Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 17


Pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati harus dipahami dengan baik karena banyak orang tidak memahaminya dengan benar lalu membangun persepsi-persepsi yang sesuai dengan pemahamannya.

Apakah tidak engkau perhatikan ketika Allah Subhaanahu wa ta’aala menyuruh kaum muslimin menghadap Ka’bah saat shalat, mereka menyembah Allah dengan menghadapnya dan menjadikannya sebagai kiblat? Tetapi Ka’bah bukanlah obyek penyembahan. Mencium Hajar Aswad adalah penghambaan kepada Allah Subhaanahu wa ta’aala dan mengikuti Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam. Seandainya ada kaum muslimin yang berniat menyembah Ka’bah dan Hajar Aswad niscaya mereka menjadi musyrik sebagaimana para penyembah berhala. 

Perantara (mediator/ wasithah) adalah sesuatu yang harus ada. Eksistensinya bukanlah sebagai bentuk kemusyrikan. Tidak semua orang yang menggunakan mediator antara dirinya dan Allah Subhanahu wa ta’aala dipandang musyrik. Jika semua dianggap musyrik niscaya semua orang dikategorikan musyrik karena segala urusan mereka didasarkan atas eksistensi mediator. Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam menerima al-Qur’an via Jibril dan Jibril adalah mediator beliau.

Sedang Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam adalah mediator besar bagi para sahabat. Ketika mengalami problem yang berat mereka datang dan mengadukannya kepada beliau dan menjadikannya sebagai mediator menuju Allah Subhanahu wa ta’aala. Mereka memohon doa kepada beliau dan beliau tidak menjawab, “Kalian telah musyrik dan kafir karena tidak boleh mengadu dan memohon kepada saya. Kalian harus datang, berdoa dan memohon sendiri karena Allah lebih dekat dengan kalian dari pada saya”. Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam tidak pernah berkata demikian. Beliau malah berdiam dan dan memohon pada saat di mana mereka mengatahui bahwa Pemberi Sejati adalah Allah Subhanahu wa ta’aala dan yang mencegah, melimpahkan dan pemberi rizqi juga Allah Subhanahu wa ta’aala. Mereka juga tahu bahwa beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam memberi atas izin dan karunia Allah Subhanahu wa ta’aala.

Beliaulah yang mengatakan, ”Saya adalah pembagi dan Allah adalah pemberi”. Berangkat dari pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan terhadap obyek yang dihormati ini maka jelas diperbolehkan menetapkan manusia biasa manapun bahwa ia telah mengatasi kesulitan dan mencukupi kebutuhan dengan pengertian bahwa ia adalah mediator dalam pemenuhan kebutuhan tersebut.

Kalau manusia biasa bisa berperan seperti ini maka bagaimana dengan Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih wa sallam yang notabene junjungan mulia, Nabi Agung, makhluk termulia dunia akhirat, junjungan jin dan manusia serta makhluk Allah Subhanahu wa ta’aala yang paling utama secara mutlak? Bukankah beliau pernah bersabda: (“Barangsiapa membantu mengatasi satu dari banyak kesulitan seorang mu’min di dunia, maka Allah akan melepaskannya kesusahan pada hari kiamat.”) ?  (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka orang mu’min adalah orang yang mengatasi segala kesulitan.

Bukankah beliau juga bersabda: (“Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya maka saya akan berdiri di dekat timbangan amalnya. Jika timbangan amal baik itu lebih berat maka aku biarkan, jika tidak maka aku akan memberinya syafaat”)?

Maka orang mu’min adalah orang yang mencukupi segala kebutuhan.

 Bukankah Beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam bersada:

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ لهُ

Barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya.”

Bukankah Nabi shollallaah ‘alaih wa sallam bersada: (“Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang didatangi banyak orang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”) ?

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Allah senantiasa membantu hamba-Nya sepanjang ia membantu saudaranya.”

مَنْ أَغَاثَ مَلْهُوفًا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ثَلاَثَةً وَسَبْعِينَ حَسَنَةً

“Siapapun yang menolong orang teraniaya maka Allah akan menulis baginya 73 kebaikan.”
(HR. Abu Ya’la, al-Bazzar dan al-Baihaqi)

Dalam konteks ini orang mu’min adalah yang mengatasi, membantu, menolong, menutupi dan yang menjadi tempat pengaduan meskipun sesungguhnya pelaku sejatinya adalah Allah Subhanahu wa ta’aala. Namun berhubung ia adalah mediator dalam menangani masalah-masalah tersebut maka sah menisbatkan tindakan-tindakan tersebut kepadanya.

Dalam koleksi hadits-hadits Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam terdapat banyak hadits yang menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa ta’aala menghindarkan siksaan dari penduduk bumi berkat orang-orang yang beristighfar dan mereka yang rajin menghidupkan masjid dan Dia juga memberi rizqi, menolong dan menjauhkan musibah dan tenggelam dari penduduk bumi berkat mereka. Ath-Thabrani dalam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam as-Sunanmeriwayatkan dari Mani’ ad-Dailami ra. bahwa ia berkata : Rasulullah saw. bersabda: “Jikalau tiada para hamba Allah yang sholat, para bayi yang menyusui dan binatang yang merumput niscaya adzab akan diturunkan dan orang-orang yang terkena adzab itu akan dihancurkan”.  

Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’d ibn Abi Waqqash Radhiyallaah ‘anhu bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda:

هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ ؟

”Bukankah kalian mendapat kemenangan dan rizki hanya karena orang-orang lemah kalian”.

At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dikategorikan shahih oleh al-Hakim dari Anas Radhiyallaah ‘anhu bahwa Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda:

لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ

Barangkali kamu mendapat rizqi berkat saudaramu”.

Dari Abdullah ibn Umar radhiyallaah ‘anhu bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya Allah memiliki para makhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Orang-orang datang kepada mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka adalah orang-orang yang aman dari adzab Allah.” (HR. Thabrani dalam al-Kabiir,  Abu Nu’aim dan al-Qudlo’i dengan status Hasan) 

Dari Jabir ibn Abdullah radhiyallaah ‘anhu bahwa Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda : ”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’aala, dengan sebab keshalihan seorang laki-laki muslim akan membuat anak, cucu, warga desanya dan desa-desa sekitarnya menjadi shalih dan mereka senantiasa berada dalam lindungan Allah sepanjang laki-laki shalih itu tinggal bersama mereka”. Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dalam tafsirnya:2341 dan an-Nasa’i dalam al-Mawa’idz dari as-Sunan al-Kubra sebagaimana keterangan dalam at-Tuhfah:13/380.Para perawi hadits ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Shahih al-Bukhari dan al-Muslim selain guru an-Nasa’i yang dikategorikan tsiqah dan wa fihi kalamun.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallaah ‘anhu berkata: Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya Allah menghindarkan bala’ berkat seorang laki-laki shalih, seratus keluarga dari tetangganya,”.

Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman Allah Subhaanahu wa ta’aala:  “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (HR. Thabrani).

Dari Tsauban seraya memarfu’kan hadits berkata: ”Di tengah kalian senantiasa ada 7 orang wali di mana berkat mereka kalian diberi pertolongan, hujan dan rizki sampai tiba hari kiamat”.

Dari ‘Ubadah ibn Shamit Radhiyallaah ‘anhu berkata: Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda:

الأبدال فى أمتى ثلاثون بهم تقوم الأرض وبهم يُمطرون وبهم يُنصرون

Wali badal (Abdaal) dalam ummatku ada 30. Berkat mereka kalian diberi hujan dan mendapat pertolongan”.

Qatadah berkata:

إِنِّي لأَرْجُو أَنْ يَكُونَ الْحَسَنِ مِنْهُمْ

Sungguh saya berharap Hasan al-Bashri termasuk mereka”. (HR. Thabrani).

Empat hadits di atas disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (QS. al-Baqarah:251). Ayat ini layak dijadikan argumen dan dari keempatnya status hadits menjadi shahih.

Dari Anas radhiyallaah ‘anhu berkata: Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: ”Bumi tidak akan sepi dari 40 laki-laki seperti Khalilurrahman Ibrahim ‘alaih as-salaam Berkat mereka kalian disirami hujan dan diberi pertolongan. Jika salah seorang meninggal maka Allah akan menggantinya dengan orang lain.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath dan isnad-isnad hadits ini hasan. Demikian seperti yang termaktub di dalam Majma’ az-Zawaid: j.10/62)

Insya’ Alloh bersambung.

Semoga bermanfaat.

2 thoughts on “Seri Kajian Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah – Bagian 17

  1. شكرا على نقلك لكلام السيد محمد علوي المالكي وجزاك الله خير جزاء TRIMA KASIH TELAH MENUKIL KALAM ASSAYYID MUHAMMAD ALAWI ALMALIKI SEMOGA ALLAH MEMBERI PAHALA SEBAIK2NYA. KALAU BOLEH BERIKAN TUKILAN LAINNYA WASSALAM.

Tinggalkan komentar