Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘alaihi Wa Sallam Bagian 01


[Catatan Penting: Fasal-fasal yang kami jelaskan kali ini adalah penjelasan tentang tata cara sholat sebagaimana diajarkan oleh Nabi Shollallaahu ‘alaih wa sallam, yang mana tata cara ini sudah umum dilakukan oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dan bukan Pembahasan Mengenai Tata Cara Sholat Menurut Nashiruddin al-Albani]

Sholat merupakan salah satu bentuk ibadah yang diwajibkan Allah Ta’aala kepada seluruh ummat Islam. Seorang muslim yang melaksanakan sholat dengan istiqamah, menjaga kekhusyu’an dan ikhlas untuk menyembah dan mengharap ridho-Nya akan merasakan betapa besar faidah dan fadhilah sholat baginya.

Sholat juga merupakan sebuah ibadah yang tata caranya sudah ditentukan dan dicontohkan oleh Rasulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صلوا كما رأيتموني أصلي

Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat. (HR. Bukhari)

Oleh sebab itulah, setiap muslim  harus tahu bagaimana tata cara sholat sebagaimana Rasulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sholat. Dan inilah penjelasannya.

1. Berdiri Menghadap Kiblat

Sholat diawali dengan berdiri menghadap kiblat bagi orang yang mampu. Jika tidak mampu dapat dilakukan dengan cara duduk atau tidur miring, sebagaimana sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:

 

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan dari ‘Abdullah dari Ibrahim bin Thohman berkata, telah menceritakan kepada saya al-Husain al-Muktib dari Abu Buraidah dari Imran ibn Hushain Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: Pada saat aku terkena penyakit bawasir, aku bertanya kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tentang caraku mengerjakan sholat. Maka Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sholatlah dengan cara berdiri, jika tidak mampu maka duduk, dan bila tidak mampu maka tidur miring.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 1050)

Hukum berdiri di dalam melaksanakan sholat fardhu adalah wajib. Sementara pada sholat sunnah, hukumnya adalah sunnah. Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdul Warits, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Husain al-Mu’allim dari Abdullah ibn Buraidah bahwa ‘Imran ibn Hushain Radhiyallaahu ‘anhu adalah seorang yang pernah menderita sakit wasir. Dan suatu ketika Abu Ma’mar berkata, dari Hushain yang berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam perihal seseorang yang melaksanakan sholat dengan duduk. Maka Beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Siapa yang sholat dengan berdiri maka itu lebih utama. Dan siapa yang melaksanakan sholat dengan duduk maka baginya setengah pahala dari orang yang sholat dengan berdiri dan siapa yang sholat dengan  dengan tidur (berbaring) maka baginya setengah pahala orang yang sholat dengan duduk.” Berkata Abu Abdullah: “Menurutku yang dimaksud dengan tidur adalah berbaring.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 1049)

Tata cara berdiri adalah kedua kaki diluruskan. Antara ujung keduanya direnggangkan sekira satu jengkal, dan diantara kedua tumit sekira empat jari. Wajah ditundukkan memandang ke arah tempat sujud. Kemudian membaca surat an-Naas sebagai permohonan kepada Allah Ta’aala agar dijauhkan dari godaan syaithan. Di sebutkan di dalam kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Imam al-Ghazali Rahimahullaahu Ta’aala:

“Hendaklah berdiri menghadap kiblat seraya meluruskan dua kaki dan tidak merapatkannya. Berdiri dengan tegak kemudian membaca surah an-Naas sebagai permohonan agar dijaga dari godaan syaithan yang terkutuk.” (Bidayatu al-Hidayah halaman 44)

Setelah itu disunnahkan melafadzkan niat dengan tujuan untuk membantu menghadirkan niat di dalam hati. Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani di dalam kitab Kasyifatu as-Saja Syarh Safinatu an-Najah pada sub bab yang menyebutkan rukun-rukun Sholat, beliau menjelaskan:

“Adapun yang pertama adalah niat di dalam hati. Tidak wajib diucapkan dengan lisan. Akan tetapi mengucapkan niat hukumnya adalah sunnah untuk membantu hati melafadzkan niat.” (Kasyifatu as-Saja Syarh Safinah an-Najah halaman 65)

 Dalam beberapa kesempatan, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melafadzkan niat, misalnya dalam ibadah Haji. Dijelaskan dalam sebuah hadits:

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari yahya bin Abu Ishaq dan Abdul Aziz bin Shuhaib dan Humaid bahwa mereka mendengar dari Shahabat Anas Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji.” (Shahih Muslim No. 2194)

Konteks hadits diatas berbicara dalam persoalan haji. Akan tetapi sholat dapat di-qiyas-kan kepada haji. Jika ketika melaksanakan ibadah haji sunnah melafadzkan niat, maka dalam sholat juga demikian, dianjurkan melafadzkan niat dengan tujuan membantu hati agar juga dapat melafadzkan niat.

Lebih jelas lagi ditegaskan oleh Syaich Hasan ibn ‘Ali as-Saqafi sebagai berikut:

“Melafadzkan niat ketika hendak bertakbiratul-ihram adalah sunnah. Pada saat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seluruh amal perbuatan bergantung kepada niat”, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah bersabda, “Keraskanlah (lafadzkanlah) niatmu”. Oleh karena itu, orang yang menghadirkan niat di dalam hatinya dan tidak diucapkan, maka sah sholatnya. Demikian pula jika ia mengucapkan dengan lisannya, sholatnya juga sah dan ia telah melaksanakan perbuatan sunnah. Hal yang demikian ini sangat berbeda dengan pendapat segelintir orang yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah yang tercela. Bagaimana mungkin melafadzkan niat menjadi bid’ah sedangkan di dalam beberapa ibadah yang lain Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam justru melakukannya (melafadzkan niat), misalnya pada saat Beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memperdengarkan kepada orang banyak di waktu melaksanakan ihram untuk haji, yakni ucapan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Labbaika bi ‘umratin wa hajjin” (Yaa Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk ‘umrah dan haji). Begitu pula ketika pada suatu saat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menemui sayyidah ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa untuk makan pagi. Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah ada makanan?” ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa menjawab “Tidak ada”. Kemudian Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Kalau begitu aku akan berpuasa”. (Shahih Sifat Shalat an-Nabi halaman 68)

2. Takbiratul Ihram

Setelah melafadzkan niat, segera mengucapkan takbiratul-ihram. Disebut takbiratul-ihram karena dengan takbir tersebut, dapat mengharamkan semua perbuatan yang sebelumnya boleh dilakukan, misalnya berbicara, makan, minum, bergerak yang banyak dan sebagainya.

Pada saat mengucapkan takbiratul-ihram, niat sholat disertakan di dalam hati. Inilah niat yang sesungguhnya di dalam sholat. Artinya jika seseorang berniat sebelum takbiratul-ihram maka sholatnya tidak sah, begitu pula jika berniat sesudah takbiratul-ihram.

Di dalam kitab Kasyifatu as-Saja Syarh Safinatu an-Najah disebutkan:

“Dan wajib menyertakan niat dengan takbiratul ihram, karena hal itu adalah kewajiban pertama yang dilaksanakan dalam sholat.” (Kasyifat as-Saja halaman 65)

Adanya kewajiban niat ini berdasarkan sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:

Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Maslamah ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad ibn Ibrahim dari Alqamah ibn Waqash dari Umar ibn Khatthab Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersada, “Seluruh amal perbuatan tergantung kepada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan. Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia diniatkan.” (Shahih al-Bukhari hadits no. 52)

Ketika melaksanakan takbiratul-ihram, disunnahkan mengangkat tangan hingga lurus dengan pundak. Sementara jari-jari tangan diluruskan dan tanpa menggenggam telapak tangan. Di dalam kitab Bidayah al-Hidayah dijelaskan:

“Angkatlah kedua tanganmu ketika takbiratul-ihram sampai lurus pada kedua pundakmu setelah sebelumnya tegak lurus  ke bawah. Kedua tangan dibentangkan dan jari-jarinya diluruskan, tidak terlalu dirapatkan atau direnggangkan. Caranya adalah tangan diangkat hingga dua jempol bertemu dengan dua daun telinga, dan jari telunjuk berada di atas dua telinga dan telapak tangan berada di atas kedua pundak.” (Bidayah al-Hidayah halaman 45)

Hal ini juga dilaksanakan ketika akan ruku’, I’tidal dan berdiri dari tasyahud awal. Didasarkan pada hadits shahih riwayat Abdullah ibn Umar Radhiyallaahu ‘anhu:

Telah menceritakan kepada kami Abu al-Yaman ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari az-Zuhri ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Salim bin ‘Abdillah Radhiyallaahu ‘anhu, sesungguhnya Abdillah ibn Umar berkata: “Saya melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memulai sholat dengan takbiratul-ihram seraya mengangkat kedua tangannya hingga lurus pada kedua pundaknya. Hal itu dilakukan juga pada saat takbir untuk ruku’. Dan melakukannya ketika mengucapkan “sami’allaahu liman hamidah”, kemudian membaca “robanaa lakal-hamdu”. Tetapi Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika akan sujud dan berdiri dari sujud.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 696)

Insya’ Alloh bersambung…

44 thoughts on “Tata Cara Sholat Sebagaimana Diajarkan Nabi Shollallaahu ‘alaihi Wa Sallam Bagian 01

  1. aslm.ustadz, kalau takbir itu, telapak tangannya menghadap kedepan atau kesamping menghadap telinga? mohon jawabannya, agar saya menjadi yakin.(arif)

  2. السلام عليكم ورحمة الله وبركاته , الحمد لله رب العالمين

    sifat shalat nabi صلى الله عليه وسلم ajib, ditunggu terus kelanjutannya

  3. Assalamu’alaikum yaa Ustadz,

    Saya mau bertanya, apakah ini salinan dari buku yang dituliskan oleh Habib Hasan bin Ali As Segaff mufti mazhab syafi’iy, guru terkenal di Mekah Al Mahmiyyah (Wafat 1355 H)?

    Hanya untuk memastikan agar tidak salah, sebagaimana banyak buku2 yang beredar yang di buat oleh kaum Wahabi-Salafi…

    dari
    Sayid Akhmad Fauzi bin Yahya
    Bontang, Kalimantan Timur

  4. melafaskan niat untuk membantu hati? Lha yang memerintah mulut untuk melafaskan niat kan “HATI”. Tidak ada gerakan tubuh tanpa perintah “HATI”. Jadi ngapain melafaskan niat….?

  5. Tata cara berdiri adalah kedua kaki diluruskan. Antara ujung keduanya direnggangkan sekira satu jengkal, dan diantara kedua tumit sekira empat jari.

    ? berarti serong dong, berarti susah jg merealisasikan perintah RAPAT dan LURUSKAN…. hmm

    • kalau menurut saya si, maksut nya rapat, yaa bahu ketemu bahu, ngak renggang, kalau lurus, yaa maksud nya secara horizontal ngak ada yang terlalu maju atau mundur.

      posisi kaki berdiri seperti manusia normal, ngak ngabisin tempat. seperti yang di jelas kan di atas

    • Makna rapat yang sesungguhnya itu adalah pada awal-awal perintah shalat berjamah para sahabat ada yang mencar-mencar (ada yang di ujang sana ada yang di ujung sini berdirinya) dan kerenggangannya lebih dari jarak satu orang. dengan kondisi yang seperti ini Rasulalloh SAW. tahu apa yang tidak kita ketahui beliau melihat adanya syaithan-syaithan yang berkeliaran untuk menggoda antara celah-celah jamaah sehingga diwajibkannya untuk merapatkan shof dalam sholat. namun jangan terlalu dirapatkan seperti beberapa orang yang melakukannya yang harus bertemu bahu dan tumit yang menempel yang pada akhirnya akan mengganggu gerakan jamaah lain itupun juga tidak benar.
      silahkan diperiksa isi hadistnya.

  6. Bismillaah,

    Kalau memperhatikan hadits-hadits tentang merapatkan shaf shalat berjamaah, maka akan didapatkan bahwa cara berdiri saat shalat adalah:
    1. Jari-jari kaki menghadap kiblat
    2. kedua telapak kaki direnggangkan sejajar dengan bahu.

    Wallahu a’lam.

    • gua juga pernah denger bro jari2 menghadap kiblat, tp gua lupa menurut siapa, tp kalau dr fisik manusia, saat berjalan pasti jari2 ngak lurus menghadap depan(kalau model yg jalan di catwalk si iya ~_~), coba perhatikan saat jalan normal, terus berhenti tegak lurus, pasti posisi kaki kurang lebih seperti yg dijelaskan di atas.

      dunia seisinya telah sesuai dengan Islam, karena rukun tersebut sesuai dengan kenyataan, jadi saya yakin atas posisi rukun tersebut

  7. Assalamualaikum Wr. Wb

    Maaf ustad anda kurang konsisten dalam hal niat dalam sholat, definisi niat menurut sepengetahuan sy ada di dalam hati dan kalau masalah sholat sebagaimana hadist Rasul “Sholatlah kamu sebagaimana aku melaksanakan sholat” nah dalam hal sholat ada tidak hadist Rasul yang mengajarkan niat sholat di lafazkan, tolong berikan satu hadits soheh jika memang ada ustad, atau contoh mudahnya begini kalau kita berniat untuk makan apakah kita juga lafazkan niat kita untuk makan, tetapi juga tidak ada satupun hadist yang mengatakan kalau orang melafazkan niat sholat maka sholatnya batal atau tertolak.
    Untuk ibadah lain di luar sholat itu konteksnya berbeda lagi ustadz, apalagi untuk ibadah haji ada rukun dan syaratnya lagi, Wallahu A’lam

    • menurut saya si, lakukan apa yang di yakin kan, di atas mengatakan sunah kalau melafazkan, jd kalau yakin sunah, lakukan saja, dapat pahala, kalau tidak yakin ya ngak usah ngak napa, yang wajib kan yang di hati

  8. Setiap membahas permasalahan kok selalu diawali dengan menyerang pendapat yang bersebrangan sehingga memancing perdebatan, Apakah blog ini sengaja dibuat untuk permusuhan, kalau begitu sungguh sangat disayangkan memiliki ilmu hanya untuk mencari musuh, bukan menjalin silaturrahmi.

  9. Kacau deh. Niat haji dipakai dalil untuk niat shalat. Niat puasa sunnah karena tidak ada makanan dipakai pula sebagai qiyas untuk niat shalat.

    Yang diperlukan umat muslim adalah lafadz niat yang benar2 dicontohkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti juga bacaan2 lain dalam shalat yang semuanya ada dasar dari hadits.

    Lafadz niat tidak pernah ditemukan dalam hadits manapun, bahkan dalam hadits maudhu sekalipun. Malah dianggap sunnah pula. Kalau dikatakan sunnah, harus ada dasar dari hadits, jangan hanya dari perkataan ulama. Kalaupun melafadzkan niat memang sunnah, tentu para sahabat akan menjalankan dan meriwayatkannya, bukan cuma ulama.

    • Begitulah kelakuan Aswaja (Anak Syi’ah Wilayah Jawa) menghalalkan segala cara, yg penting bgm caranya agar tidak ada yg hilang kebiasaan yg sudah lama ini, karena semua menyangkut fulus…kalo sampe berubah kebiasaan lama ini…mau makan apa lagi para ulamanya…wong modalnya cuman ngarepin undangan pengajian (tahlilan/maulidan) yg pulangnya dikasih amplop….

      • hal ini sama dengan perbuatan pendeta2 nasrani dan yahudi yg tidak mw ditinggalkan jamaahnya. jadi mereka mempertahankan kibiasaannya malah mencari dalil yg tidak benar . meskipun tidak ada dlm alquran dan hadits. tidak takutkah engkau para ustad kepada Allah… jutaan umat akan kalian sesatkan dengan ajaran yg tidak dicontohkan.

  10. BAGAIMANA CARA MEMBENTUK NIAT (PADAHAL NIAT TIDAK BOLEH DIUCAPKAN SECARA LISAN MAUPUN DIBACA DALAM HATI)?

    Intinya : Niat seharusnya sudah terbentuk dalam benak kita jauh sebelum suatu ibadah kita lakukan. Misalkan, saat kita berwudhu sebelum sholat maka sebenarnya niat untuk sholat sudah terbentuk dalam benak/hati kita. Contoh lain, dalam situasi yang waktunya sangat pendek, misalnya kita dikagetkan oleh seorang pengemis tua yang tiba-tiba berada disamping kita, maka saat kita bersedekah sudah terbetik (dalam ukuran detik) niat kita bersedekah apakah karena mencari ridha Allah ataukah karena sekedar untuk membuat si pengemis segera menjauh. Niat yang baik bisa dibentuk melalui banyak hal, antara lain dengan memahami ilmu tauhid, akhlak dan muamalah secara mendalam, dan juga melalui penjagaan / istiqomah dalam menjaga keikhlasan kita dalam setiap situasi. (Wallahu ‘alam)

    Sedangkan dalil-dalil mengenai larangan melafadzkan niat bisa dibaca dalam tulisan dibawah ini.

    Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

    “Hanyalah amal itu dengan niat dan setiap orang hanyalah beroleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)

    Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Niat adalah maksud. Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam benaknya shalat yang hendak dikerjakan dan sifat shalat yang wajib ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal takbir.” (Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)

    Niat tidak boleh dilafadzkan. Sehingga seseorang tidak boleh menyatakan sebelum shalatnya, “Nawaitu an ushalliya lillahi ta’ala kadza raka’atin mustaqbilal qiblah…” (Aku berniat mengerjakan shalat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak sekian rakaat dalam keadaan menghadap kiblat…).

    Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik. Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan As-Salafush Shalih.

    Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap ucapan beliau, dalam masalah haji, “Apabila seseorang berihram dan telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak diharuskan menyebut niat itu dengan lisannya. Haji itu tidak seperti shalat, di mana tidak sahih penunaiannya terkecuali dengan nathq (pelafadzan dengan lisan).”

    Maka hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul Kabir (1/470): “Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya– tidaklah memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat dengan lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan adalah takbir (yaitu takbiratul ihram, pen.), karena dengan takbir tersebut sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang menjadi muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”

    Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, “Bila Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan, ‘Aku tunaikan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’. Demikian pula ucapan ada’an atau qadha’an ataupun fardhal waqti.

    Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam, baik dengan sanad yang shahih, dhaif, musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (tidak bersambung). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat, demikian pula tabi’in maupun imam yang empat, tak seorang pun dari mereka yang menganggap baik hal ini.

    Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang belakangan) keliru memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya– tentang shalat. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan zikir.”

    Mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seseorang yang hendak shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menyukai perkara yang tidak dilakukan Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam dalam satu shalat pun, begitu pula para khalifah beliau dan para sahabat yang lain? Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf saja dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan penuh ketundukan dan penerimaan. Karena, tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari sang pembawa syariat Shallallahu ‘alahi wa sallam. (Zaadul Ma’ad, 1/201)

  11. dari hadist tersebut sudah jelas sholatlah seperti Nabi sholat…yang saya mau tanyakan adakah nash dari nabi bahwa niat itu harus ducpkan dng usholi…dst karena diatas bahwa hal tsb merupkan sunah kalau itu dipandang sunah seharusnya dalam ibadah sholat Nabi jg mencontohkannya……….???

  12. Tidak ada satu Haditspun yg menyebutkan Niat itu diucapkan dan tidak ada satu contoh pun niat itu ucapannya usholi fardol….. dts. bahkan dalam kitab Al um imam syafii mengatakan niat itu tidak mendahului takbir dan tidak didahului takbir jadi bersamaan dengan takbir jadi didalam hati. tidak ada satu pun riwayat yg shahih dari sahabat yg mengatakan niat itu diucapkan . imam siapakah yg mengatakan niat itu diucapkan adakah dari salah satu imam madzhab yg mengatakan bahwaa niat itu diucapkan ?

    • Setiap perbuatan tergantung niat, jika kita akan sholat fardhu ya niatlah usholli fardhu…..Allohuakbar, tak perlu lagi membilangkan rakaatnya karena sholat fardhu telah baku jumlahnya. jika akan sholat sunat ya niatlah usholli sunnatan…… di sholat tampa nawaitu. itu untuk membedakan kapan sholat sunat kapan sholat fardhu. sebagai contoh puasa wajib bulan ramadhan wajib membaca niat sebelum masuk waktu subuh atau telah terbit fajar, sementara shaum sunat boleh dilafaz kan setelah lewat waktu tersebut, sebagaimana Rasulalloh SAW. pada suatu pagi ketika bertanya kepada istrinya apakah ada makanan pada hari ini? jawab istri beliau, tidak ada. maka jawab beliau kalau begitu aku akan berpuasa.
      Marilah kita meningkatkan ketaqwaan kita kepada ALLOH dan senantiasa memperbaiki sholat kita agar diterima ALLOH ..aamiin.

  13. beribadahlah semampu dan sesuai ilmumu
    kalau mau meralat hendaknya memakai kata2 yang tidak menyudutkan seseorang dan santun.karena solat bukan hanya masalah tata cara,tapi ketenangan jiwa dan iman.dalam paham modern,manusia setidaknya sekali dalam sehari bermeditasi/rileksasi,agar tubuh dan pikiran istirahat/rileks.sedangkan dalam islam,kita diajarkan meditasi tingkat tertinggi yaitu shalat,karena bukan saja tubuh dan pikiran yg rileks,tapi juga kalbu/hati/jiwa,subhaanallaah wallahuakbar
    mohon maaf atas k

  14. Mengikuti Jalannya Rosulullaah Sholallaahu’alayhi wasallam dan para sahabatnya akan selamat dan menenangkan hati, karena merekalah yg lebih paham dan pertama kali mengamalkan Islam ini. Tidak dengan mengikuti jalan- jalan selain mereka dan menempuh jalan baru dengan mengada- ada. Semoga Allah mengkaruniakan hidayah-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mau berpikir.

  15. Ping-balik: ALAMAT UNTUK WEBSITE YANG AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH - Media Dakwah Online

  16. Mohon tanya, dimana saya bisa memperoleh buku aedyhkumpulan hadits Bukhori yang jumlahnya ribuan itu yang ada terjemahan latinnya. Terima kasih.

  17. kenapa yg di tekankan mendirikan sholat bukan melaksanakan sholat ?
    kenapa umat islam saat ini jadi mundur dan gampang sekali di adu domba?
    kenapa lbh sering ada penceramah daripada pendakwah yg memajukan umat?

  18. Assalamualaikum Ustad,, Izin bertanya Ustad…
    setelah saya mempelajari Fiqih Ibadah smester 7 di IAIN Imam Bonjol Padang.
    saya jdi bingung,,,?????
    karna dari penjelasan Dosen saya, begitu bnyak perbedaan tentang tata cara sholat Far’dhu?
    tpi yang ingin saya tnyakan disini iayalah, tentang bacaan sholat mulai dari niat sampai salam???,,, Karna di setiap gerakan sholat pasti ada perbedaan bacaanya??
    MF USTAD KLAU TERLALU PANJANG, TPI SYA BINGUNG JDINYA KLAU GK DI JLASKAN…
    karna dri sekian bnyak bacaan kan cuma satu yang dilakukan oleh rasul.
    Mhon Jawababnya Ustadd… Sukron.

  19. kita tidak hidup di jaman nabi jadi sama-sama tidak tahu,perbedaan di sono sini wajar yang penting kita meyakini cara yg mana yg paling shokheh

Tinggalkan komentar