Benarkah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari Melalui 3 Fase Pemikiran? [Seperti yang diisukan Wahabiyyin]


Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.

Artikel ini masih berkaitan dengan artikel sebelumnya yang membahas Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.

Pengantar

Khusus kepada mereka yang JUJUR dan BENAR-BENAR ingin memahami tentang jawaban dari dakwaan golongan Wahabi mengenai al-Imam Abu al-Hasan al-Asy`ari bertaubat dari manhaj yang disusun oleh beliau sekarang ini. Kami sediakan artikel ini agar kekeliruan yang dicetuskan oleh golongan Wahabi ini dapat dipadamkan. Artikel ini perlu dibaca sehingga habis, jika tidak maka anda tidak akan faham. Baca perlahan-lahan, seksama dan hindarkan membaca dalam keadaan emosi.

Ada artikel yang tersebar di kalangan sebagian pakar, khususnya di kalangan golongan wahhabi yang mengatakan bahwa perjalanan pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan dalam kehidupan beliau. (Lihat Mauqif Ibn Taimiyah min al-Asya`irah, Abd al-Rahman bin Saleh al-Mahmud(1995), Maktabah al-Rusyd, Riyadh, hal. 378.)

Pertama: Fase ketika al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengikuti fahaman Muktazilah dan menjadi salah satu tokoh Muktazilah hingga berusia 40 tahun. 

Kedua: Fase di mana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari aliran Muktazilah dan merintis mazhab pemikiran teologis (ilmu akidah) dengan mengikuti mazhab Ibn Kullab.

Ketiga: Fase di mana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada mazhab yang dirintisnya yaitu mengikuti mazhab Ibn Kullab dan kembali kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikut manhaj Salaf al-Salih dengan mengarang sebuah kitab yang berjudul al-Ibanah `an Usul al-Diyanah.

Berdasarkan hal ini, golongan Wahabi membuat kesimpulan bahwa mazhab al-Asy`ari yang berkembang dan diikuti oleh mayoritas kaum muslimin hingga dewasa ini adalah pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pada fase kedua yaitu mengikuti mazhab Ibn Kullab yang bukan merupakan pemahaman Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan telah dibuang oleh al-Imam al-Asy`ari, dengan kitab terakhir yang ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yaitu al-Ibanah `an Usul al-Diyanah.

Dengan demikian, mazhab al-Asy`ari yang ada sekarang sebenarnya mengikuti mazhab Ibn Kullab yang bukan dari faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan tidak mengikuti mazhab al-Asy`ari dalam fase ketiga yang asli yaitu Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah. Inilah kenyataan dari artikel yang direka oleh golongan Wahabi/Salafi. Dakwaan ini disebar secara menyeluruh oleh mereka pada dewasa ini.

Karena itu, artikel yang dibuat oleh golongan Wahhabi ini sudah tentu mempunyai banyak dusta mengenai fakta sejarah dan fakta ilmiah. Sebelum kita mengkaji artikel di atas satu persatu, ada baiknya kita memerincikan terlebih dahulu makna yang tersembunyi di balik artikel itu. Apabila hal tersebut dikaji, ada tiga makna yang tersembunyi di balik artikel tersebut.

Pertama: Perkembangan pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase di dalam kehidupannya, yaitu Muktazilah, mengikuti mazhab Ibn Kullab dan terakhir sekali, beliau kembali kepada ajaran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah. Ini adalah artikel pokok yang dipropagandakan oleh golongan Wahabi. Artikel ini menyembunyikan dua artikel di baliknya.

Kedua: Abdullah bin Sa`id bin Kullab bukan pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.

Ketiga: Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah merupakan fase terakhir dalam kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yaitu fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepangkuan ajaran Salaf al-Salih atau Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.

SANGGAHAN / BANTAHAN

PERTAMA, BENARKAH IMAM ABU HASAN AL-ASY’ARI MELALUI TIGA FASE PEMIKIRAN ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengamati dan mengkaji sejarah kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yang ditulis oleh para alim ulama’. Al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari merupakan salah seorang tokoh kaum Muslimin yang sangat masyhur dan mempunyai fakta yang jelas. Beliau bukan tokoh kontroversial dan bukan tokoh yang misteri yaitu perjalanan hidupnya tidak diketahui orang, lebih-lebih lagi berkaitan dengan hal yang amat penting seperti yang kita bicarakan ini. Seandainya kehidupan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari seperti kenyataan dalam artikel yang direkayasa oleh Wahhabi/Salafi Palsu itu, menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan pemikiran, maka sudah tentu para sejarawan akan menyatakannya dan menjelaskannya di dalam buku-buku sejarah. Maklumat mengenai ini juga sudah pasti akan masyhur dan tersebar luas sebagaimana fakta sejarah hanya menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya bertaubat dan meninggalkan faham Muktazilah saja.

Semua sejarawan yang menulis biografi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya menyatakan kisah naiknya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari ke atas mimbar di masjid Jami` Kota Basrah dan berpidato dengan menyatakan bahwa beliau telah keluar dari faham Muktazilah. Di sini kita bertanya, adakah sejarawan yang menyatakan kisah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham pemikiran Abdullah bin Sa`id bin Kullab? Sudah tentu jawabannya, tidak ada.

Apabila kita menelaah atau meneliti buku-buku sejarah, kita tidak akan mendapatkan fakta atau maklumat yang mengatakan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari bertaubat dari ajaran Ibn Kullab baik secara jelas maupun samar. Oleh karena itu, maklumat atau fakta yang kita dapati adalah kesepakatan para sejarawan bahwa setelah al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari bertaubat daripada faham Muktazilah, beliau kembali kepada ajaran Salaf al-Salih seperti kitab al-Ibanah dan lain-lain yang ditulisnya dalam rangka membela mazhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.

Al-Imam Abu Bakr bin Furak berkata:

“Syaikh Abu al-Hassan Ali bin Ismail al-Asy`ari radiyallahu`anhu berpindah daripada mazhab Muktazilah kepada mazhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan membelanya dengan hujjah-hujjah rasional dan menulis karangan-karangan dalam hal tersebut…” (Tabyin Kidzb al-Muftari, al-Hafiz Ibn Asakir(1347H) tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats, cet.1, 1420H, hal 104)

Sejarawan terkemuka, al-Imam Syamsuddin Ibn Khallikan berkata: “Abu al-Hassan al-Asy`ari adalah perintis pokok-pokok akidah dan berupaya membela mazhab Ahl al-Sunnah. Pada mulanya Abu al-Hassan adalah seorang Muktazilah, kemudian beliau bertaubat dari pandangan tentang keadilan Tuhan dan kemakhlukan al-Quran di masjid Jami` Kota Basrah pada hari Jum’at”. (Wafayat al-A’yan, al-Imam Ibn Khallikan, Dar Shadir, Beirut, ed. Ihsan Abbas, juz 3, hal. 284)

Sejarawan al-Hafiz al-Dzahabi berkata: “Kami mendapat informasi bahawa Abu al-Hassan al-Asy`ari bertaubat dari faham Muktazilah dan naik ke mimbar di Masjid Jami’ Kota Basrah dengan berkata, “Dulu aku berpendapat bahwa al-Quran itu makhluk dan Sekarang aku bertaubat dan bertujuan membantah terhadap faham Muktazilah”. (Siyar A`lam al-Nubala, al-Hafidz al-Dzahabi, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed. Syuaib al-Arnauth, 1994, hal. 89)

Sejarawan terkemuka, Ibn Khaldun berkata: “Hingga akhirnya tampil Syaikh Abu al-Hassan al-Asy`ari dan berdebat dengan sebagian tokoh Muktazilah tentang masalah-masalah shalah dan aslah, lalu dia membantah metodologi mereka (Muktazilah) dan mengikut pendapat Abdullah bin Said bin Kullab, Abu al-Abbas al-Qalanisi dan al-Harits al-Muhasibi dari kalangan pengikut Salaf dan Ahl al-Sunnah”. (Ibn Khaldum(2001), al-Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut,  ed. Khalil Syahadah, hal. 853)

Fakta yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun tersebut menyimpulkan bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar daripada faham Muktazilah, beliau mengikuti mazhab Abdullah bin Sa`id bin Kullab, al-Qalanisi dan al-Muhasibi yang merupakan pengikut ulama’ Salaf  dan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah.

Demikian juga, fakta sejarah yang dinyatakan di dalam buku-buku sejarah yang menulis biografi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari seperti Tarikh Baghdad karya al-Hafiz al-Khatib al-Baghdadi, Tabaqat al-Syafi`iyyah al-Kubra karya al-Subki, Syadzarat al-Dzahab karya Ibn al-Imad al-Hanbali, al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn al-Atsir, Tabyin Kizb al-Muftari karya al-Hafiz Ibn Asakir, Tartib al-Madarik karya al-Hafiz al-Qadhi Iyadh, Tabaqat al-Syafi`iyyah karya al-Asnawi, al-Dibaj al-Muadzahhab karya Ibn Farhun, Mir`at al-Janan karya al-Yafi`i dan lain-lain, semuanya sepakat bahwa setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari keluar dari faham Muktazilah, beliau kembali kepada mazhab  Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi Salaf.

Disamping itu, seandainya al-Imam Abu Hassan al-Asy`ari ini melalui tiga tahap aliran pemikiran, maka sudah tentu hal tersebut akan diketahui dan dikutip oleh murid-murid dan para pengikutnya karena mereka semua adalah orang yang paling dekat dengan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan orang yang melakukan kajian tentang pemikiran dan sejarah perjalanan hidupnya. Oleh itu sudah semestinya mereka akan lebih mengetahui daripada orang lain yang bukan pengikutnya, lebih-lebih lagi melibatkan tokoh besar yaitu al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari yang pasti menjadi buah mulut pelajar dan para alim ulama’. Oleh itu jelaslah, bahwa ternyata setelah kita merujuk pada kenyataan murid-murid dan para pengikut al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kita tidak akan menemui fakta sejarah yang menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan telah melalui tiga fase pemikiran yang di dakwa oleh golongan Wahabi/Salafi Palsu.

Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dan para pengikutnya bersepakat bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan faham Muktazilah dan beliau berpindah kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah seperti yang diikuti oleh al-Harits al-Muhasibi, Ibn Kullab, al-Qalanisi, al-Karabisi dan lain-lain.

Apabila kita mengkaji karya-karya para alim ulama’ yang mengikut dan pendukung mazhab al-Asy`ari seperti karya-karya yang dikarang oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, al-Syaikh Abu Bakr bin Furak, Abu Bakr al-Qaffal al-Syasyi, Abu Ishaq al-Syirazi, al-Hafiz al-Baihaqi dan lain-lain. Kita semua tidak akan menemukan satu fakta pun yang menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan mazhab yang dihidupkan kembali olehnya yaitu Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, sehingga tidak rasional apabila golongan Wahhabi/Salafi dakwaan mengatakan al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan mazhabnya tanpa diketahui oleh para murid-muridnya dan pendukungnya. Ini adalah kenyataan yang tidak masuk akal dan dusta yang sama sekali jauh dari kebenaran.

Golongan Wahabi/Salafi gadungan ini menyatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan mazhab yang dirintiskan olehnya bersandarkan metodologi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitabnya al-Ibanah `an Usul al-Diyanah dan sebagian kitab-kitab lainnya yang mengikuti metodologi tafwidh berkaitan sifat-sifat Allah di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Metodologi tafwidh ini adalah metodologi mayoritas ulama’-ulama’ Salaf al-Salih. Berdasarkan hal ini, al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari dianggap  menyalahi atau meninggalkan metodologi Ibn Kullab yang tidak mengikuti metodologi salaf sebagaimana yang di dakwa oleh golongan Wahabi ini.

Dari sini lahirlah sebuah pertanyaan, apakah isi kitab al-Ibanah yang di dakwa sebagai mazhab Salaf bertentangan dengan metodologi Ibn Kullab, atau dengan kata lain, adakah Ibn Kullab bukan pengikut mazhab Salaf seperti yang ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah? Pertanyaan di atas membawa kepada kita untuk mengkaji kenyataan berikutnya.

KEDUA, APAKAH IBN KULLAB BUKAN ULAMA’ SALAF DAN AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA`AH ?

Setelah al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan faham Muktazilah, dia mengikuti metodologi Abdullah bin Sa`id bin Kullab al-Qaththan al-Tamimi. Artikel tersebut telah menjadi kesepakatan bagi kita dengan kelompok yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase, tetapi mereka berbeda dengan kita, karena kita mengatakan bahawa metodologi Ibn Kullab sebenarnya sama dengan metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan tokoh ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi Salaf. Hal ini bisa dilihat dengan memperhatikan pernyataan para ulama’ berikut ini.

Al-Imam Tajuddin al-Subki telah berkata: “Bagaimanapun Ibn Kullab termasuk Ahl al-Sunnah, Aku melihat al-Imam Dhiyauddin al-Khatib, ayah al-Imam Fakhruddin al-Razi, menyebutkan Abdullah bin Said bin Kullab di dalam akhir kitabnya Ghayat al-Maram fi `Ilm al-Kalam, berkata: “Di antara teologi Ahl al-Sunnah pada masa khalifah al-Makmun adalah Abdullah bin Said al-Tamimi yang telah mengalahkan Muktazilah di dalam majlis al-Makmun dan memalukan mereka dengan hujjah-hujjahnya” (Al-Subki (t.t), Tabaqat al-Syafi`iyyah al-Kubra, Dar Ihya’ al-Kutub, Beirut, ed Abdul Fattah Muhammad dan Mahmud al-Tanahi, juz 2, hal. 300)

Al-Hafiz Ibn Asakir al-Dimasyqi telah berkata: “Aku pernah membaca tulisan Ali ibn Baqa’ al-Warraq, ahli hadits dari Mesir, berupa risalah yang ditulis oleh Abu Muhammad Abdullah ibn Abi Zaid al-Qairawani, seorang ahli fiqih mazhab al-Maliki. Dia adalah seorang tokoh terkemuka mazhab al-Imam Malik di Maghrib (Maroko) pada zamannya. Risalah itu ditujukan kepada Ali ibn Ahmad ibn Ismail al-Baghdadi al-Muktazili sebagai jawaban terhadap risalah yang ditulisnya kepada kalangan pengikut mazhab Maliki di Qairawan kerana telah memasukkan pandangan-pandangan Muktazilah. Risalah tersebut sangat panjang sekali, dan sebagian jawaban yang ditulis oleh Ibn Abi Zaid kepada ‘Ali bin Ahmad adalah sebagai berikut: Engkau telah menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah, padahal engkau tidak pernah menceritakan satu pendapatpun dari Ibn Kullab yang membuktikan dia memang layak disebut ahli bid`ah. Dan kami sama sekali tidak mengetahui adanya orang (ulama ’) yang menisbahkan Ibn Kullab kepada bid`ah. Justru fakta yang kami terima, Ibn Kullab adalah pengikut sunnah (ahl al-Sunnah) yang melakukan bantahan terhadap Jahmiyyah dan pengikut ahli bid`ah lainnya, dia adalah ‘Abdullah ibn Sa’id ibn Kullab (al-Qaththan, wafat 240H)”. (Tabyin Kidzb al-Muftari oleh al-Hafiz Ibn Asakir(1347H) tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, Maktabah al-Azhariyyah li at-Turats, cet.1, 1420H, hal 298 – 299)

Data sejarah yang disampaikan oleh al-Hafiz Ibn Asakir di atas adalah kesaksian yang sangat penting dari ulama’ sekaliber al-Imam Ibn Abi Zaid al-Qairawani terhadap Ibn Kullab, bahwa ia termasuk pengikut Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan bukan pengikut ahli bid`ah.

Al-Hafiz al-Dzahabi telah berkata: “Ibn Kullab adalah seorang tokoh ahli kalam (teologi – ilmu yg berkaitan dengan ketuhanan) daerah Bashrah pada zamannya.” Selanjutnya al-Dzahabi berkata: Ibn Kullab adalah ahli kalam yang paling dekat kepada Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah bahkan ia adalah juru debat ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah (terhadap Mu’tazilah). Ia mempunyai karya diantaranya al-Shifat, Khalq al-Af’al dan al-Radd ‘ala al-Mu’tazilah”. (Lihat Siyar A’lam al-Nubala, Maktabah al-Shafa, cet.1, 1424H, juz 7, hal 453)

Di dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala yang ditahqiqkan oleh Syeikh Syuaib al-Arnauth, pernyataan al-Dzahabi tersebut dipertegas oleh al-Syeikh Syuaib al-Arnauth dengan komentarnya mengatakan: “Ibn Kullab adalah pemimpin dan rujukan Ahl al-Sunnah pada masanya. Al-Imam al-Haramain menyebutkan di dalam kitabnya al-Irsyad bahwa dia termasuk sahabat kami (mazhab al-Asy`ari)”. (Siyar A’lam an-Nubala cetakan Muassasah al-Risalah (1994), Beirut, ed. Syuaib al-Arnauth, juz 11, hal. 175)

Demikian pula al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani menyatakan bahwa Ibn Kullab sebagai pengikut Salaf dalam hal meninggalkan takwil terhadap ayat-ayat dan hadith-hadith mutasyabihat yang berkaitan dengan sifat Allah. Mereka juga disebut dengan golongan mufawwidhah (yang melakukan tafwidh).(Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.), Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)

Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan bahawa al-Imam Ibn Kullab termasuk dalam kalangan ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah dan konsisten dengan metodologi Salaf al-Salih dalam pokok-pokok akidah dan keimanan. Mazhabnya menjadi inspirasi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari (perintis mazhab al-Asy`ari).

Di sini mungkin ada yang bertanya apakah metodologi Ibn Kullab hanya diikuti oleh al-Imam al-Asy`ari?

Jawabannya adalah tidak. Metodologi Ibn Kullab tidak hanya diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari saja, akan tetapi diikuti juga oleh ulama’ besar seperti al-Imam al-Bukhari yaitu pengarang Sahih al-Bukhari, kitab hadits yang menduduki peringkat terbaik dalam segi kesahihannya. Dalam konteks ini, al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani telah berkata :

“Al-Bukhari dalam semua yang disajikannya berkaitan dengan penafsiran lafaz-lafaz yang gharib (aneh), mengutipnya dari pakar-pakar bidang tersebut seperti Abu Ubaidah, al-Nahzar bin Syumail, al-Farra’ dan lain-lain. Adapun kajian-kajian fiqh, sebagian besar diambilnya dari al-Syafi’i, Abu Ubaid dan semuanya. Sedangkan permasalahan-permasalahan teologi (ilmu kalam), sebagian besar diambilnya dari al-Karrabisi, Ibn Kullab dan sesamanya”. (Ibn Hajar al-`Asqalani (t.t), Syarh Sahih al-Bukhari, Salafiyyah, Cairo, juz 1, hal. 293)

Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut menyimpulkan bahwa al-Imam Abdullah bin Said bin Kullab adalah Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang mengikuti metodologi ulama’ Salaf, oleh karena itu dia juga diikuti oleh al-Imam al-Bukhari, Abu al-Hassan al-Asy`ari dan lain-lain.

Di sini mungkin ada yang bertanya, apabila Ibn Kullab termasuk salah seorang tokoh ulama’ Salaf dan mengikuti Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, beliau (Ibn Kullab) juga diikuti oleh banyak ulama’ seperti al-Imam al-Bukhari dan lain-lain, lalu mengapa Ibn Kullab dituduh menyimpang dari metodologi  Salaf atau Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah?

Hal tersebut sebenarnya datang dari satu persoalan, yaitu tentang pendapat apakah bacaan seseorang terhadap al-Quran termasuk makhluk atau tidak. Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya berpandangan untuk tidak menetapkan apakah bacaan seseorang terhadap al-Quran itu makhluk atau bukan. Menurut al-Imam Ahmad bin Hanbal, pandangan bahwa bacaan seseorang terhadap al-Quran termasuk makhluk adalah bid`ah. Sementara al-Karabisi, Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Bukhari, Muslim dan lain-lain berpandangan tegas, bahwa bacaan seseorang terhadap al-Quran adalah makhluk. Berangkat dari perbedaan pandangan tersebut akhirnya kelompok al-Imam Ahmad bin Hanbal menganggap kelompok Ibn Kullab termasuk ahli bid`ah, meskipun sebenarnya kebenaran dalam hal tersebut berada di pihak Ibn Kullab dan kelompoknya. Dalam konteks ini al-Hafiz al-Zahabi telah berkata :

“Tidak diragukan lagi bahwa pandangan yang dibuat dan ditegaskan oleh al-Karabisi tentang masalah pelafazan al-Quran (oleh pembacanya) dan bahwa hal itu adalah makhluk, adalah pendapat yang benar. Akan tetapi al-Imam Ahmad enggan membicarakannya karena khawatir membawa kepada pandangan kemakhlukan al-Quran. Sehingga al-Imam Ahmad lebih cenderung menutup pintu tersebut rapat-rapat”. (Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 11, hal. 510)

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Kullab bukanlah ulama’ yang menyimpang dari metodologi Salaf yang mengikuti faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah, sehingga mazhabnya juga diikuti oleh al-Imam al-Bukhari, al-Asy`ari dan lain-lain. Sekarang apabila demikian, dari mana asal-usul pendapat bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan mazhab dan pendapat-pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab?

Pertanyaan ini mengajak kita untuk mengkaji artikel yang terakhir berikut ini.

KETIGA, KITAB AL-IBANAH ‘AN USUL AL-DIYANAH

Kitab al-Ibanah `an Usul al-Diyanah di dakwa sebagai hujjah bagi golongan yang mengatakan bahawa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari melalui tiga fase perkembangan di dalam kehidupannya. Memang harus diakui, bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah dan sebagian kitab-kitab yang lain juga dinisbahkan terhadapnya mengikuti metodologi yang berbeda dengan kitab-kitab yang pernah dikarang olehnya. Di dalam kitab al-Ibanah, al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengikuti metodologi tafwidh yang diikuti oleh mayoritas ulama’ Salaf berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Berdasarkan hal ini, sebagian golongan memahami bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sebenarnya telah meninggalkan mazhabnya yang kedua yaitu mazhab Ibn Kullab, dan kini beralih kepada metodologi Salaf.

Di atas telah kami paparkan, bahawa Ibn Kullab bukanlah ahli agama yang menyalahi ulama’ Salaf. Bahkan dia termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf dan konsisten mengikuti metodologi tafwidh sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan. Paparan di atas sebenarnya telah cukup untuk membatalkan dakwaan yang mengatakan bahawa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari meninggalkan metodologi Ibn Kullab dan berpindah ke metodologi Salaf, kerana Ibn Kullab sendiri termasuk dalam kalangan ulama’ Salaf yang konsisten dengan metodologi Salaf.

Oleh itu, bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang menjadi dasar kepada kelompok yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab?

Di sini, dapatlah kita ketahui bahawa kitab al-Ibanah yang asli telah membatalkan kenyataan golongan Wahhabi yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapatnya yang mengikuti Ibn Kullab, karena kitab al-Ibanah di tulis untuk mengikuti  metodologi Ibn Kullab, sehingga tidak mungkin  dakwaan yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari telah meninggalkan pendapat tersebut. Ada beberapa fakta sejarah yang mengatakan bahwa al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dengan mengikut metodologi Ibn Kullab, kenyataan ini disebut oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani di dalam kitabnya Lisan al-Mizan yaitu :

“Metodologi Ibn Kullab diikuti oleh al-Asy`ari di dalam kitab al-Ibanah”. (Ibn Hajar al-`Asqalani(t.t.), Lisan al-Mizan, Dar, al-Fikr, Beirut, juz 3, hal. 291)

Pernyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani ini menambah keyakinan kita bahwa Ibn Kullab konsisten dengan metodologi Salaf al-Salih dan termasuk ulama’ mereka, karena kitab al-Ibanah yang dikarang oleh  al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pada akhir hayatnya dan mengikuti metodologi Salaf, juga mengikuti metodologi Ibn Kullab. Hal ini membawa kepada kesimpulan bahawa metodologi Salaf dan metodologi Ibn Kullab ADALAH SAMA, dan itulah yang diikuti oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari setelah keluar dari Muktazilah.

Dengan demikian, kenyataan al-Hafiz Ibn Hajar al-`Asqalani tersebut juga telah membatalkan dakwaan golongan Wahhabi melalui kenyataan mereka yang mengatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengalami tiga fase perkembangan. Bahkan kenyataan tersebut dapat menguatkan lagi kenyataan yang menyatakan bahwa pemikiran al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari hanya mengalami dua fase perkembangan saja, yaitu fase ketika mengikuti faham Muktazilah dan fase kembalinya al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari kepada metodologi Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah yang sebenarnya sebagaimana yang diikuti oleh Ibn Kullab, al-Muhasibi, al-Qalanisi, al-Karabisi, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain. Dalam fase kedua ini al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari mengarang kitab al-Ibanah.

Dalil lain yang menguatkan lagi bahwa kitab al-Ibanah yang dikarang oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari sesuai dengan mengikut metodologi Ibn Kullab adalah fakta sejarah, kerana al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari pernah menunjukkan kitab al-Ibanah tersebut kepada sebagian ulama’ Hanabilah di Baghdad yang sangat menitik beratkan tentang fakta, mereka telah menolak kitab al-Ibanah tersebut karena tidak setuju terhadap metodologi al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Di dalam hal ini, al-Hafiz al-Zahabi telah berkata :

“Ketika al-Asy`ari datang ke Baghdad, dia mendatangi Abu Muhammad al-Barbahari (ketua mazhab Hanbali) dan berkata : Aku telah membantah al-Jubba’i. Aku telah membantah Majusi. Aku telah membantah Kristen. Abu Muhammad menjawab, Aku tidak mengerti maksud perkataanmu dan aku tidak mengenal kecuali apa yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad. Kemudian al-Asy`ari pergi dan menulis kitab al-Ibanah. Ternyata al-Barbahari tetap tidak menerima al-Asy`ari”. (Al-Dzahabi(1994), Siyar A`lam al-Nubala, Muassasah al-Risalah, Beirut, ed, Syuaib al-Arnauth, juz 12, hal. 82 dan juga juz 15, hal. 90 dan Cetakan Maktabah al-Shafâ, cet.1, 1424H, vol.9, hal.372; Ibn Abi Ya’la al-Farra’(t.t.) Tabaqat al-Hanabilah, Salafiyyah, Cairo, ed. Hamid al-Faqi, juz 2, hal. 18)

Fakta sejarah di atas menyimpulkan, bahwa al-Barbahari mewakili kelompok Hanabilah  tidak menerima konsep yang ditawarkan oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari. Kemudian al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari menulis kitab al-Ibanah dan diajukan kepada al-Barbahari, ternyata ditolaknya juga. Hal ini menjadi bukti bahwa al-Ibanah yang asli ditulis oleh al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tidak sama dengan kitab al-Ibanah yang kini diikuti oleh golongan Wahhabi. Kitab al-Ibanah yang asli sebenarnya mengikut metodologi Ibn Kullab.

Perlu diketahui pula, bahwa sebelum fase al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari, kelompok Hanabilah yang cenderung kepada penelitian fakta itu telah menolak metodologi yang ditawarkan oleh Ibn Kullab, al-Bukhari, Muslim, Abu Tsaury, al-Tabari dan lain-lain berkaitan dengan MASALAH BACAAN SESEORANG TERHADAP AL-QURAN APAKAH TERMASUK MAKHLUK ATAU BUKAN.

Sekarang, apabila kitab al-Ibanah yang asli sesuai dengan metodologi Ibn Kullab, lalu bagaimana dengan kitab al-Ibanah yang tersebar dewasa ini yang menjadi dasar kaum Wahhabi untuk mendakwa bahwa al-Asy`ari telah membuang mazhabnya ?

Berdasarkan kajian yang mendalam, para pakar telah membuat kesimpulan bahwa kitab al-Ibanah yang dinisbahkan kepada al-Imam Abu al-Hassan al-Asy`ari tersebut telah tersebar dewasa ini penuh dengan tahrif/distorsi, pengurangan dan penambahan. Terutama kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia dan ditahqiqkan oleh ulama Wahhabi. Untuk melihat bukti tahrif/distorsi yang dilakukan oleh kalangan Wahabi baca artikel ini: Pemalsuan Kitab Al-Ibanah Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.

Benar-benar wahabi memang sengaja MENYEBAR TIPU DAYA dan FITNAH pada semua umat Islam di dunia

Semoga setelah membaca dengan pelan-pelan, pikiran terbuka, tanpa ada emosi dan mengutamakan SIKAP OBYEKTIF, kita bisa lebih waspada akan apa-apa yang disampaikan oleh kaum salafy wahabi ini.

Semoga bermanfaat.

21 thoughts on “Benarkah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari Melalui 3 Fase Pemikiran? [Seperti yang diisukan Wahabiyyin]

  1. mantap sekali sanggahannya. kayak ulama. tapi sayang sekali yang menyanggah ini Junduh muhammad orangnya masih suka yasinan 3 hari, nujuh hari, suka haul (peringatan hari lahir habaib/persis acara natalannya kristen), bahkan suka bertawasul ke quburan. wahai jundu muhammad kalau benar – benar engkau ingin jadi tentaranya muhammad, maka beramallah sesuai dengan amalan Nabi Muhammad yang telah diajarkan kepada para Sahabat-nya tersebut. Cocokanlah apa yang sedang antum amalkan sekarang ini apakah pernah di amalkan oleh Rosulullah dan para sahabatnya. bahkan para Ulama yang antum ambil perkataannya sekalipun seperti Imam Syafe’i, Imam Bukhori, Imam Nawawi, Ibnu Hajar Asqolani, dll. Ana yakin sekali Imam Syafe’i tidak pernah melaksanakan yasinan, haul, dan tetek bengek yang habaib – habaib lakukan. Bahkan Imam Bukhori pun tidak pernah, bahkan Imam Nawawi pun tidak pernah. jadi kalau ingin selamat jangan sekedar membaca kitab Ulama saja tetapi juga cocokanlah antara tatacara ibadah yang para Ulama amalkan dengan apa yang telah engkau amalkan kalau cocok silahkan kalau tidak ayoo tinggalkan. dan yang paling antum waspadai adalah nukilan ulama – ulama palsu yang selalu menukil dengan kepalsuan para Ulama yang mebawa kebenaran. Karena yang benar itu pasti amalannya sesuai dengan apa yang diamlakan oleh Rosululloh dan para sahabatnya.

    • hoho…hamba Alloh wei, pernah berguru dan menelaah hal hal ghaib bersama guru haqiqat? pernah tahqiq ahwalmu dengan mursyid? pernah bertemu nabi Muhammad dalam mimpi atau yakozhah…

      jangan berkata kata seolah-olah kau mendapat mandat daripada Rasulullah.. jaga lidah dan tangan kau yang menulis..

      kau kata dusta terhadap para habaib apa lagi pulak nak ngejek tentang para imam?, apa takrif bidah disisi Imam Nawawi? apa takrif bidah disisi Imam Asy-Syafie? dan siapa pulak yang pertama sekali berbuat bidah? Abu Bakar berbuat bidah, Umar juga berbuat bidah… Abu Bakar membuku Quran, Umar membuat shalat terawih secara berjamaah secara 20 rakaat (bahkan ada riwayat mengatakan memang Rasulullah berbuat 20 rakaat terawih), Imam Bukhari membukukan hadith hadith, para imam yang bertaraf mujtahid mutlak mencipta mazhab.. tu semua bidah…

      • apa dikira habaib itu cuma yg setuju tahlilan dan maulidan dan asyairih…. apa tidak tahu diantara ulama yg kalian tuduh wahabi ada dzuriyah Nabi shollallohu alaihi wassalam juga ?…hanya mereka tawadhu , tidak suka memamerkan nasabnya dengan gelar..

        • hahahahah….. lucu sekali kau ini sok tau, para sayyid tidak ada yg mengikuti manhaj wahabi salaf salafan…. yang ada bermadzhab Hambali dan Hanafi itu baru benar mereka ada… kalo mengikuti manhaj salaf salafiyan tidak ada…. saya hidup dan lahir di kota lahirnya manhaj salaf salfiyan…

    • ente ngomong apa? apa ente tidak bisa berdikusi dengan baik? tolong sesuaikan dengan topik artikel ente dalam membantahnya. janganlah mengigau, bukalah mata dan hati ente untuk mencari ilmu yang haq.

      masalah yasinan dan tahlilan, siapa yang melarang dan mengharamkannya? dalil apa yang melarang? tapi jangan dijawab disini, karena bukan topiknya, tanya dan diskusilah disini http://artikelislami.wordpress.com/2011/07/25/mengirim-hadiah-pahala-bagi-mayyit-menurut-ibnu-taymiyyah/ atau diblog ini ada di https://jundumuhammad.wordpress.com/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/

      kembali ke topik, apa ente punya bukti kalo wahabiun tidak memalsukan kitab2 klasik? sejauh mana ente mengenal muhammad ibn abdul wahab?

    • tahlil kan isinya baca Alquran, tasbih, tahlil, tahmid, dan lain2
      kenapa bisa dikatakan bid’ah, rasulullah kan juga baca Alqur’an, tasbih, tahmid takbir dan lain2nya,…
      aku yakin ente masih anak2 yang belum balig jadi belum bisa ngebedain mana yang bener dan mana yang salah, ane saranin ente pulang saja ke bapak ente dan dengerintuh nasehat bapak ente yaaa

  2. bismillah..

    maaf ustadz. ada yang membuat saya bingung. sebenarnya bukan wahabi yang meng-isukan imam asy’ari mempunyain 3 fase tetapi ulama yang wafat jauh sebelum wahabi yang mengatakannya

    Berkata imama Ibnu Katsir : ‘Disebutkan bahwa Abul-Hasan mempunyai tiga keadaan (fase). Fase Pertama, fase Mu’tazilah yang telah ia tinggalkan secara total. Fase Kedua, menetapkan sifat ‘aqliyyah Alloh, yaitu : Al-Hayaah (Hidup), Al-‘Ilm (Mengetahui), Al-Qudroh (Berkuasa), Al-Iroodah (Berkehendak), As-Sam’ (Mendengar), Al-Bashor (Melihat), dan Al-Kalaam (Berkata-kata). Namun ia men-ta’wil sifat khabariyyah seperti Al-Wajh (Wajah), Al-Yadain (Dua Tangan), Al-Qodam (Kaki), As-Saaq (Betis), dan yang semisalnya. Fase Ketiga, menetapkan seluruh sifat Alloh tanpa takyif, tasybiih, dan membiarkannya menurut metode/manhaj salaf. Dan itulah jalan yang ditempuhnya dalam Al-Ibaanah yang merupakan tulisannya terakhir kali” [Ittihaafus-Saadah Al-Muttaqiin, 2/3 – melaui perantaraan Abul-Hasan Al-Asy’ariy oleh Hammaad Al-Anshooriy – maktabah saaid].

    Adz-Dzahabiy menyepakati adanya tiga fase dalam diri Abul-Hasan, namun dengan bahasa berbeda :

    فله ثلاثة أحوال: حال كان معتزلياً، وحال كان سنياً في البعض دون البعض، و حال كان في غالب الأصول سنياً، وهو الذي علمناه من حاله

    “Ia mempunyai tiga keadaan (fase) : Fase awal sebagai seorang Mu’tazilah, fase seorang Ahlus-Sunah dalam sebagian perkara namun tidak di perkara lainnya, dan fase secara umum ia berada di atas prinsip Ahlus-Sunnah. Itulah yang kami ketahui dari keadaannya” [Al-‘Arsy, 1/400]. [ ustadz abu al jauzaa, Abul-Hasan Al-Asy’ariy Bertaubat ke ‘Aqidah Asy’ariyyah atau Salafiyyah ?].

    dan antum mengatakan bahwa al ibanah telah dipalsukan oleh wahabi tetapi mengapa imam ibnu katsir juga menyatakan 3 fase imam asy’ari dengan melihat dari kitab al ibanah? padahal ia wafat beratus tahun sebelum masa wahabi?

    • Bismillah,

      Di dalam kitab ithaafussaadah memang disebutkan perkataan ibn Katsir tersebut. Kalau dikaji lebih detail dan mendalam mengenai penjelasan ibn Katsir tentang 3 keadaan al-Imam abu al-Hasan al-Asy’ari, sejatinya akan menghasilkan kesimpulan bahwa al-Imam abu al-Hasan al-Asy’ari hanya melewati 2 fase saja, fase pertama masih mu’tazilah dan fase kedua & ketiga adalah fase ahlussunnah.

      1. keadaan ketika beliau masih seorang mu’tazilah
      2. keadaan ketika beliau menetapkan sifat aqliyyah yang tujuh, dan menta’wil juz’iyyah (teks bermakna jisim/organ) yang disifatkan kepada Allah Ta’aala.
      3. dan, keadaan ketika beliau menetapkan semua sifat dengan membiarkan apa adanya (tidak mena’wil) tanpa takyif dan tasybih.

      penjelasan:
      – keadaan pertama menjelaskan bahwa beliau masih sebagai seorang yang berpaham mu’tazilah, kita semua sepakat bahwa paham mu’tazilah adalah sesat.
      – keadaan yang kedua dan ketiga sebenarnya adalah mengikuti metode salaf ash-sholih. Karena para salaf ash-sholih juga mengajarkan bahwasanya teks-teks yang mengandung makna juz’iyyah (jisim/organ) harus dita’wil sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian Allah Ta’aala. Sebagai contoh saya sebutkan di dalam tafsir ibn Katsir juga, mengenai Tafsir Surat adz-Dzaariyaat:47, disitu ibn Katsir menjelaskan bahwa kata “bi aydi” dita’wil oleh para salaf ash-shalih dengan “bi quwwah”, yang mena’wil demikian adalah ibn Abbas, Mujahid, Qatadah, ats-Tsauri.

      بأيد ﴾ أي: بقوة. قاله ابن عباس، ومجاهد، وقتادة، والثوري، وغير واحد)

      Dan semua kitab tafsir yang mu’tabar menjelaskan tentang ta’wil yang dilakukan para salaf ash-shalih ini, silakan lihat di tafsir ath-thabari, tafsir jalalain, tafsir qurthubi perihal QS. Adz-Dzariyat:47.

      Kesimpulannya, metode ta’wil juga termasuk metode yang diajarkan oleh para salaf ash-shalih di dalam tanzih atas teks-teks mutasyabihat.

      – mengenai keadaan yang ketiga, dimana beliau membiarkan teks mutasyabihat tersebut apa adanya tanpa takyif, tanpa tasybih. inipun juga merupakan metode yang diajarkan para salaf ash-sholih juga.
      =================================================

      Di dalam kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’aan, al-Imam Badruddin az-Zarkasyi menerangkan:

      “Telah berbeda pendapat para ulama’ mengenai ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabihat, pendapat-pendapat tersebut terbagi atas 3 kelompok:
      Kelompok Pertama: Bahwasanya kelompok ini berpendapat tidak boleh dita’wil, namun diberlakukan sesuai dengan makna dzahirnya, dan tidak dilakukan ta’wil apapun daripadanya, dan kelompok ini adalah kelompok musyabbihah.

      Kelompok yang Kedua: Bahwasanya kelompok ini berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu boleh dita’wil, akan tetapi kami sedapat mungkin menghindari untuk melakukannya, disertai dengan tanzih (menyucikan) I’tiqad kami dari tasybih (menyerupakan Allah Ta’aala dengan makhluk) dan ta’thiil (menafikan sifat-sifat Allah Ta’aala). Dan kami mengatakan: Tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah Ta’aala semata. Dan yang demikian adalah perkataan dari kalangan salaf.

      Kelompok yang Ketiga: Bahwasanya kelompok ini berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat harus dita’wil. Dan mereka mena’wilnya sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian Allah Ta’aala.

      Pendapat yang diusung oleh kelompok pertama (musyabbihah) adalah bathil. Sedangkan pendapat yang diusung dua kelompok terakhir adalah pendapat yang dinukil dari para Shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam.”
      (Disarikan dari kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’aan juz 2 halaman 78, karya al-Imam Badruddin az-Zarkasyi, Tahqiiq: Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Maktabah Daar at-Turaats, Kairo, cetakan ketiga, 1404H/1983M)

      ===================================
      Al-Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani juga memberikan penjelasan di dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuul ilaa Tahqiiq al-Haq min ‘ilm al-Ushuul sebagai berikut:

      “Fashal Kedua: Perihal ayat-ayat yang boleh dilakukan ta’wil, padanya terbagi menjadi dua bagian:
      Pertama: ayat yang berkaitan dengan furu’, hal ini tidak ada perbedaan di kalangan ulama’.
      Kedua: Ayat-ayat yang berkaitan dengan ushul (pokok-pokok agama) seperti aqidah, ushuluddin, dan sifat-sifat Allah Ta’aala.
      Para ulama’ berbeda pendapat berkaitan dengan bagian yang kedua ini. Perbedaan pendapat ini terbagi menjadi 3 kelompok.
      Kelompok Pertama: Kelompok yang berpendapat bahwasanya tidak boleh melakukan ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat, tetapi diberlakukan sesuai dengan makna dzahirnya dan tidak boleh melakukan ta’wil apapun terhadapnya. Pendapat yang seperti ini adalah pendapat dari kalangan Musyabbihah.
      Kelompok Kedua: Kelompok yang berpendapat bahwasanya ayat-ayat tersebut boleh dita’wil, akan tetapi kami menghindar untuk melakukan ta’wil disertai dengan tanzih (menyucikan) I’tiqad kami dari tasybih (menyerupakan Allah Ta’aala dengan makhluk) dan ta’thiil (menafikan sifat-sifat Allah Ta’aala) sebagaimana firman Allah Ta’aala:
      وما يعلم تأويله إلا الله – سورة أۤل عمران ٧
      {Tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali hanya Allah Ta’aala – QS. Aali ‘Imran: 7}
      Ibn Burhan berkata: pendapat Ini adalah pendapat dari kalangan salaf.
      Kelompok yang Ketiga: Kelompok yang berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut harus dita’wil.
      Ibn Burhan berkata: Pendapat dari kelompok yang pertama adalah pendapat yang bathil. Sedangkan dua pendapat yang terakhir dinukil dari para shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan pendapat dari kelompok yang ketiga ini dinukil dari Sayyidina ‘Ali, ibn Mas’ud, ibn ‘Abbas, dan Ummu Salamah.”
      (Disarikan dari kitab Irsyad al-Fuhuul ilaa Tahqiiq al-Haq min ‘ilm al-Ushuul, karya imam asy-Syaukani, juz 2 halaman 757. Cetakan Daar al-Fadhiilah. Riyadh. Tahun 1421H/2000M).
      =============================================
      Lihat http://jundumuhammad.net/2012/04/27/tawil-dan-tafwidh-di-kalangan-ulama-salaf-ash-shalih/

      Kalau ada yang menganggap penggunaan metode ta’wil yang sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian Allah Ta’aala adalah sesat, maka konsekuensinya adalah secara tidak langsung ia telah menyesatkan para ulama salaf ash-shalih seperti ibn Abbas, ibn Mas’ud, Sayyidina ‘Ali, Ummu Salamah, Mujahid, Qatadah, ats-Tsauri sedangkan mereka semua adalah tergolong para shahabat Nabi yang diridhoi Allah Ta’aala.

      Wallahu A’lam.

      • tuduhan bahwa orang yang meminta syafaat pada Nabi adalah syirik, juga tuduhan bahwa wahabi adalah musyabbihah, dua2nya biarpun berbeda tapi bermuara dari satu hal yang sama, yakni kejahilan dalam membedakan sifat yang ditujukan pada Allah dan sifat yang ditujukan pada makhluq.

        sifat rouf Allah dengan sifat rouf Nabi jelas beda
        Syafaat milik Allah dan Syafaat milik Nabi jelas beda
        sifat yad Allah dengan yad makhluk jelas beda

        jadi aneh jika ada orang mengatakan Allah mempunyai yad terus dikatakan mujassim, sama anehnya dengan orang meminta syafaat pada Nabi terus dikatakan syirik.

        ta’wil memang tsabit dari salaf, tapi itu terbatas pada hal2 yang memang harus atau pantas ditakwil. Ada banyak sekali ayat dan hadits yang tidak mungkin ditakwil, dan disinilah ulama salaf menyatakan itsbat, menetapkan makna aslinyanya sembari sembari memasrahkan hakikat dan kaifiyyahnya pada Allah.

  3. Ping-balik: Letakkan dunia pada tanganmu dan akhirat pada hatimu – Kerio Bungsuh

  4. Ping-balik: PEMAHAMAN MENGHEMPASKAN NERAKA BAGI UMAT MANUSIA – DHARMA RADJA

Tinggalkan komentar