Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Imam Abu Hasan Al-Asy’ariy


Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرإ ما نوى

HR: al-Bukhari, Muslim, Abû Dâwûd, al-Nasâ’î dan Ibn Mâjah

قال أبو إسحاق رحمه الله، كنت في جنب الشيخ أبي الحسن الباهلي كقطرة في البحر، وسمعت الشيخ أبا الحسن الباهلي قال، كنت أنا في جنب الشيخ الأشعري كقطرة في جنب البحر

Al-Ustâdz Abû Ishâq al-Isfarâyînî berkata, “Berada di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî, aku terasa bagaikan setetes embun di lautan” . Sementara aku dengar al-Syeikh Abû al-Hasan al-Bâhilî berkata, “di samping al-Syeikh Abû al-Hasan al-Asy‘arî, aku terasa bagaikan tetesan embun di pinggir lautan” . -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.141-

لو لم يصنف عمره غير الإبانة واللمع لكفى

Sekiranya semasa hidupanya al-Asy‘arî hanya menulis kitab al-Ibânah dan al-Luma‘, itu sudah memadai. -Tabyîn Kidzb al-Muftarî, hal.134-

 

Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).

Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).

Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.

Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.

Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.

Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.

Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah

Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah. Itulah nama lengkap dari salah satu karya Mishbâh al-Tawhîd Abû al-Hasan al-‘Asy‘arî (260-324H), seorang Mujaddid peralihan abad ke-3 sampai ke-4 Hijriyah. Al-Ibânah adalah salah satu karyanya dengan metode Tafwîdh dan membuktikan bahwa ia telah melepaskan diri dari ideologi sekte Mu‘tazilah kepada ajaran Salaf al-Shâlih yang dinilai steril mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah “Salaf al-Shâlih” telah memberi pukauan kuat terhadap banyak kalangan terutama bagi pemerhati sejarah al-Asy‘ariyyah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sehingga masing-masing mereka merasa sebagai pengikut Salaf al-Shâlih. Tak ayal, kandungan al-Ibânah yang dinilai mengikuti Salaf al-Shâlih pun menjadi rebutan beberapa kalangan.

Kalangan al-Asy‘ariyyah menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah lantaran al-Asy‘ariyyah adalah penisbatan kepada al-Asy‘arî sang penulis kitab, dan beberapa alasan lain. Begitu pun kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih menganggap bahwa merekalah yang berhak terhadap al-Ibânah meski keberatan disebut sebagai al-Asy‘ariyyah, lantaran mereka menilai bahwa al-Asy‘ariyyah adalah sekte bid‘ah dan sesat menyesatkan sehingga berimbas kepada pen-drop out-an terhadap cendikiawan muslim yang dikenal sebagai al-Huffâzh, bahwa mereka bukan pengikut Salaf al-Shâlih meski tidak secara mutlak. Seperti al-Khathîb al-Baghdâdî, al-Bayhaqî, al-Nawawî, al-‘Asqalânî dan al-Suyûthî yang dikenal sebagai pemuka al-Asy‘ariyyah, Radhiyallâhu ‘Anhum.
Jika al-Asy‘ariyyah mengaku sebagai pengikut Abû al-Hasan al-Asy‘arî, hal ini tentunya sangat wajar. Sebagaimana al-Hanafiyyah adalah pengikut Abû Hanifah, al-Mâlikiyyah sebagai pengikut Mâlik, al-Syâfi‘iyyah sebagai pengikut al-Syâfi‘î, al-Hanâbilah sebagai pengikut Ibn Hanbal, Radhiyallâhu ‘Anhum. Namun akan terasa janggal jika pengakuan itu muncul dari kalangan yang mengaku sebagai pengikut Salaf al-Shâlih namun pada sisi lain mereka mencerca kalangan al-Asy‘ariyyah. Bahkan al-Asy‘ariyyah dianggap telah keluar dari paham al-Asy‘arî. Dan tentunya ini sah-sah saja karena mereka pun boleh berpendapat. Dan yang menjadi barometer bagi kalangan ini untuk mengatakan bahwa al-Asy‘ariyyah sebenarnya tidak mengikuti al-Asy‘arî adalah isu-isu yang beredar bahwa al-Ibânah merupakan bukti peralihan al-Asy‘arî dari paham -yang konon katanya- Kullâbiyyah kepada Salaf al-Shâlih. Menurut mereka al-Asy‘arî dalam al-Ibânahnya mengakui Allah subhânahû wa ta‘âlâ menetap, menempati, bersemayam atau duduk di atas ‘arasy, sekaligus mereka beranggapan bahwa al-Asy‘ariyyah sebetulnya mengikuti paham Kullâbiyyah, bukan al-Asy‘arî. Lalu, ada apa dengan al-Ibânah sehingga kalangan ini begitu yakin akan isu-isu yang beredar sehingga menjadi pegangan bagi mereka untuk memisahkan al-Asy‘ariyyah dengan al-Asy‘arî? Dan siapakah Kullâbiyyah yang mereka anggap sebagai panutan al-Asy‘ariyyah dan dinilai sebagai sekte bid‘ah?

Three in One (3 in 1); Tiga al-Ibânah, Satu al-Asy‘arî

Proyek pengelabuan umat yang dilakukan beberapa kalangan sentak menggelitik telinga para santri tradisional tanah air yang notabene mereka mempelajari kitab-kitab karya para ulama al-Asy‘ariyyah seperti al-Jawâhir al-Kalâmiyyah, al-Aqwâl al-Mardhiyyah, Kifâyah al-‘Awwâm, Fath al-Majîd (bukan kitab Wahhâbî), Ummu al-Barâhîn, al-Dasûqî, Nazhm Jawhar al-Tawhîd, dan lain sebagainya. Isu-isu yang mereka angkat adalah bahwa para santri dan masyarakat yang mengaku sebagai pengikut al-Asy‘arî yang disebut dengan al-Asy‘ariyyah telah menyalahi al-Asy‘arî sendiri, terbukti bahwa al-Asy‘arî dengan kitab al-Ibânahnya dan beberapa kitab lain berbeda akidah dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya atau al-Asy‘ariyyah. Al-Asy‘arî mengakui keberadaan Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat di atas ‘Arasy sementara al-Asy‘ariyyah tidak. Tentunya hal ini bertolak belakang antara al-Asy‘arî dengan pemahaman penggikutnya. Begitulah diantara argumen mereka untuk merusak keharmonisan antara al-Asy‘arî dan al-Asy‘ariyyah. Sebuah usaha yang amat buruk dan tercela. Namun apa benar seperti itu? Kita akan mencoba membandingkan, al-Ibânah manakah kira-kira yang menjadi landasan bagi sementara kalangan yang mengatakan bahwa al-Asy‘arî meyakini Allah subhânahû wa ta‘âlâ bertempat (hulûl), bersemayam, menetap. Berikut scannan tiga versi al-Ibânah karya al-Asy‘arî;

  1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
  2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
  3. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.
Dar Anshar

Dar Anshar

Maktabah Mu'ayyad

Maktabah Mu'ayyad

Dar Kutub

Dar Kutub

-Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.105 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.97;

استواءً يليق به من غير طول الاستقرار

tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.46. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain yaitu menempati ‘Arasy.

Dar Anshar

Dar Anshar

Maktabah Mu'ayyad

Maktabah Mu'ayyad

Dar Kutub

Dar Kutub

* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.113 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.100;

استواءً منزها عن الحلول والاتحاد

tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hal.48. Sehingga kalangan yang disebut oleh para ulama sebagai Antropomorphisme (Musyabbihah) akan memahami dengan artian bahasa yaitu bersemayam, duduk, menetap, dengan kata lain semua pemahaman ini adalah Hulûl. Bahkan jika hadis Nuzûl dipahami secara lahirnya yaitu Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia, turun dari atas ke bawah dan berpindah, maka pemahaman ini akan melahirkan Ittihâd sekaligus Hulûl lantaran langit ada tujuh lapis, dan Allah subhânahû wa ta‘âlâ turun ke langit dunia atau langit pertama sehingga langit ke dua sampai ke enam bahkan ‘Arasy akan berada di atas Allah subhânahû wa ta‘âlâ, na‘ûdzu billâh.

Jika konsep “Bi Lâ Kayf” telah tertanam dalam keyakinan kita, maka segala karakter turunnya makhluk yaitu pergerakan dari atas ke bawah dan berpindah pasti ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ karena segala bentuk perpindahan adalah sebuah “Kayf”. Maka, kata “nuzûl, istiwâ’” lebih layak kita katakan Nuzûl-Nya Allah subhânahû wa ta‘âlâ adalah Nuzûl yang layak bagi keagungan dan kemulian-Nya tanpa berpindah, tanpa Kayf. Begitu pun dengan Istiwâ’, Allah Yang Maha beristiwâ’, tidak dapat dikatakan “bagaimana” (sebuah kalimat istifhâm untuk menanyakan metode, tata cara, visualisasi), karena bagaimana mungkin kita akan menanyakan “bagaimana” padahal segala bentuk metode, tatacara, visualisasi (Kayfiyyât) semuanya ternafi dari Allah subhânahû wa ta‘âlâ.

الرحمن على العرش استوى، كما وصف نفسه، ولا يقال له كيف، وكيف عنه مرفوع

Begitu ungkapan shahîh dari Imam Malik dan dinukil oleh al-Baihaqî dan Ibn Hajar. Lihat al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, 1426H, hal.411 dan Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.13, hal.461.

Dar Anshar

Dar Anshar

Maktabah Mu'ayyad

Maktabah Mu'ayyad

Dar Kutub

Dar Kutub

* Kalimat bergaris biru pada cetakan Dâr al-Anshâr hal.117 dan Maktabah al-Mu’ayyad/ Maktabah Dâr al-Bayân hal.102; بلا كيف ولا استقرار tidak terdapat pada cetakan Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah hal.49. Tentunya kita mengetahui arti penting dari ungkapan yang lenyap tersebut. Sehingga dengan adanya ungkapan itu akan memberi penjelasan bahwa sifat Istiwâ’ Allah subhânahû wa ta‘âlâ tidak dapat diartikan dengan pemahaman bahasa kita seperti menetap, bersemayam, bertempat. Lalu mengapa al-Qur’an tidak mencantumkan lafazh itu? Jawabannya adalah karena salah satunya Allah subhânahû wa ta‘âlâ ingin menguji hamba-hamba-Nya agar diketahui siapa saja orang-orang yang di dalam hatinya terdapat Zaigh (kekeliruan). Oleh karena itu ungkapan “Bi Lâ Kayf” sangat berperan dalam membentengi umat muslim dari pemahaman ala Antropomophisme. Dan di sisi lain, dengan mengimani keberadaan sifat-sifat yang Allah subhânahû wa ta‘âlâ tetapkan pada Zat-Nya begitupun yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan menjadi sanggahan bagi sekte Jahmiyyah, Mu‘tazilah dan yang sepaham dengan mereka dari kalangan Mu‘aththilah.

Ini hanyalah sekelumit dari kitab al-Ibânah khususnya bab Istiwâ’. Dan tidak menutup kemungkinan jika kita terus membandingkan antara beberapa cetakan akan tampak penambahan ataupun pengurangan. Namun yang terpenting adalah manakala kita membaca karya al-Asy‘arî seperti al-Ibânah, perlu kiranya pembanding dan pendamping bacaan tersebut seperti karya-karya ulama yang bersanad kepada al-Asy‘arî seperti al-Inshâf karya al-Baqillânî, Musykil al-Hadîts wa Bayânuh karya Ibn Fawrak, al-Jâmi‘ fî Ushûl al-Dîn karya Abû Ishâq al-Isfarâyînî, Ushûl al-Dîn karya ‘Abd al-Qâhir al-Baghdâdî, al-Tabshîr fî al-Dîn wa Tamyîz al-Firqah al-Nâjiyah ‘an al-Firaq al-Hâlikîn karya Abû al-Muzhaffar al-Isfarâyînî, al-Asmâ’ wa al-Shifât karya al-Baihaqî, al-‘Aqîdah al-Nizhâmiyyah fî al-Arkân al-Islâmiyyah karya Imam al-Haramain al-Juwainî, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd karya al-Ghazâlî, dan masih banyak lagi karena terkadang seorang ulama menulis beberapa karya dalam satu tema akidah.

Di samping al-Ibânah, al-Asy‘arî juga mempunyai karya di antaranya al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr. Bersama kitab-kitab inilah al-Asy‘arî mengumumkan peralihannya dari Mu‘tazilah ke Ahl al-Sunnah. Pada saat itu kitab-kitab ini dibaca dan ditelaah oleh ahli hadis dan fiqih dari kalangan Ahl al-Sunnah, lalu mereka mengamalkan kandungannya. Sehingga mereka mengakui kelebihan al-Asy‘arî dan menjadikannya sebagai al-Imâm, lalu mereka menisbatkan mazhab mereka kepada al-Asy‘arî, sehingga bernamalah al-Asy‘ariyyah. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.43.

Nah, jikalau benar al-Asy‘arî melalui dua fase peralihan dalam keyakinannya, yaitu dari Mu‘tazilah ke Salaf al-Shâlih (dan ternyata -konon kata mereka- Kullâbiyyah), kemudian dari Kullâbiyyah ke Salaf al-Shâlih yang sebenarnya, tentunya al-Asy‘arî juga mengumumkan peralihannya itu sebagaimana yang ia lakukan saat beralih dari Mu‘tazilah mengingat ini adalah hal yang sangat penting bagi diri al-Asy‘arî dan masyarakatnya karena ia pernah menjadi seorang al-Imâm bagi kalangan Mu‘tazilah dan akhirnya menjadi al-Imâm bagi kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Betapa beraninya Mishbâh al-Tawhîd ini mengumumkan keluarnya ia dari paham Mu‘tazilah di tengah kekuasaan Mu‘tazilah. Tentunya akan sangat ringan dan mudah jika ia melakukan hal yang sama jika benar ia keluar dari Kullâbiyyah mengingat Kullâbiyyah bukan sekte, juga bukan pemerintahan.

Sejenak kita perhatikan lagi, adakah kalangan yang lebih baik dari ahli hadis dan fiqh yang kesaksian mereka dapat dipercaya? Merekalah yang menyaksikan al-Asy‘arî menanggalkan jubah Mu‘tazilahnya. Merekalah yang menyaksikan akan kebenaran paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî. Mereka pulalah yang menelaah karya al-Asy‘arî sehingga menjadikannya sebagai al-Imâm untukk mazhab mereka. Jikalau paham yang dibawa oleh al-Asy‘arî setelah beralih dari Mu‘tazilah masih terdapat percampuran antara yang hak dengan yang batil, tentunya ahli hadis dan fiqh itulah yang berada di garis terdepan untuk menangkal kebatilan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, mereka membenarkan paham yang didengungkan oleh al-Asy‘arî karena yang ditawarkan olehnya adalah akidah Salaf al-Shâlih. Ingat, mereka adalah ahli hadis dan fiqh. Atau barangkali “di sana” ada kriteria ahli hadis oleh kalangan yang mengaku pengikut Salaf al-Shâlih yang lebih baik dari kriteria yang diterapkan oleh al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir?

Mereka Bertutur Tentang al-Ibânah dan Ibn Kullâb

1. Al-Hâfizh Ibn ‘Asâkir;

Ibn ‘Asâkir berkata, “Aku pernah membaca tulisan ‘Alî ibn al-Warrâq seorang ahli hadis daerah Mesir. Tulisan itu berisikan risalah yang ditulis oleh Abû Muhammad ‘Abdullah ibn Abî Zaid al-Qairuwânî seorang ahli fikih madzhab maliki. Ia adalah seorang pemuka ahli fikih maliki pada masanya dari daerah Maghrib (Maroko sekarang-pen). Risalah itu ditujukan kepada ‘Alî ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl seorang mu‘tazilah dari Baghdad sebagai jawaban terhadap risalah yang ia (‘Alî ibn Ahmad-pen) kirimkan kepada kalangan malikiyyah Qairuwân karena ia telah menyisipkan paham-paham mu‘tazilah. Risalah yang begitu dikenal itu sangat panjang. Dan sebagian jawaban yang dituliskan oleh Ibn Abî Zaid terhadap ‘Alî ibn Ahmad adalah sebagai berikut, Anda telah menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah, sementara anda tidak menyebutkan bukti yang dengannya dapat diketahui bahwa Ibn Kullâb memang ahli bid‘ah. Dan sama sekali kami tidak mengetahui adanya orang yang menisbatkan Ibn Kullâb kepada bid‘ah (kecuali ‘Alî ibn Ahmad-pen). Namun informasi yang kami terima, Ibn Kullâb adalah pengikut sunnah (Ahl al-Sunnah-pen) dan ia banyak membantah kalangan Jahmiyyah dan ahli bid‘ah lainnya. Ia adalah ‘Abdullah ibn Sa‘îd ibn Kullâb (al-Qaththân, w.240H-pen)”. Lihat Tabyîn Kidzb al-Muftarî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, cet.1, 1420H, hal.298-299.

2. Al-Hâfizh al-Dzahabî;

Al-Dzahabî berkata, Ibn Kullâb adalah seorang pemuka teolog daerah Basrah pada masanya. Kemudian lanjut al-Dzahabî sembari menukil, Ia adalah teolog yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah, bahkan ia adalah juru debat mereka (terhadap Mu‘tazilah-pen). Ia mempunyai karya di antaranya, al-Shifât, Khalq al-Af‘âl dan al-Radd ‘alâ al-Mu‘tazilah. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.7, hal.453.

Al-Dzahabî juga menuturkan, Suatu ketika al-Asy‘arî mendatangi Abû Muhammad al-Barbahârî di Baghdad, lalu ia berkata, “Aku telah membantah al-Jubbâ’î (ayah tirinya-pen), aku telah membantah kaum Majûsi dan Nasrani” . Al-barbahârî malah mengatakan, “Aku tidak paham apa yang anda ucapkan, kami (al-Barbahârî dan kalangan Hanâbilah-pen) tidak mengerti melainkan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. Lalu al-Asy‘arî pergi dan menuliskan al-Ibânah, namun pada akhirnya al-Barbahârî tetap saja tidak menerimanya. Lihat Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372.

3. Al-Hâfizh Ibn Hajar;

Ibn Hajar berkata, Sesungguhnya al-Bukhârî dalam segala hal yang berkaitan dengan teks-teks gharîb (asing-pen), ia menukil dari pakarnya seperti Abû ‘Ubaidah, al-Nadhr ibn Syumail, al-Farrâ’ dan lain-lain. Adapun perkara-perkara fikih, sebagian besar ia sandarkan kepada al-Syâfi‘î, Abû ‘Ubaid dan yang seperti keduanya. Dan adapun perkara-perkara kalâm (teologi-pen), maka sebagian besar ia ambil dari al-Karâbîsî, Ibn Kullâb, dan yang seperti keduanya. Lihat Fath al-Bârî, Dâr al-Hadîts, 1424H, vol.1, hal.293.

Ibn Hajar juga menuturkan sembari menukil, Ibn Kullâb menggunakan metode Salaf al-Shâlih dalam hal meninggalkan takwîl terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah. Mereka (Salaf al-Shâlih-pen) disebut sebagai al-Mufawwidhah. Kemudian lanjut Ibn Hajar, Dalam menuliskan al-Ibânah, al-Asy‘arî menggunakan metode Ibn Kullâb. Lihat Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, cet.1, 1408H, vol.3, hal.361.

Al-Nuqath al-Muhimmah (Poin-poin penting)

  1. Al-Asy‘arî, ia adalah Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl ibn Abî Bisyr Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ‘îl ibn ‘Abdillah ibn Mûsâ ibn Amîr al-Bashrah Bilâl ibn Abî Burdah ibn Abî Mûsâ ‘Abdillah ibn Qais ibn Hadhdhâr al-Asy‘arî al-Yamânî al-Bashrî, Mishbâh al-Tawhîd.
  2. Semenjak ibunya menikah dengan al-Jubbâ’î, ia digembleng oleh al-Jubbâ’î sehingga ia menjadi pemuka Mu‘tazilah. Dan pada tahun 300H ia beralih kepada metode Salaf al-Shâlih dan mengumumkannya di masjid Bashrah di hadapan para ahli hadis dan fikih.
  3. Adapun isu-isu yang mengatakan bahwa ia bertaubat dari akidah bid‘ah sebanyak dua kali adalah tidak benar. Karena prosesi pengumuman yang dilakukannya di masjid Bashrah di hadapan ahli hadis dan fikih adalah yang pertama dan terakhir.
  4. Sekiranya setelah ia bertaubat dari paham mu‘tazilah masih membawa paham-paham menyimpang tentunya ahli hadis dan fikih yang menyaksikan itu berada pada garis terdepan dalam menangkal pemikiran menyimpang itu.
  5. Kitab al-Luma‘ fî al-Radd ‘Alâ Ahl al-Zaigh wa al-Bida‘, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Astâr dan beberapa kitab lainnya telah ditelaah oleh ahli hadis dan fikih pada saat itu sehingga mereka menerimanya meskipun al-Ibânah belum ditulis oleh al-Asy‘arî.
  6. Al-Asy‘arî, Ibn Kullâb, al-Karâbîsî dan sebelumnya yaitu al-Bukhârî dan Muslim mempunyai pandangan yang sama dalam masalah akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah. Hal ini tampak ketika mereka berbicara tentang konsep Af‘âl al-‘Ibâd.
  7. Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, adalah salah satu karya al-Asy‘arî yang mengikuti metode salaf yaitu tafwîdh. Isi dan kandungannya mengikuti metode Ibn Kullâb terutama dalam menyanggah Jahmiyyah dan Mu‘tazilah.
  8. Boleh dikata; al-Asy‘arî, kitab al-Ibânah, Ibn Kullâb dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah bagaikan empat sisi pada segi empat yang saling melengkapi karena semuanya mengikuti al-Qur’ân, al-Sunnah dan Salaf al-Shâlih.
  9. Untuk mengenal al-Asy‘ariyyah, rujukan utama adalah karya-karya para ulama yang mempunyai silsilah keguruan kepada al-Asy‘arî seperti al-Khaththâbî (w.319), Ibn al-Mujâhid (w.370H), al-Baqillânî (w.403H), al-Lâlikâ’î (w.418), al-Baihaqî (w.458H), dll.
  10. Al-Zabîdî berkata, “Jika disebutkan tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (setelah masa salaf) maka yang dimaksud adalah kalangan al-Asyâ‘irah dan al-Mâturîdiyyah” . Lihat Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn, Dâr al-Fikr, vol.2, hal.6.

Daftar Pustaka

  1. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Anshâr, Mesir, cet.1, 1379H.
  2. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Maktabah al-Mu’ayyid, Saudi Arabia, dan Maktabah Dâr al-Bayân, Suriah, cet.3, 1411H.
  3. Al-Asy‘arî, Al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Lebanon, cet.2, 1426H.
  4. Al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1424H.
  5. Al-‘Asqalânî , Lisân al-Mîzân, Dâr al-Fikr, Lebanon, cet.1, 1408H.
  6. Al-Baihaqî, al-Asmâ’ wa al-Shifât, Dâr al-Hadîts, Mesir, 1426H.
  7. Al-Dimasyqî, Tabyîn Kidzb al-Muftarî fî Mâ Nusiba ilâ Abî al-Hasan al-Asy‘arî, Al-Maktabah al-Azhâriyyah li al-Turâts, Mesir, cet.1, 1420H.
  8. Al-Dzahabî, Siyâr A‘lâm al-Nubalâ’, Maktabah al-Shafâ, Mesir, cet.1, 1424H.
  9. Al-Zabîdî, Ithâf al-Sâdât al-Muttaqîn fî Syarh Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Dâr al-Fikr, Lebanon, t.t.

Semoga bermanfaat.

54 thoughts on “Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Imam Abu Hasan Al-Asy’ariy

  1. assalam…

    thanks ustadz atas info nya,..blog yg bagus,..
    smg Allah memberikan tambahan keluasan ilmu dan kefahamannya pd ustadz dan juga ana tentu nya,…amiin.

    wassalam..

  2. Luar biasa penjelasannya, sampai merinding saya membacanya, lhoMas. Wahabi emang benar-benar penipu dan pendusta tapi merasa benar, sungguh benar-benar konyol n dungungunya minta ampun deh!

    Bongkar terus Mas kebobrokan Wahabi ini, insyaallah sangat berguna untuk membendung wahabisme lewat jalur dunia maya. Seperti kita tahu ke depan manusia khususnya di indonesia akan semakin banyak pengguna internetnya, dan dakwah seperti ini sangat setragis untuk masa mendatang, juga saat ini. pokoknya selalu aktual. Optimis dalam dakwah di dunia maya itu sangat perlu untuk membangkitkan giroh yg terkadang merasa bosan. Jadi jangan bosan atau jenuh, terus semangat!!!

  3. assalamualaikum,
    lanjut terus kang…
    bukalah semua tabir gelap dr wahabbiun…semoga ustadz di berikan keluasan ilmu oleh Allah,…amiin

    • Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

      Alhamdulillah, ternyata Mantan Kiai NU tersebut sudah mengakui kalau beliau hanya dipaksa oleh pihak penerbit untuk menggunakan istilah “Mantan Kiai NU”.

      Klarifikasi Mahrus Ali atas Buku Mantan Kiai NU
      Itulah surat pernyataan Mahrus Ali yang sejujurnya kepada sahabat saya Bapak Thobary Syadzili yang bersama timnya mendatangi langsung kediaman Mahrus Ali. Dia (Mahrus Ali) mengatakan bahwa penggunaan istilah “Mantan Kiai NU” bukan berasal dari dia sendiri. Tetapi itu merupakan pilihan dari pihak penerbit “Laa Tasyuk” yang terlalu dipaksakan demi untuk mengeruk keuntungan pribadi lewat buku-buku tulisan Mahrus Ali yang diterbitkannya. Untuk lebih jelasnya lagi saya salin kembali surat pernyataan Mahrus Ali di bawah ini:

      “MANTAN KYAI NU BUKAN PILIHAN SAYA DAN SAYA SUDAH BILANGKAN KEPADA WARTAWAN AULA, SAYA MINTA AGAR DIGANTI TAPI SAYA TIDAK MAMPU”

      TGL 15 DZULHIJJAH 1431 H
      WASSALAM
      MAHRUS

  4. Pencabutan itu , kata ust Mahrus kepada Kiyai THobari konteknya dalam masalah buku . Dan blog mantankyainu.blogspot.com sudah di buat dan populer di kalangan pembaca. Karena itu , blog mantan kyainu tetap saja di akses dalam keadaan apa adanya . Dan tidak salah sama sekali . Kiyai Thobari sendiri sudah tahu hal itu .

    • apa yang disampaikan oleh Mahrus Ali di blognya tidak sesuai dengan manhaj ahlussunnah wal jama’ah. Karena, bertentangan dengan pendapat para ulama’ ahlussunnah wal jama’ah dari kalangan salaf, seperti:
      1. Pendapat al-imaam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullaah dalam permasalahan diperbolehkannya hadits dhoif untuk landasan fadhoil al-a’maal,
      2. Pendapat al-imaam asy-Syafi’i rahimahullaah di dalam pembahasan bid’ah,
      3. Di dalam permasalahan maulid Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam, sangat bertentangan dengan pendapat para ulama ahlussunnah wal jama’ah seperti:
      a. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal ”Al aruus”
      b. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan Ibn Dihyah alkalbi, dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an adzir”
      c. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dengan karangan maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”
      d. Imam al Hafidh Ibn Katsir, yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : ”maulid ibn katsir”
      e. Imam Ibn Hajar Al Haitsami, dengan maulidnya “Itmam anni’mah alal alam bi maulid sayyidi waladu adam”

      Dan masih banyak pendapat Mahrus Ali yang tidak sesuai dengan para Ulama’ Ahlussunnah Wal Jama’ah.

      Oleh karena itu, karena bertentangan dengan pendapat ulama’ ahlussunnah wal jama’ah, maka Mahrus Ali tidak layak untuk dijadikan panutan dan diambil pendapatnya.

  5. Ahli sunnah wal jamaahmu itu ahli bid`ah menurut ulama ahli hadis . Kalau kamu proffesional , caranya tidak seperti orang awam gitu , tanpa menunjukkan dalil dan refrensi arabnya lalu kamu menuduh orang benar salah . Jadi kamu itu hanya mengikuti hawa nafsu . Mana ajaran Ust Mahrus yang kamu anggap keliru menurut dalil – bukan mengikuti nafsumu.
    قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
    Katakanlah: “Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar”.
    Jangan berkata tanpa ilmu , nanti akan menyesatkan dan jangan banyak bicara.
    Imam Syafii berkata dalam suatu syair :
    قَالُوا سَكَتَّ وَقَدْ خُوْصِمْتَ
    قُلْتُ لَهُمْ إِنَّ اْلجَوَابَ لِبَابِ الشَّرِّ مِقْتَاحٌ
    الصُّمْتُ عَنْ جَاهِلٍ أَوْ أَحْمَقَ شَرَفٌ
    وَفِيْهِ أَيْضًا لِصَوْنِ اْلعِرْضِ إِصْلاَحٌ
    أَمَا تَرَى اْلأُسْدَ: تُخْشَى وَهِيَ صَامِتَةٌ
    وَاْلكَلْبُ يَخْشَى لَعَمْرِي وَهُوَنَبَّاحٌ
    Mereka berkata : Kamu diam pada hal kamu di debat
    Aku menjawab kepada mereka ; sesungguhnya menjawabnya adalah kunci pintu kejelekan
    Diam terhadap orang bodoh atau dungu adalah kemuliaan
    Dan itu memperbaiki untuk memelihara kehurmatan
    Apakah kamu tidak melihat singa – singa di takuti sekalipun diam
    Demi hidupku ! anjing takut sekalipun menyalak

    • kamu berkata: “Kalau kamu proffesional , caranya tidak seperti orang awam gitu , tanpa menunjukkan dalil dan refrensi arabnya lalu kamu menuduh orang benar salah”

      Saya jawab: Dari pernyataan kamu, itu artinya kamu adalah orang yang menyatakan diri sebagai “BUKAN ORANG AWAM”, alias kamu itu merasa PALING AHLI, PALING PINTER, PALING SEGALANYA di dalam agama. Iya khan?

      Seluruh artikel yang ada di blog Saya ini berdasarkan hujjah dan dalil menurut ulama’ Ahlussunnah wal jama’ah. Dan semuanya disertai dengan teks serta referensi bahasa arabnya, judul kitabnya, nama ulama ahlussunnah wal jama’ah pengarangnya. Silakan baca artikel-artikel yang ada di blog Saya ini. Pasti akan ditemukan judul kitab, nama pengarang, dan terjemah serta teks arabnya (apakah kamu tidak bisa membaca aksara arab? sehingga menyatakan kalau di blog saya ini tidak ada dalil dan referensi arabnya???)

      Dan tentu saja semua hujjah dari ulama’ ahlussunnah wal jama’ah yang ada di blog saya ini sangat bertentangan sekali dengan hujjah yang dibawa oleh ahlul bid’ah al wahhabiyyah.

      Sekte wahhabiyyah yang kamu ikuti dan guru kamu Mahrus Ali adalah ahlul bid’ah yang sebenarnya menurut ulama’ ahlul hadits ahlussunnah wal jama’ah.

      Baiklah, untuk permasalahan apakah ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah dari kalangan Salaf Sholih berakidah seperti akidahnya kaum Wahhabiyyah (yang anti takwil), ini Saya berikan jawabannya (ingat, ini sangat bertentangan sekali dengan apa yang menjadi komentar Mahrus Ali di blognya):

      kamu berkata: “قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ Katakanlah: Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.”

      Saya jawab: Baiklah, saya tunjukkan bukti kebenaran itu menurut pendapat ulama’ ahlussunnah wal jama’ah.

      Di dalam kitab “Hasiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummi al-Barahin” karya Syeikh Muhammad Dasuqi halaman 83 diterangkan bahwa:

      و اعلم أن من اعتقد أن الله جسم كالأجسام فهو كافر و من اعتقد أنه جسم لا كالأجسام فهو عاص غير كافر و الاعتقاد الحق اعتقاد أن الله ليس بجسم و لا صفة و لا يعلم ذاته الا هو

      Artinya:
      ” Dan hendaklah kalian ketahui bahwa sesungguhnya barangsiapa yang meyakinkan Allah itu seperti jisim (bentuk suatu makhluk) sebagaimana jisim-jisim lainnya, maka orang tersebut hukumnya kafir (orang yang kufur dalam aqidah, bukan orang murtad). Dan barangsiapa meyakinkan bahwa Dia seperti jisim, namun tidak seperti jisim-jisim lainnya, maka orang tersebut adalah orang yang durhaka, bukan kafir. Adapun keyakinan (i’tiqad) yang benar adalah keyakinan yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah itu bukan jisim dan bukan pula sifat. Tidak ada seorang makhluk pun yang dapat mengetahui dzat Allah terkecuali hanya Dia semata”.

      Penjelasan di atas merupakan bagian penjelasan dari sifat Allah “Al-Mukhalafah lil Hawaditsi (المخالفة للحوادث ) . Artinya: Allah Subhanahu wa ta’aala berbeda dengan makhluk. Yang pada intinya tidak ada sesuatu pun yang dapat menyerupai Allah, baik dari segi dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, maupun pekerjaan-pekerjaan-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’aala :

      ليس كمثله شيئ و هو السميع البصير

      (As-Syura: 11)

      Selain itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullaah berkata:

      إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته
      إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24

      “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (az-Zabidi, Ithaaf as-Saadah al-Muttaqiin…, juz 2, hal 24).

      Imam asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata di dalam kitabnya Syarh al-Fiqh al-Akbar:

      واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال
      الفقه الأكبر، ص13

      “Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas hal ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, halaman 13).

      Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan secara memberikan nasehat kepada kaum Muslimin dengan berkata berkata:

      إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات
      الفقه الأكبر، ص 13

      “Ini termasuk ayat mutasyabihat. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, halaman 13).

      Nah, al-Imaam asy-Syafi’i rahimahullaah adalah salah satu Ulama di kalangan asy-‘ariyyun (pengikut Abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah) dan beliau berpendapat yang sangat bertentangan sekali dengan pendapat kaum mujassimah wahhabiyyah.

      Tentunya pendapat imam asy-Syafi’i rahimahullah tersebut sangat sesuai dengan pendapat abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullah yang tercantum di dalam kitab al-Ibanah yang ASLI, karena ibanah versi PALSU belum dicetak dan diterbitkan 🙂

      Dalil-dalil yang saya kemukakan di atas sudah ada teks referensi arabnya, nama ulama’nya, dan terjemahnya dalam bahasa Indonesia.

      Dan dalil yang saya sebutkan diatas sangat bertentangan sekali dengan pendapat Mahrus Ali di blognya yang menyebutkan:
      ” Dari pembahasan di atas maka jelas al Ibanah yang benar adalah yang mengikuti teori salaf yaitu tidak boleh mentakwil asma` atau sifat Allah ,.Jadi masih tetap di artikan Allah bersemayam di aras , tidak di takwil menjadi Allah menguasai arasy .” (mantankyainu.blogspot.com/2011/05/doktrin-ahli-bidah-bertentangan-dengan.html)

      Nah, sekarang dari bukti tersebut, apakah pendapat Mahrus Ali sesuai dengan pendapat ulama’ ahlussunnah wal jama’ah dari kalangan salaf sholih??? Yang terbukti adalah justru pendapat Mahrus Ali sesuai dengan pendapatnya kaum mujassimah musyabbihah.

      • apa yang anda kemukan diatas adalah pendapat imam syafi`i ,,boleh boleh saja ,,tapi bagi mereka yg berpendapat bahwa allah bertempat juga jgn disalahkan,, marilah kita saling menghargai,, mungkin saja mereka yg berpendapat allah bertempat karena mereka menemukan dalil alquran banyak sekali yg menunjukkan bahwa Allah itu beristiwa di atas Arsy.. Allah Itu maha berkehendak tak ada yg dapat menghalangi kehendak allah dan siapa yang mampu menghalangi kehendak allah untuk beristiwa di arsy.. tetapi dengan catatan bahwa istiwanya allah pastilah berbeda dengan istiwa manusia karena allah laisa kamistlihi syaiun… jadi marilah kita saling menghargai pendapat,,karna kebenaran hakiki hanya milik allah saja. siapa pun bisa salah karna yg tak mungkin salah hanya allah saja.

    • ^_^ titip link ya? waspada, itu linknya pengikut faham mujassimah, memutar-balikkan fakta bahwasanya al-Imaam abu al-Hasan al-Asy’ari sependapat dengan kaum mujassimah musyabbihah. Sekali lagi hati-hati. ^_^

      Bantahan untuk blog yang anda cantumkan ada dikomentar saya ini ^_^

      ^_^ Mari kita lihat fakta:

      قال إمام أهل السنة أبو الحسن الأشعري (324 هـ) رضي الله عنه ما نصه : ” كان الله ولا مكان فخلق العرش والكرسي ولم يحتج إلى مكان، وهو بعد خلق المكان كما كان قبل خلقه ” اهـ أي بلا مكان ومن غير احتياج إلى العرش والكرسي. نقل ذلك عنه الحافظ ابن عساكر نقلا عن القاضي أبي المعالي الجويني.
      تبيين كذب المفتري ص/ 150

      Pimpinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, Imam Abu Hasan al-Asy’ari (W 324 H) mengatakan sebagai berikut :
      “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia menciptakan ‘Arsy dan Kursi dan Dia tiada membutuhkan kepada tempat. Dan setelah tempat tercipta Dia ada seperti sebelum tercipta makhlukNya, ada tanpa tempat”. Tabyin Kadzib al-Muftari, S.150

      وقال إمام أهل السنة أبو منصور الماتريدي (333 هـ) رضي الله عنه ما نصه : “إن الله سبحانه كان ولا مكان، وجائز ارتفاع الأمكنة وبقاؤه على ما كان، فهو على ما كان، وكان على ما عليه الان، جل عن التغير والزوال والاستحالة” اهـ. .
      كتاب التوحيد ص/ 69

      Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Imam Abu Manshur al-Maturidi (W 333 H) mengatakan sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Tempat adalah makhluk, memiliki permulaan dan bisa diterima oleh akal jika ia memiliki penghabisan. Namun Allah ada tanpa permulaan dan tanpa penghabisan. Dia ada sebelum ada tempat, dan Dia sekarang setelah tempat tercipta Dia tetap ada tanpa tempat. Dia Maha Suci (mustahil) dari adanya perubahan, habis, atau berpindah (dari satu keadaan kepada keadaan lain).” Kitab at-Tauhid, S.69

      قال في كتابه “التوحيد” : “فإن قيل: كيف يرى؟ قيل: بلا كيف، إذ الكيفية تكون لذي صورة، بل يرى بلا وصف قيام وقعود واتكاء وتعلق، واتصال وانفصال، ومقابلة ومدابرة، وقصير وطويل، ونور وظلمة، وساكن ومتحرك، ومماس ومباين، وخارج وداخل، ولا معنى يأخذه الوهم أو يقدره العقل لتعاليه عن ذلك “اهـ.
      كتاب التوحيد ص/ 85

      Masih dalam kitab karyanya diatas “Kitab at-Tauhid”, beliau menuliskan tentang rukyatullah sebagai berikut: “Jika ada yang berkata Bagaimanakah Allah nanti dilihat ? Jawab : Dia dilihat dengan tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah). Karena Kayfiyyah itu hanya terjadi pada sesuatu yang memiliki bentuk. Allah dilihat bukan dalam sifat berdiri, duduk, bersandar, atau bergantung. Tanpa adanya sifat menempel, terpisah, berhadap-hadapan, atau membelakangi. Tanpa pada sifat pendek, panjang, sinar, gelap, diam, gerak, dekat, jauh di luar atau di dalam. Hal ini tidak boleh dikhayalkan dengan prakiraan-prakiraan atau dipikirkan oleh akal , karena Allah maha suci dari itu semua”. Kitab at-Tauhid, S.85

      وقال أيضا: “وأما رفع الايدي إلى السماء فعلى العبادة، ولله أن يتعبد عباده بما شاء، ويوجههم إلى حيث شاء، وإن ظن من يظن أن رفع الأبصار إلى السماء لأن الله من ذلك الوجه إنما هو كظن من يزعم أنه إلى جهة أسفل الأرض بما يضع عليها وجهه متوجها في الصلاة ونحوها، وكظن من يزعم أنه في شرق الأرض وغربها بما يتوجه إلى ذلك في الصلاة، أو نحو مكة لخروجه إلى الحج، جل الله عن ذلك “. انتهى باختصار.
      كتاب التوحيد ص/ 75- 76

      Dan masih dalam kitab yang sama beliau mengatakan : “Adapun mengangkat tangan ke arah langit dalam berdo’a maka hal itu sebagai salah satu bentuk ibadah kepada-Nya (bukan berarti Allah di langit). Allah berhak memilih cara apapun untuk dijadikan praktek ibadah para hamba kepada-Nya, dan juga berhak menyuruh mereka untuk menghadap ke arah manapun sebagai praktek ibadah mereka kepada-Nya. Jika seorang menyangka atau berkeyakinan bahwa mengangkat tangan dalam berdoa ke arah langit karena Allah berada di arah sana, maka ia sama saja dengna orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada di arah bawah karena di dalam shalat wajah seseorang dihadapkan ke arah bumi untuk beribadah kepadaNya, atau sama saja dengan orang yang berkeyakinan bahwa Allah ada di arah barat atau di arah timur sesuai arah kiblatnya masing-masing dalam shalat saat beribadah, atau juga sama saja orang tersebut dengan yang berkeyakinan bahwa Allah berada di arah Mekah, karena orang-orang dari berbagai penjuru yang hendak melaksanakan haji untuk beribadah kepada-Nya menuju arah Mekah tersebut. Allah Maha Suci dari keyakinan semacam ini semua (berarah, bertempat)”. Kitab at-Tauhid, S.75-76.

      Selanjutnya, di blog tersebut juga disebutkan bahwa imam asy-Syafi’i radhiyallaah ‘anhu juga sependapat dengan kaum mujassimah musyabbihah.

      Padahal kenyataannya/faktanya:

      قال الإمام الشافعى رضى الله عنه فيما نقل ابن المعلم القرشى عنه فى كتاب “نجم المهتدى” ص.551 عن “كفاية النبية فى شرح التنبية” ما نصه: “وكذا من يعتقد ان الله جالس على العرش كافر” كما حكه القضى حسين هنا عن نص الشافعى رضى الله عنه. انتهى كلام ابن المعلم القرشى.

      Telah berkata al-Imaam asy-Syafi’i radhiyallah ‘anhu sebagaimana dinukil oleh ibn al-Mu’allim al-Qarasyiyyi di dalam kitabnya “Najm al-Muhtadii” hal.551, mengenai “Kifaayat an-Nabiih fii syarh at-Tanbiih”:
      “Dan demikianlah barangsiapa yang beri’tiqad bahwasanya Alloh Ta’aala duduk di atas ‘Arsy, maka ia telah kafir.”
      Demikian diriwayatkan oleh al-Qadhi Husain berkenaan dengan perkataan asy-Syafi’i radhiyallaah ‘anhu. Selesai perkataan dari pada ibn al-Mu’allim al-Qarasyiyyi.

      Semoga bermanfaat. ^_^

  6. lanjutkan akhi… komentar-komentar kami ahlussunah wal jama’ah di abul-jauzaa.blogspot.com dihapus oleh pemiliknya.

  7. Assalamualaikum……..

    Rumah yang dulu nyaman dan tertata rapi sekarang kedatangan tamu yang seenaknya saja masuk rumah, mengacak-acak, bahkan mengganti dan mengatur perabotan yang sudah disusun dengan baik…

    Sungguh tidak tahu diri dan tidak tahu malu seorang tamu seperti itu………..

    Kang, mohon ijin copas…
    Jazakumulloh khairon katsiron……..

    Teruslah berjuang kang, pantang teu purun…

  8. ORANG -ORANG WAHABI,.ITU TELAH DIBUTAKAN HATI DAN FIKIRANNYA,.MESKIPUN KEBENARAN TELAH DIDEPAN MATA ,….MEREKA ENGGAN MENGAKUI KEBODOHAN DAN KEHILAFANNYA,…. SEMOGA ALLAH MEMBERI KITA TAUFIK DAN HIDAYAH ….AGAR SENANTIASA BERADA DI JALAN YANG LURUS YANG DI RIDHOI ALLLAH SWT…..dan kita termasuk orang-orang yang selamat dunia dan akhirat
    AMIN YA ROBAL ALAMIN,…
    kang judu semoga Allah tambah keluasan ilmu kang jundu amin….

  9. Ya Alloh, kuatkan kami memegang kebenaran yang sejati. Jangan kebenaran yang d paksakan seperti kaum wahabi dan jangan bodohi kami dg pemahaman wahabi. Amin.

  10. Salam Ustadz Jundu Muhammad,

    Mohon bisa dijelaskan, meski dalam teks2 kitab al Ibanah di atas secara tegas dinyatakan “Allah itu istiwa alal arsy bi ghoriri thuulil istiqroor” dan juga “istiwaaan munazzahan ‘anil huluul wal ittihaad”, artinya menurut Imam Asy’ari istiwa’ itu hanya Allah yang tahu maknanya, dan kita tidak boleh mengartikannya dengan istiqroor ( bertempat ) dan huluul / ittihaad ( meyatu dengan arsy).Artinya Allah tidak bertempat.

    Namun ada beberapa teks yang mengesankan Allah itu ber-“jihhat” yaitu arah atas, yaitu di terbitan Dar Ansar : 113 disebutkan ” Kullu dzalika yadullu annahu ta’ala fis samaa’i mustawin ‘ala arsyihi”, juga di terbitan Maktabah Muayyad : 97 disebutkan setelah QS. Ghafir :36~37bahwa Fir’aun “kadzzaba nabiyallahi musa fi qoulihi annallaha fauqo samawaat”.

    Apakah berarti dalam al Ibanah ini Imam Asy’ari meskipun menafikan tempat dari Allah namun meng-itsbat-kan arah atas bagi Allah ? Saya tidak mempermasalahkan tepat tidaknya istidlal, namun hanya menanyakan posisi Imam Asy’ari terhadap arah atas bagi Allah. Wassalam.

    • Wa ‘alaikumussalaam warahmatullaah,

      Bismillah,

      Untuk pengertian perkara “Di atas” sebenarnya al-Imaam abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullaah telah menjelaskan secara shorih di dalam al-Ibanah yaitu dalam kalimat-kalimat berikut ini:
      (saya ambil dari al-Ibanah cet. Daar al-anshor di halaman 21, dan dalam beberapa al-ibanah terbitan wahabi kalimat-kalimat ini hilang entah kemana)

      “Dan sesungguhnya Allah istiwa’ atas ‘arsy sebagaimana yang Dia firmankan, dan dengan makna yang Dia inginkan. Istiwa yang bersih dari arti menyentuh, menetap, bertempat, diam dan pindah. ‘Arsy tidak membawa-Nya, melainkan ‘arsy (yang dibawa). ‘Arsy dibawa maksudnya tercakup dalam kelembutan kuasa-Nya, serta tunduk dalam genggaman-Nya. Dia di atas (tidak menyentuh ‘arsy), bahkan di atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata surya sekalipun. “Di atas” yang tidak membuat-Nya tambah dekat ke arsy dan langit, melainkan Dia sangat tinggi derajat-Nya dari ‘arsy sebagaimana Dia sangat tinggi derajat-Nya dari tata surya, dan Dia dengan itu dekat dari segala yang ada. Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya dan menyaksikan segala sesuatu”

      Dari kalimat-kalimat beliau rahimahullaah dapat disimpulkan beliau tidak mengitsbatkan arah atas dalam makna zohir, akan tetapi beliau rahimahullaah mena’wilkannya kepada “tinggi derajat-Nya”.

      Wallaahu a’lam.

  11. Jazakallah Ustadz,

    Berarti pengertian “atas” bukan berarti “dekat dengan planet dan jauh dari bumi”. Ternyata penjelasan ini aslinya dari kitab al Ibanah ya ?

    Saya sebelumnya juga pernah membaca uraian ini dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin bab Qowa’idul ‘aqoid, susunannya persis, berarti Imam al Ghazali juga menukil uraian ini dari Imam Besarnya, Abul Hasan al Asy’ari.

    Barakallahu fiik.

  12. Ping-balik: Benarkah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari Melalui 3 Fase Pemikiran? [Seperti yang diisukan Wahabiyyin] | Lautan Salafy

  13. assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh..
    ustadz saya mau tanya tentang dimana atau situs apa untuk download kitab-kitab klasik(bentuk pdf) yang kira-kira masih asli/tidak dikurangi dan ditambah oleh para wahabiyyun itu dan juga situs-situs apa saja yang memuat kitab-kitab yang sudah dirubah oleh golongan mereka tersebut?? mohon jawabannya ustadz, soalnya saya sempat download kitab2 klasik dari readkitabklasik dan maktabah al-waqafiyah dan saya tidak tahu apakah di situ kitab2nya masih asli atau sudah dirubah wahabiyyun tersebut

  14. Ping-balik: Benarkah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari Melalui 3 Fase Pemikiran? [Seperti yang diisukan Wahabiyyin] « Media belajar Islam – Ahlus Sunnah Wal Jamaah – Sunni Salafiyah

  15. Hehehe…. Ketahuanlah sudah, terutama kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia dan ditahqiqkan oleh ulama Wahhabi. Untuk melihat bukti tahrif/distorsi yang dilakukan oleh kalangan Wahabi baca artikel ini: Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Untuk apa di posting disini semuanya berbau fitnah belaka, silahkan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak nantinya. Syukron 🙂

  16. Ass.wr.wb,
    Ustadz sering disebut bahwa wahabiyyun itu mujassimah atau musyabihah krn mereka menyerupakan Allah dengan makhluk, khususnya dalam hal sifat yg terkait dengan Arsy, tapi kok yang saya temukan di blog2 mereka ga seperti itu, yah ?

    Justru kaidah mereka sama dengan yang antum maksudkan tentang tidak boleh menyamakan Allah dengan makhluk. Istilah kaidah wahabiyyun ttg Allah itu TANPA ta’thil (penolakan), takyif (penyerupaan-tasybih), tamtsil (permisalan) dan tahrif (pendefinisian ulang dengan akal saja). Lalu dalam kaidah sifat Allah, mereka memperkuat dengan laisa kamitslihi syai’un.

    Saya jadi bingung….
    buktinya silakan lihat yg salah satunya di http://artikelassunnah.blogspot.com/2012/02/syarah-al-aqidah-al-wasithiyah-syaikhul_26.html
    Bagaimana ini ?

    Terima kasih, ustadz. Semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufiq kepada kita yang mau terus mencari kebenaran. Aamiin…

    • Yang mereka maksud tanpa ta’thil, takyif dan tamtsil adalah memaknai teks Alquran yang berkenaan dengan Allah dan sifat-2Nya apa adanya, sesuai pengertian teks.
      Ahlussunnah menjelaskan teks-2 tersebut, untuk menghindari pemahaman yang keliru. Karena pemahaman manusia awam berdasar pada ilmu yang terbatas dan indera. Tentu ini bisa sangat keliru. Itu sebabnya, para Imam aswaja menjelaskan panjang lebar ttg hal ini.

    • Akibatny mereka (kaum sawah) memahami Allah SWT alal arsyi, sebagai “berada di atas arasy”, sebagaaimana buku ada di atas meja, walaupun kata-kata “sebagaimana buku ada di atas meja” juga ditolak mereka. Tapi mereka memahami seperti itu, wal iyadzu billah, maha suci Allah dari pensifatan keterbatasan manusia…

  17. 1, ) -Yang bermadzhab kepada imam asy-Syafi’i dan atau siapapun supaya memusuhi atau memblokir yang sefaham / sepandangan dengan Ibnu kullab dan Asy ari – alasannya sederhana …..kalau kata Wahabi-Albani-Salafi …bahwa ALLAH SWT itu mempunyai jasad ….maka..seluruh umat islam yang tidak mau dikafirkan oleh orang MUSYRIK , harus mengikutilah fatwa dan kehendak Wahabi-Salafi-Albani….dan harus setuju …bahwa ALLAH SWT itu ( belegedegan – gitu lho…( berjasad )) itulah jalan yang selamat bagi kalian.+.

    2. ) – Abul Jauzaa – Orang yang haus akan pujian – sangat pengecut dan sangat akrab dengan beberapa Terorist yang menjadi buruan DenSus 88.- Terorist Wahabi Ciomas Bogor terkenal dengan Terorist Tengkurap ( mereka banyak mendanai / mensupport para Terorist , tapi mereka cucitangan alias tengkurap ). inilah contoh dari kelompok WAHABI PENGECUT.

    3. ) – Mantan Kyai NU – BlogSpot nya cukup menarik ….tapi lagi-lagi tolol…( silahkan baca tulisannya – apa benar dia pernah masuk pesantren – atau setidaknya dia pernah mengecap pendidikan formal – atau mungkin pernah disekolahin sama orang tuanya…) saya sangsi…beberapakali saya mengomentari supaya dia segera bertobat dari jalan yang sesat ( karena ALLAH SWT ( mungkin ) masih mau mengampuninya – karena ALLAH SWT itu maha pengampun ). tapi sampai saat ini masih tetap pada jalan yang sesat ( saya dapat informasi bahwa sesungguhnya ABUL JAUZAA dan MANTAN KYAI NU ini dapat santunan dari ARAB SAUDI untuk biaya kelangsungan hidupnya ). karena memang kedua orang ini dalam kondisi pengangguran berat , alias dari PEMULUNG ( tukang KoPas )….( silahkan baca otobiografinya ).

    4. ) – Andai mereka masuk keblog Sunni …selalu memakai nama lain…karena takut identitasnya ketahuan.

  18. Ping-balik: Benarkah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari Melalui 3 Fase Pemikiran? [Seperti yang diisukan Wahabiyyin] | Golongan Takfiri

  19. Aqidah Wahabi/Salafi itu memang aneh, seperti orang tidak menggunakan akal.
    Mereka memang menuduh sesat ilmu mantiq, padahal ilmu mantiq itu ditulis agar kita tidak keliru menggunakan akal, seperti ilmu Tajwid yang disusun agar kita tidak keliru membaca Al Quran dan ilmu Nahu Sharaf supaya kita tidak keliru memahami bahasa Al Quran.
    Anehnya Aqidah Salafi adalah tidak memasukannya Sifat Maha Pendidik dan Maha Pengasih dan Penyayang sebagai Sifat utama Rububiyah Allah dalam pembahasan Tauhid Rububiyah. Sedangkanarti Robb dan Rububiyah sangat erat dengan makna Pendidik dan Kasih Sayang. Ini menyebabkan hilang sensitifitas penganutnya terhadap Allah sebagai Robb dengan Sifat utama Rububiyah yaitu Yang Maha Pendidik dan Pemelihara serta Yang Maha Pengasih Dan Penyayang. Sehingga pemahaman mereka sering jauh dari rahmat (kasih sayang) terhadap umat Islam lain, bahkan terhadap orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam. Mereka berani membuat tuduhan yang tidak patut kepada ayah dan ibunda Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam.

    Penjelasan kekeliruan ajaran membagi Tauhid menjadi 3 (Rububiyah, Uluhiyah, Asma wa Sifat).

    Ayah Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam

    Ibunda Rasulullah Shallallahu alaihi wa alihi wassalam


    Kalau Aqidah aneh, sikap juga aneh.

    Anomali Tauhid Asma Wa Sifat yang memahami sifat Allah sesuai lafaz zahir Asma dan Sifat Allah, kecuali Sifat Rububiyah

    Anomali pengikut Tauhid 3 serangkai yang percaya kepada ahlinya tentang sesuatu kecuali kepada Imam Mazhab

  20. Ping-balik: Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu – Kerio Bungsuh

  21. Assalamualaikum ustad syukron jazilan, ini sngat mmbantu saya.
    Saya juga ingin tanya tad dalam cetakan
    dar ibn jauzy ini terdapat kkliruan atau tidak tad?
    Terima kasih jazakallah khair..

  22. قال الشيخ إبن عثيمين السلفي
    إن التحريف من دأب اليهود
    Sesungguhnya pendistorian(pemalsuan)
    Itu kebiasaanya orang2 yahudi
    Kita simpulkan saja bahwa mereka para salafiyyin wahhabiyin itu tangan kanan yahudi(membantu). mereka dalam berpropaganda bekerjasama utk memecahkan persatuan ummat islam.
    Maka ingatlah peringatan Allah atas perbuatan salafiyyin .
    وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
    Ayat وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ itu mentaukidi(menguatkan) bagi siapapun yg tdk mau membantu dalam kebaikan dan siapaun yang membantu orang dalam berbuat dosa .
    Kelak mereka akan mendapat siksa yang amat pedih.

Tinggalkan komentar