lalu kami memiliki apa yang dimintanya maka kami akan memberikan kepadanya)). Maka pergilah orang Anshoor tersebut dan tidak jadi meminta kepada Nabi” (HR Ahmad 17/14 no 10989)
    Dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
    “Barangsiapa yang minta kepada kami maka kami berikan kepadanya atau kami membantunya, dan barangsiapa yang menjaga diri atau berusaha untuk merasa cukup (*tidak minta bantuan kami) maka ia lebih kami sukai daripada orang yang minta kepada kami” (HR Ahmad 17/488 no 11401)

    3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong para sahabat untuk tidak meminta kecuali hanya kepada Allah dan untuk tidak meminta pertolongan kepada manusia siapa saja secara mutlak.

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu :
    “Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah’ (HR At-Thirmidzi no 2516)

    Wasiat Nabi kepada Ibnu Abbas ini sesuai dengan washiat Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman
    Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS Asy-Syarh : 8)

    Ibnu Jariir At-Thobari rahimahullah berkata : “Allah berfirman “Hanya kepada Robmu” wahai Muhammad jadikanlah harapanmu, bukan kepada selain Allah dari kalangan makhluk-makhluk-Nya, karena mereka kaum musyrikin dari kaummu telah menjadikan harapan mereka dalam memenuhi hajat (kebutuhan) mereka pada sesembahan dan tandingan-tandingan (selain Allah)” (Tafsiir At-Thobari 24/497)

    Bahkan Nabi membai’at sahabat untuk tidak meminta kepada manusia secara mutlak.
    Dari ‘Auf bin Maalik al-Asyja’iy berkata : Kami di sisi Rasulullallah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sembilan atau delapan atau tujuh orang. Maka Nabi berkata : “Kenapa kalian tidak membai’at Rasulullah?”, tatkala itu kami baru saja membai’at beliau. Maka kami berkata, “Kami telah membai’at engkau wahai Rasulullah”. Kemudian beliau berkata, “Kenapa kalian tidak membai’at Rasulullah?”, Kemudian beliau berkata, “Kenapa kalian tidak membai’at Rasulullah?”, maka kamipun membentangkan tangan-tangan kami dan kami berkata, “Kami telah membai’at engkau wahai Rasulullah, lantas kami membai’at engkau (*lagi) di atas apa wahai Rasulullah?”
    Beliau berkata, “(*Kalian membai’atku) di atas kalian beribadah kepada Allah dan kalian sama sekali tidak berbuat kesyirikan, untuk sholat lima waktu dan untuk taat”, dan beliau mengucapkan dengan pelan perkataan yang samar : “Dan janganlah kalian meminta apapun kepada manusia”.
    Sungguh aku telah melihat salah seorang dari orang-orang tersebut tatkala ada cemetinya yang terjatuh maka ia tidak meminta seorangpun untuk mengambilkannya” (HR Muslim no 1043).

    4. Doa adalah Ibadah, yang hanya Ditujukan kepada Allah Saja

    Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
    “Doa itu ibadah”, kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam membaca firman Allah ((Dan Rob kalian berkata : Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan bagi kalian))” (HR Ahmad no 18352, Abu Dawud no 1481, At-Tirmidzi no 2969, Ibnu Maajah no 3828, dan isnadnya dinyatakan jayyid (baik) oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 1/49)
    Hal ini dikuatkan dengan hadits yang dikeluarkan oleh At-Thirimidzi dari hadits Anas secara marfuu’ :
    “Doa adalah inti ibadah”.

    5. Berdoa kepada selain Allah merupakan kesyirikan

    “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS Al-Faatihah : 5)
    Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? (QS Al-Ahqoof : 5)
    Maka janganlah kamu berdoa kepada Tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang di’azab (Asy-Syu’aroo : 213).
    Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). (QS An-Naml : 62)
    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan berdoa kepada selain Allah maka masuk neraka” (HR Al-Bukhari no 4497)

  4. Nabi bersabda: “Apabila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi menyatakan bahwa hadits tersebut hasan shohih)
    Nabi bersabda: “Wahai yang Maha Hidup, wahai yang Maha Berdiri sendiri, dengan rahmat-Mu aku ber-istighatsah (meminta pertolongan).” (HR. Tirmidzi, hasan)

    Allah berfirman:
    “ Dan hendaknya hanya kepada Allah sajalah kalian bertawakkal jika kalian benar-benar beriman. “ (Al-Maidah : 23)“
    Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah (hanya) milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada Allah (dengan menyertakan) suatu apapun bersama-Nya.” (Q.S Al-Jin : 18)
    “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5)
    “Ingatlah ketika kamu mohon pertolongan kepada Rabb-mu, maka Dia mengabulkan permintaanmu.” (QS. Al-Anfaal: 9)
    “Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang. (Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan dibangkitkan.” (QS. An-Nahl: 20-21)

    • INGAT INI BAIK” YA, KALAU NANTI ENTE SAKIT KERAS, JANGAN PERNAH KE DOKTER KE MANUSIA MANAPUN,LANGSUNG SAJA PADA ALLAH, DISITU NANTI BARU ENTE TAU APA MAKNANYA ISTIGHATSAH…..KAMI BUKAN MEMINTA DAN MEMOHON KEPADA MAKHLUK ALLAH,DAN TIDAK PERNAH SAMA SEKALI KAMI NIATKAN BEGITU, TAPI KAMI MEMOHON KEPADA ALLAH TA’ALA TETAPI ATAS PERANTARA AMAL SHALIH SESEORANG YG SUDAH JELAS DITERIMA ALLAH AMAL NYA…ADAKAH YG LEBIH PANTAS DITERIMA ALLAH TA’ALA SELAIN SAYYIDINNA RASULULLAH SAW…..JANGAN TERLALU LAMA SESAT WAHAI KAUM “SAWAH” ,BERTOBATLAH SELAGI BISA….KARENA AJAL MENJEMPUT KAPAN SAJA…..

      • Kalau berobat ya minum obat atau berobat sama dokter, tapi jangan lupa wahai saudaraku woko tetap minta kesembuhan hanya kepada Allah, karena hanya Allah yang dapat memberi kesembuhan. Dan sangat beda konteksnya antara berdoa dengan berobat yang anda kemukakan, dan tolong fahami surat al Fatihah ayat 5 ya ” Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” tidak ada kata-kata perantara disitu termasuk kepada Nabi sekalipun, juga jangan terlalu mudah saudara Woko menuduh orang sesat, letak kesesatan jika dia sudah jelas melakukan perbuatan syirik yang menduakan Allah, Wallahu a’lam.

  5. saudara anto lucu sekali yang namanya meminta/mohon pertolongan pastilah
    pada allah cuma wasilahnya kan lewat manusia juga bisa contohnya pas anda sakit kira”minta tolongnya ke siapa dulu??

  6. Ini jawaban panjang lebar yg biasa dilakukan oleh mereka yg mempertahankan tahlilan, yasinan, dan prilaku bid’ah lainnya.

    • Komentar sd. Anto cukup bagus, dia menanggapi tulisan ilmiyah dengan cara ilmiyah pula. Hanya interpretasi dan pemahaman tekstual yg membedakan konsep ini. Intinya kita bisa mengamalkan Hadits2 tsb sesuai dgn keyakinan masing2 tanpa harus saling menyalahkan [apalagi saling membid’ahkan], shg ukhuwah tetap terjaga dgn baik.
      Komentar sdr. Aan cukup rasional, sebab ia bicara ‘perantara’ (wasilah), sprt org sakit yg berobat ke dokter, seraya meyakini bahwa yang menyembuhkan hanyalah Allah.
      Komentar sdr. Xipat terkesan emosional, kurang cerdas, tdk menyelesaikan masalah dan hanya memperuncing perbedaan.

    • ANE TANYA MA ENTE, TUNJUKKAN DALILNYA CELANA CINGKRANG? INGAT YA CELANA CINGKRANG, CELANA BUKAN YG LAIN, ENTE NGATAIN ORG LAIN BID’AH, PADAHAL ENTE SENDIRI YG TUKANG BID’AH….1 LAGI TUNJUKKAN DALILNYA JIDAT GOSONG….. AYO ANE TUNGGU…..PAHAM SESAT KOQ DIIKUTIN SIH, MAKANYA PUNYA OTAK TUH DIPAKE (SAMBIL NUNJUK DENGKUL)…..

      • saudara woko… ini namanya “Istihza” hati-hati kalau ngomong berbahaya bagi yg mengetahui ilmunya, sebagaimana Rasul Allah di lecehkan baik orangnya maupun berbapakaian yang sunnha, sehingga Allah menurunkan firman-Nya :
        Katakanlah : “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu meminta ma’af karena kamu telah kafir sesudah beriman

    • kok jadi tega2an sih?? wong keluarganya lo ikhlas wong demi bapaknya yg udah meninggal kok.. sudahlah gini saja saya tantang yang gak setuju tahlil ,wasilah dan kirim doa buat orang mati.
      coba anda kirim satu saja al-fatihah buat bapak anda yang udah dikubur . saya jamin sampai.. nanti InsyaALLah pasti dikasih lihat sama Allah kalo kiriman anda sampai. coba deh 😉

    • “Sesungguhnya Matahari akan mendekat pada hari Kiamat, sehingga keringat
      akan sampai pada separuh telinga. Maka ketika manusia dalam kondisi
      demikian, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) dengan Nabi Adam.”
      (HR. al-Bukhari [1475]).

      “Al-Khathib al-Baghdadi telah meri-wayatkan dalam Tarikh
      Baghdad dengan sanad yang shahih, bahwa al-Imam al-Syafi’i berkata: “Saya
      senantiasa bertabarruk dengan Abu Hanifah. Saya selalu mendatangi
      makamnya setiap hari dengan berziarah. Apabila saya memiliki hajat, saya
      shalat dua raka’at, lalu saya datangi makamnya, saya berdoa kepada Allah
      tentang hajatku di sisi makam itu, sehingga tidak lama kemudian hajatku
      terkabul.”

      apa pendapat anda saudaraku?

    • boleh …. karena cuma pangillan doang sama saja dengan ya… istriku marilah kita tidur…. (lagu ebit)…ya!! die lagi… die lagi yang nonggol… sama saja….kaya bgtu

  7. Abdul hadi “Jadi bagaimana dengan golongan syiah ya menyebut Ya Hussain…jadi boleh lah mereka menyebut itu?” Memberi komentar itu yang pas dong,jawab dulu komentar kang ijang tentang imam syafii yang bertabaruk kepada Imam abu Hanifah ,boleh apa tidak ,syirik apa tidak menurut anda,itu baru komentar fair ,bukan asal jawab aja.

  8. Apakah benar terdapat kata : “Beliau beristighatsah” yang ia sandarkan kepada Abdullah Bin Umar – Radhiyallahu ‘Anhuma – , mari kita lihat konteks Haditsnya bersama:
    عن الهيثم بن حنش قال : كنا عند عبد الله بن عمر رضي الله عنهما فخدرت رجله فقال له رجل : اذكر أحب الناس إليك فقال : يا محمد فكأنما نشط من عقال
    Dari Al-Haitsam Bin Hansyi beliau beliau berkata: “konon kami berada di sisi Abdullah Bin Umar – Radhiyallahu ‘Anhuma – lalu kaki beliau mati rasa, maka seorang lelaki berkata kepadanya: “Sebutlah orang yang paling engkau cintai !, beliau berkata: “Ya Muhammad” maka seolah-olah keadaannya seperti telah dibebaskan dari jeratan.
    Ternyata kalimat “beliau beristighatsah” itu berasal dari kantong pembawa syubhat sendiri, semoga Allah memaafkannya, sebab setidaknya saya tahu bahwa kalimat ini rupanya suatu pemahaman yang ia petik dari kata Nidaa’ yaitu : kata yaa dari kalimat “Yaa Muhammad”, ia mengira bahwa makna “yaa” di sini adalah panggilan meminta tolong dan bantuan darurat, namun sayangnya pemahaman ini keliru karena dua Alasan:
    1. Nidaa’ di sini sama sekali tidak bermakna panggilan Istighatsah karena seandainya maknanya demikian maka seharusnya lelaki yang menyeru Abdullah Bin Umar – radhiyallahu ‘Anhuma – untuk mengucapkan “ya Muhammad” akan berkata: “Istaghits”(beristighatsahlah), dan ternyata lelaki tersebut tidak mengucapkan kata itu, melainkan berkata: “Udzkur” (sebutlah). Ini menunjukkan menguatkan bahwa makna Nidaa’ di sini bukanlahNidaa’ istighatsah melainkan hanya menyebut nama orang yang dicintai saja.
    2. Memanggil nama seorang yang paling dicintai konon adalah obat mati rasa di kalangan bangsa Arab pada masa Jahiliyyah, dan banyak contoh Syair mereka yang menceritakan kenyataan tersebut, di antaranya adalah perkataan seorang penyair:
    وقال جميلُ بثينةَ:
    وأنتِ لعَيْنِيْ قُرَّةٌ حين نَلْتَقِيْ *وذِكْرُكِ يَشفِيْني إذا خَدَرتْ رجلي
    Berkata Jamil Butsainah :
    Engkau di mataku adalah sesuatu yang indah ketika kita bertemu, dan apabila kakiku mati rasa maka menyebut namamu akan mengobatiku
    وقال الموصلي:
    واللهِ ما خَدَرَتْ رجلي وما عَثَرَتْ*إلا ذكرتُكِ حتى يَذْهبَ الخدَرُ
    Al-Maushili berkata:
    Demi Allah, tiadalah kakiku keram dan sakit, kecuali menyebutmu
    sehingga mati rasa itu sembuh.
    Atas anggapan bahwa Nidaa’ di sini bermakna Istighatsah, lantas apakah para penyair ini ketika kaki mereka keram dan demi kesembuhannya kemudian mereka menyebut nama kekasihnya seraya beristighatsah kepada para wanita pujaan mereka tersebut? tentunya tidak.
    Apakah setiap orang yang tertimpa penyakit wabilkhusus mati rasa jika ia menyebut nama orang yang paling ia cintai dan ternyata pemilik nama tersebut adalah orang fasiq atau kafir, maka akankah terjadi kesembuhan? betapa mustahilnya islam akan mengajarkan ummatnya memohon pertolongan darurat dari musibah (yang jalan kesembuhannya hanyalah Allah) kepada makhluk, apalagi kepada makhluk yang fasiq dan kafir. Maka dari sisi ini juga akan tertolak anggapan bahwa Nidaa’nya Abdullah Bin Umar –Radhiyallahu ‘Anhuma- dalam hadits ini adalah bermakna Istighatsah.

  9. mhn maaf..apakah ada persamaan antara menyebut orang yg di cintai dengan meminta/memohon pertolongan(istighatsah)???kok jauh sekali, klo pun hadist tersbut shahih kok ga da yg menyebutkan memohon pertolongan cmn skdr pertanyann sebutkan orang yg dicintai..dimn letak pembolehanx disana,..bingung jg ya jd orang awam,.., tlng dijawab dengan jujur dan kebenaran,,makasih?

Tinggalkan komentar